- Home
- Kilas Global
- Ada apa di Laut Natuna? Ancaman Berkepanjangan di Laut Natuna Utara
Rabu, 22 September 2021 11:53:00
Ada apa di Laut Natuna? Ancaman Berkepanjangan di Laut Natuna Utara
NUSANTARA, - Sejak lama, Laut Natuna Utara selalu menjadi kawasan perairan laut yang diperebutkan untuk kepentingan banyak hal. Bukan Indonesia saja yang menilai penting, negara lain di sekitarnya juga menilai sama bahwa mereka harus memanfaatkan laut tersebut
Kawasan perairan yang dulunya bernama Laut Cina Selatan tersebut, selalu menjadi lokasi favorit bagi kapal ikan asing (KIA) untuk melaksanakan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah yang secara definitif masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI)
Selain untuk penangkapan ikan, tingginya keanekaragaman hayati Laut Natuna Utara juga mengundang banyak pihak untuk melakukan eksplorasi dan penelitian. Kegiatan tersebut berjalan dengan melibatkan lintas sektor
Kegiatan ilegal alias tanpa izin dari Pemerintah Indonesia, secara permanen sudah memberikan ancaman bagi Laut Natuna Utara. Tidak hanya bagi keberlanjutan sumber daya ikan dan ekosistem laut saja, namun juga bagi nelayan tradisional dan pelaku usaha yang ada biasa menangkap ikan di sana
Laut Natuna Utara yang secara yang secara administrasi berdekatan dengan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, masih menjadi lokasi favorit bagi nelayan asing untuk menangkap ikan secara ilegal. Di sana, nelayan dari Vietnam masih mendominasi aktivitas penangkapan ikan tanpa izin dari Pemerintah Indonesia.
Kapal-kapal ikan yang berasal dari negeri komunis tersebut dilengkapi dengan teknologi yang canggih, sehingga mampu melakukan navigasi dengan sangat baik. Namun, kemampuan peralatan yang sangat baik tersebut membuat para nelayan dari Natuna banyak yang berhenti melaut atau mengurangi daya jelajah untuk mencari ikan.
Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI) menilai, aktivitas kapal ikan asing (KIA) yang terus meningkat di wilayah laut yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 711 itu sudah berlangsung sejak awal 2021 dan mencapai puncak pada April 2021.
Kemudian, sejak Juni hingga Agustus 2021 aktivitas yang dilakukan KIA dari Vietnam mulai mengalami penurunan dan terus berlangsung hingga sekarang. Penurunan tersebut diduga kuat karena sejak Mei 2021 Vietnam sedang dilanda gelombang besar pandemi COVID-19.
Saat melakukan aktivitas di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, kapal-kapal dari Vietnam tetap mendapatkan pengawalan dari kapal milik Pemerintah Vietnam (Vietnam Fisheries Resource Surveillance) yang terdeteksi ada di wilayah ZEE yang diklaim milik Indonesia dan Vietnam, dan juga di ZEE Indonesia.
Direktur IOJI Fadilla Octaviani dalam siaran pers IOJI, akhir minggu kemarin menjelaskan, kapal-kapal ikan dari Vietnam tersebut diketahui ada di wilayah perairan Indonesia setelah citra satelit mengungkap keberadaan mereka lewat sistem identifikasi otomatis (AIS). Salah satu sebab kenapa mereka bisa masuk ke wilayah klaim tumpang tindih, karena di sana sangat sedikit kapal berbendera Indonesia yang menangkap ikan.
Berdasarkan data AIS, KIA Vietnam yang berada di wilayah perairan ZEE klaim tumpang tindih pada Agustus 2021, jumlahnya ada tujuh. Namun, jika dilihat dengan citra satelit, jumlah kapal ikan Vietnam yang terdeteksi pada bulan yang sama adalah sembilan.
Kapal-kapal tersebut terdeteksi citra satelit bersama dengan kapal patroli pengawas milik Pemerintah Vietnam yang selalu terdeteksi di sepanjang garis landas kontinen yang diklaim bersama milik Indonesia dan Vietnam. Mereka selalu hadir untuk mengawal kegiatan penangkapan ikan KIA Vietnam.
Keberadaan mereka di wilayah perairan Indonesia, memicu penurunan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan Indonesia. Kondisi tersebut disebabkan karena kapal dari Vietnam biasanya menggunakan alat penangkapan ikan (API) pukat harimau (trawl) dan juga teknologi yang canggih.
Sementara, kapal-kapal dari Indonesia biasanya berukuran lebih kecil dan menggunakan teknologi yang sederhana, serta tidak menggunakan API pukat harimau yang dinilai akan merusak ekologi laut. Dengan kata lain, pukat harimau dinilai bisa merusak sumber daya ikan dan ekosistem dasar laut.
Sepanjang Agustus 2021, patroli pengawasan dilakukan oleh kapal patroli milik Indonesia di perairan Laut Natuna Utara. Selama pengawasan tersebut, delapan kapal ikan pelaku praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar peraturan (IUUF) berhasil ditangkap.
Kapal patroli tersebut berasal dari TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kepolisian Republik Indonesia. Ketiga instansi tersebut, yakni TNI AL dan KKP berhasil menangkap 2 (dua) kapal ikan, dan Polri dengan 4 (empat) kapal ikan. Seluruhnya berasal dari Vietnam.
Bagi IOJI, keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam menertibkan kapal-kapal asing dari Vietnam patut mendapatkan apresiasi dari banyak pihak. Namun, IOJI menilai seharusnya kegiatan patroli dilakukan lebih jauh ke pusat kegiatan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan KIA dari Vietnam.
Di luar kegiatan IUUF yang terus akan menjadi ancaman bagi Indonesia di Laut Natuna Utara, ancaman juga terjadi pada keamanan laut nasional yang ada di kawasan perairan yang sama. Di sana, ancaman datang dari kapal survei milik Pemerintah Cina.
Kapal bernama Hai Yang Di Zhi Shi Hao (Hao Yang Di Zhi 10) pada akhir Agustus 2021 terdeteksi melakukan aktivitas penelitian ilmiah di kawasan ZEE Indonesia dengan mendapatkan pengawalan dari kapal penjaga laut mereka, Coast Guard 4303 (CCG4303).
Berdasarkan data Organisasi Maritim Internasional (IMO), Kapal Hai Yang Di Zhi 10 dimiliki oleh Pemerintah Cina (China Goverment Guangzhou Marine). Kapal tersebut diketahui memiliki kemampuan berbagai survei bawah laut, seperti survei geologi, biologi, dan oseanografi.
Penelitian Ilmiah
Menurut Fadila Octaviani, kapal Hai Yang Di Zhi 10 diduga kuat melakukan penelitian ilmiah, karena jejaknya terlihat pada lintasan kapal yang zig zag vertikal dan horizontal yang menyerupai cetakan sawah. Dari data AIS, kapal tersebut berstatus "Restricted Manoeuverability", yang merupakan salah satu ciri khas kapal ketika melaksanakan survei laut.
Kapal tersebut masih terus terdeteksi hingga sekarang dan membentuk pola lintasan cetakan sawah dengan rapi saat melakukan pelayaran penelitian di Laut Natuna Utara. Mereka hanya berjarak sekitar 70 mil atau sekitar 112.654 kilometer dari pulau Bunguran atau disebut juga Natuna Besar, serta hanya 9 mil atau sekitar 14.4841 km dari lokasi instalasi migas Nobel Clyde Boudreaux di Blok Tuna.
IOJI menilai, kehadiran kapal riset Cina tersebut menjadi ancaman serius terhadap hak berdaulat bagi sumber daya alam hayati dan non hayati di ZEE Indonesia. Ancaman itu ada, karena kapal tersebut dinilai lebih agresif dibandingkan dengan kapal riset Cina lain yang biasa melintas di Laut Natuna.
Dari citra satelit, pola lintasan kapal diketahui sedang melakukan survei lengkap kondisi geologi dan oseanografi. Jika memang aktivitas yang dilakukan terbukti untuk penelitian, namun tanpa ada izin dari Pemerintah Indonesia, maka kapal tersebut sudah melanggar Pasal 56 (1) jo Pasal 246 UNCLOS dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Sebelumnya, aktivitas penelitian juga terdeteksi dilakukan oleh kapal riset milik Cina pada Maret dan Desember 2020, serta Januari 2021. Kapal-kapal tersebut melintas di Laut Natuna Utara dalam jangka waktu sebentar, namun dengan mematikan AIS.
Dengan semua kejadian tersebut, IOJI meminta KKP, Bakamla, dan TNI AL melakukan patroli keamanan laut di Laut Natuna Utara hingga batas terluar klaim ZEE Indonesia. Saat berpatroli, penegakan hukum harus dilaksanakan dengan tegas kepada kapal pelaku IUUF maupun aktivitas lain yang ilegal.
Kemudian, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI juga diminta untuk mengirimkan nota diplomatik kepada Pemerintah Cina terkait aktivitas kapal Hai Yang Di Zhi Shi Hao di ZEE Indonesia. Cina harus mengklarifikasi aktivitas yang dilaksanakan, dan meminta mereka mengirimkan hasil penelitian ilmiahnya.
Nota diplomatik tersebut sesuai dengan hak berdaulat Indonesia dan ketentuan mengenai penelitian ilmiah kelautan yang tercantum yang ada dalam Pasal 56 ayat 1 Pasal 240, 244, dan 246 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Agar tidak terulang di kemudian hari, TNI AL sesuai dengan kewenangan bisa melakukan penelitian atas jejak aktivitas (foot print) kapal Hai Yang Di Zhi Shi Hao dan kapal-kapal riset milik Cina lainnya yang beraktivitas di Laut Natuna Utara.
Terakhir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diharapkan bisa melakukan penelitian ilmiah di Laut Natuna Utara untuk mengetahui potensi kekayaan sumber daya hayati dan non hayati yang terkandung di dalamnya, yang selama ini menjadi rujukan utama Pemerintah Cina.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut, ada empat wilayah perairan laut Indonesia yang rawan terhadap praktik IUUF. Keempatnya adalah WPPNRI 711 yang mencakup perairan Selat Karimata, dan Laut Natuna Utara.
Kemudian, WPP NRI 571 yang mencakup perairan Selat Malaka dan Laut Andaman, WPP NRI 716 yang mencakup perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara perairan pulau Halmahera, dan WPPNRI 718 yang mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timor.
Menurut dia, kawasan-kawasan perairan tersebut sangat rawan, karena berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan (711 dan 571). Sementara, untuk WPPNRI 716 dan 718 itu menjadi sangat rawan karena sering ada kapal IUUF dari Papua Nugini.
Namun demikian, dari semua kapal ikan pelaku IUUF, paling banyak ditemukan adalah yang berbendera Malaysia dan Vietnam. Sepanjang 2021 saja, lebih dari 41 kapal ikan yang ditangkap oleh Pemerintah Indonesia adalah yang berbendera asing. Demikian dilansir mongabay. (*).