- Home
- Kilas Global
- Agak Bahaya, Fakta-fakta Angka Pernikahan 'Ngedrop' di RI, Ini Alasan Warga Tunda Kawin
Rabu, 13 Maret 2024 16:11:00
Agak Bahaya, Fakta-fakta Angka Pernikahan 'Ngedrop' di RI, Ini Alasan Warga Tunda Kawin
NASIONAL, KESEHATAN, - Beberapa waktu lalu viral angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir angka pernikahan secara nasional mengalami penurunan hingga dua juta.
Pada tahun 2023 jumlah pernikahan secara nasional berada di angka 1.577.255, tahun 2022 dengan 1.705.348, dan pada tahun 2021 berjumlah 1.742.049. Data ini juga ditambah dengan jumlah perceraian yang cenderung meningkat di Indonesia, tahun 2021 ada 477 ribu perceraian, 2022 dengan 500 ribu perceraian, dan 2023 dengan 463 ribu perceraian.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menuturkan bahwa memang ada penurunan angka pernikahan di Indonesia. Kondisi ini rupanya juga sejalan dengan penurunan angka kesuburan atau total fertility rate (TFR). Pada tahun 2023 angka kesuburan Indonesia berada di angka 2,1.
"Analisis saya memang ini cocok dengan yang namanya total fertility rate (TFR), itu artinya rata-rata perempuan melahirkan berapa anak rata-rata perempuan, ini kan kalau di 2017 angkanya masih cukup tinggi 2,4 hampir 2,5," kata Hasto ketika dihubungi detikcom.
"Ternyata perempuan dengan jumlah anaknya menurun lebih cepat daripada ekspektasi pemerintah," sambung dia.
Penyebab Warga RI Tunda Nikah
Hasto berpendapat bahwa pemicu penurunan angka pernikahan di Indonesia tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di negara lainnya. Hal ini masih berkaitan dengan pendidikan, tempat tinggal, dan masalah ekonomi.
Hasto menuturkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai, maka semakin besar kemungkinan orang tersebut hanya akan memiliki satu anak atau bahkan tidak sama sekali.
"Sebetulnya bukan semakin pendidikan tinggi, ekonomi cukup, anaknya banyak, karena daerah-daerah yang agak ketinggalan itu cenderung anaknya lebih banyak, kawinnya banyak," terang dia.
Selain itu, Hasto juga mengaitkan fenomena ini dengan toxic people. Menurutnya, selain karena banyak yang menunda pernikahan, tingkat 'egoisme' pada sejumlah kelompok masyarakat untuk tidak memiliki anak juga meningkat.
"Perceraian kan cukup tinggi signifikan, itu kan sebetulnya tren toxic people itu meningkat, selain kita karena semakin maju pendidikan, semakin delay menikahnya, mungkin egoisme kita semakin meningkat, jadi secara individu makin kita semakin egois, yang mungkin untuk memaklumi orang lain sulit juga," kata Hasto.
Ancaman Populasi RI Menyusut
Hasto berpendapat bahwa ancaman anjloknya jumlah populasi seperti yang terjadi di beberapa negara lain tidak akan terjadi dalam waktu yang dekat di Indonesia. Jika kondisi ini dibiarkan, efek penyusutan mungkin baru akan berlangsung pada 2050 hingga 2070.
"Kalau penyusutan dalam arti jumlah populasi tidak akan menyusut. Belum akan menyusut. Jadi mungkin 2050 baru akan kemungkinan bisa menyusut. Cuma tren-nya melambat gitu aja. Pertambahan penduduknya melambat tapi penduduk tidak akan berkurang," sambung dia.
Kondisi ini juga ditandai dengan angka harapan hidup di Indonesia yang justru meningkat. Banyak lansia berusia 70-80 tahun di Indonesia saat ini masih dalam kondisi sehat. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman terkait angka kesuburan yang menurun baru akan berdampak pada laju pertumbuhan penduduk.
Bila pertumbuhan penduduk melambat, kemungkinan tidak akan ada cukup SDM seperti yang diproyeksikan dalam bonus demografi beberapa tahun mendatang.
Bisa Berdampak pada Ekonomi
Jika angka kesuburan terus mengalami penurunan dan tidak dilakukan penanganan yang tepat, bukan tidak mungkin hal ini juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak tercapai. Padahal Indonesia memiliki target untuk menjalani bonus demografi sedari 2035 agar keluar dari status negara berkembang atau middle income country.
"Padahal kita itu kan ingin keluar dari jebakan middle income trade untuk pada saat bonus demografi kita kaya, pendapatan perkapita naik karena negara-negara maju yang dulunya belum maju seperti katakan Korea Selatan, Jepang itu kan semua sejarahnya dia naik pendapatan perkapitanya keluar dari jebakan middle income trade-nya kan semua pada saat bonus demografi. Itu loh. Itu bahayanya seperti itu sebetulnya," ungkap Hasto.
"Kita kan jangan hanya menekan stunting saja, tetapi juga tentu stunting harus ditekan, tapi populasi harus dipertahankan. Memang bagi kita tidak mudah, kita ini kalau populasinya kelebihan dikit kita masih stunting," tandasnya. **/dtk/net
Share
Komentar