Rabu, 01 Februari 2017 12:02:00

Akademisi Desak PP 57 Tahun 2016 Soal Gambut Direvisi

JAKARTA, - Pemerintah harus melibatkan akademisi dan organisasi profesi untuk menyelaraskan sejumlah aturan dalam PP 57 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemanfaatan ekosistem gambut. Kajian itu diperlukan agar pemerintah Jokowi-JK tidak dipermalukan akibat PP tersebut tidak bisa diimplementasikan.
 
Demikian rangkuman pendapat akademisi dan organisasi profesi ketika diminta pendapat, Minggu (29/1/2017). Mereka adalah Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan HKTI Didik Hariyanto, Peneliti Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata dan pakar gambut Universitas Riau (UR) Wawan. 
 
Didik menyayangkan, banyak aturan teknis dalam PP itu ditetapkan sepihak tanpa melibatkan akademisi dan lembaga profesi seperti Himpunan Gambut Indonesia (HGI). Akibatnya, PP tersebut menjadi tidak relevan karena tidak memiliki naskah akademis.
 
Didik berpendapat, ketentuan muka air 0,4 m serta pengembalian fungsi gambut dalam menjadi kawasan lindung yang tidak logis, akan mematikan usaha perkebunan rakyat.
 
Selama puluhan tahun masyarakat  hidup dari perkebunan sawit di lahan gambut. Bayangkan berapa banyak jiwa akan kehilangan mata pencaharian jika aturan itu diterapkan. Apalagi, pemerintah belum mempunyai solusi, jika perkebunan rakyat disetop.
 
"Kalau tetap dipaksakan, masyarakat perlu melakukan class action atau  uji materi ke MK atas putusan sepihak tersebut," kata dia.
 
Sementara itu, Basuki mengatakan, ketentuan tinggi muka air 0,4 meter merupakan masalah lama yang sebenarnya tidak revelan lagi. "Aturan itu diusulkan tahun 2006 dengan catatan belum ada teknologi yang mumpuni. Kini, ketika tata kelola air bisa diimplementasikan, aturan itu tidak lagi relevan. Saya memahami aturan ini, karena sejak awal ikut ‘membidani’pembuatan  draftnya," kata dia.
 
Menurut Basuki, ketinggian muka air yang ideal dan lebih sesuai dengan kondisi lapangan adalah 0,8 m. Aturan ini,  bisa dipraktikkan  perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.
 
Terpisah, Wawan juga berpendapat sama. Menurut dia,  PP Gambut itu bakal memukul kehidupan masyarakat yang mengandalkan industri berbasis sumber daya alam seperti Riau. Salah satunya, persyaratan untuk mengembalikan lahan produktif gambut yang telah dikelola sejak puluhan tahun menjadi fungsi lindung.
 
"Penggunaan gambut merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya dalam waktu yang sangat lama. Sejak lama masyarakat Riau mengembangkan ekonomi, sosial dan budayanya dengan membudidayakan gambut. Penerapan PP itu akan membawa konsekuensi besar bagi masyarakat Riau," ujar Wawan.
 
Menurut Wawan, dari 3,867 juta hektar lahan gambut di Riau lebih dari 75 persen merupakan gambut dalam atau kedalaman lebih dari 3 meter. Dengan aturan PP itu berarti, tiga perempat gambut Riau, harus diubah fungsinya menjadi kawasan lindung."Itu sama dengan 'membunuh' kehidupan rakyat. (*)
 
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified