• Home
  • Kilas Global
  • Banyak Pengusaha tak Setuju Regulasi Gambut, Pemerintah Siap-siap di Lobi Perusahaan
Minggu, 23 April 2017 08:18:00

Banyak Pengusaha tak Setuju Regulasi Gambut, Pemerintah Siap-siap di Lobi Perusahaan

Ada yang Ajak Duduk Satu Meja
lahan gambut riau terbakar sumbang asap sampai negeri jiran. Bencana asap yang luar biasa.
PEKANBARU, RIAU - Gambut riau merupakan penyumbang teresar bencana kebakaran lahan dan hutan (Karhutla) beberapa tahun ini, negeri jiran juga resah dengan sumbangan asap Riau, namun pelaku industri kertas dan sawit banyak yang resah karena dikira merugikan usaha mereka.
 
Salah satu contoh perushaa kertas ini terpaksa mengimpor keping kayu atau "wood chip" untuk bahan baku mencapai Rp1,3 triliun per tahun, sebagai konsekuensi penerapan kebijakan baru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembangunan hutan tanaman industri di lahan gambut.
 
"Pengusaha pasti ikuti apa perintah negara, akan taat pada aturan yang berlaku. Di sisi lain, perusahaan juga akhirnya harus impor dengan biaya yang cukup besar sampai Rp1,3 triliun per tahun supaya mesin tidak 'tidur' karena investasi yang dilakukan sudah sangat besar," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan, ketika dihubungi awak media dari Pekanbaru, Rabu (12/4/2017)
 
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada Februari 2017 mengeluarkan aturan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut melalui empat Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Salah satunya adalah Permen No. P.17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
 
Dalam aturan itu, terdapat konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan dengan fungsi ekosistem gambut, sehingga perusahaan selaku pemegang izin harus melakukan revisi rencana kerja usaha (RKU) paling lambat 30 hari setelah menerima peta fungsi ekosistem gambut.
 
Konsesi yang masuk dalam fungsi ekosistem gambut dan sudah ada tanaman industri, hanya dapat dipanen satu daur dan tidak boleh ditanami kembali karena wajib dilakukan pemulihan. Rusli Tan menilai, impor "wood chip" terpaksa dilakukan agar pengusaha tidak kekurangan bahan baku, sedangkan kapasitas mesin pabrik pulp dan kertas nasional kini berkisar 10-12 juta ton per tahun.
 
Menurut dia, pelaku usaha kemungkinan besar akan melakukan impor bahan baku itu dari Malaysia.
 
Meski dalam Permen No.17/2017 terbuka peluang bagi pengelola konsesi mengajukan lahan usaha pengganti (land swap), namun Rusli Tan menilai pelaksanaannya tidak mudah dan butuh waktu untuk mendapatkan bahan baku seperti semula.
 
"Saya menilai kita harus duduk bersama lagi, baik dari pengusaha dan pemerintah dalam hal ini lintas kementerian yang terkait. Sebab saya melihat kebijakan ini belum komprehensif kalau dilihat dari keuntungannya bagi negara sendiri, terutama bagi tenaga kerja yang sudah ada," ujarnya.
 
Ia menjelaskan, dalam pelaksanaan "land swap" tidak akan mudah karena perusahaan harus memulai dari awal seperti membuka lahan, menanam dan mempelajari karakteristik lahan untuk mendapatkan bahan baku produksi yang terbaik. Apabila lokasi lahan baru jauh dari pabrik, maka ini akan mempengaruhi penggunaan tenaga kerja.
 
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri pulp dan kertas menyerap 1,49 juta orang tenaga kerja baik langsung maupun tindak langsung dan menghidupi lebih dari 5,96 juta orang. Selain itu, pada 2016 industri itu telah menyumbang dalam perolehan devisa nasional sebesar 5,01 miliar dolar AS.
 
"Kalau lahannya pindah ke Papua dan Kalimantan, apa mungkin perusahaan akan bawa semua pekerjanya ke sana. Pengusaha tidak akan terlalu dibebani, karena impor bahan baku juga tidak jadi masalah buat mereka. Tapi ini akan jadi beban ke masyarakat karena lapangan kerja berkurang," katanya.
 
Ia menambahkan, impor bahan baku juga harus dilakukan secara jeli oleh pengusaha karena dikhawatirkan berefek pada kualitas produk dan harga kertas Indonesia. Padalah, ia mengatakan Indonesia sudah bisa menguasai 30 persen pangsa kertas fotokopi di Jepang, serta dipasar Korea Selatan, Malaysia, bahkan Amerika Serikat.
 
"Tahun ini harga kertas sudah naik sekitar 30 persen, dan saya tidak mau berandai-andai berapa kenaikannya lagi karena impor bahan baku pasti lebih mahal dan kualitasnya belum sebaik bahan baku kita. Artinya, keunggulan produk kertas Indonesia juga dipertaruhkan," kata Rusli Tan.
 
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Riau Wijatmoko Rah Trisno menilai, kebijakan tentang pembangunan HTI dilahan gambut itu bakal berdampak kurang bagus bagi ekonomi daerah, khususnya Riau yang bergantung cukup besar pada industri kehutanan dan kelapa sawit. Karena itu, Apindo melakukan konsolidasi internal terutama kepada anggota yang bergerak didua sektor itu.
 
"Kami sedang lakukan konsolidasi internal anggota Apindo Riau, khususnya perusahaan kertas dan sawit yang langsung terdampak permen ini," katanya.
 
Apindo Riau akan merumuskan apa tindakan selanjutnya dari asosiasi atas regulasi baru tersebut, karena akan berdampak paling besar pada bidang ketenagakerjaan. (*).
Share
Berita Terkait
  • 7 tahun lalu

    Pemanfaatan Lahan Gambut Bukan Penyebab Perubahan Iklim

    NASIONAL, - Sejumlah pakar mengungkapkan pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya pertanian ataupun perkebunan untuk menyediakan bahan pangan bukan penyebab utama perubahan
  • 8 tahun lalu

    Jalan Tol di Sumsel Lewati Lahan Gambut, Menkeu Cemas : Kalau Terbakar?

    PALEMBANG - Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mencemaskan keberadaan tanah gambut tebal sepanjang 10 km yang bakal dilalui jalan tol Pematang Panggang-Kayu Agung di Kabup
  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified