- Home
- Kilas Global
- Desakan publik menguat Bentuk Tim Independen Penembakan Hingga Tewas 6 Laskar FPI
Rabu, 09 Desember 2020 08:11:00
Desakan publik menguat Bentuk Tim Independen Penembakan Hingga Tewas 6 Laskar FPI
NASIONAL, - Desakan publik menguat terhadap pembentukan tim independen pencari fakta di balik bentrok polisi dengan laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal Rizieq Shihab. Dalam bentrok di kawasan jalan tol Cikampek, dekat Pintu Tol Karawang Timur tersebut enam laskar FPI tewas karena terjangan peluru aparat.
Kepolisian maupun FPI sama-sama mengklaim sebagai pihak yang diserang lebih dahulu. Bukan hanya itu, saling klaim pun terjadi ihwal tewasnya enam anggota FPI tersebut.
Tak heran, perkara yang sensitif ini mengundang DPR hingga tokoh agama lain bersuara menyerukan jangan ada yang terpancing, serta mendorong tim independen untuk menginvestigasinya.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane mengaku klaim polisi terkait prosedur penanganan terhadap Rizieq dan massa pengikutnya memang bisa diragukan.
"Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar segera dibentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya. Sebab antara versi Polri dan versi FPI sangat jauh berbeda penjelasannya," demikian pernyataan Neta dalam keterangan resminya, Senin (7/12).
Ia juga mempertanyakan prosedur pengadangan yang dilakukan aparat kepolisian, terhadap Rizieq dan pengikutnya di jalan bebas hambatan. Menurut Neta, jalan tol adalah area bebas hambatan sehingga polisi tak bisa melakukan pengadangan kecuali mereka dinyatakan bersalah.
Neta juga mempertanyakan intelijen Polri tidak mengetahui kepemilikan senjata api yang dituduhkan ke pengikut Rizieq sehingga dapat melakukan langkah persuasif untuk mencegah insiden tersebut.
"Kenapa Baintelkam tidak tahu dan tidak melakukan deteksi dan antisipasi dini serta tidak melakukan operasi persuasif untuk melumpuhkannya," ucap Neta.
Desakan transparansi penyelidikan pun datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Setidaknya lima poin yang didorong KontraS, selain penyelidikan internal oleh Divisi Propam Polri, mereka pun mendorong Komnas HAM, KOmpolnas, dan Ombudsman untuk turun tangan.
"Komnas HAM dan Kompolnas secara independen harus melakukan pemantauan langsung dan mendalam terhadap peristiwa penembakan ini," demikian pernyataan Koordinator Badan Pekerja KontraS Fatia Maulidiyanti, Selasa (8/12).
KontraS pun mendorong Komnas HAM dan Kompolnas memastikan rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan nantinya akan memiliki tekanan pada proses hukum yang berjalan serta memenuhi hak-hak dari korban penembakan. Selain itu kepada Ombudsman RI mereka mendesak, "untuk melakukan investigasi terkait dengan dugaan maladministrasi dalam proses penyelidikan yang menyebabkan tewasnya 6 orang tersebut."
Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan klaim penggunaan tindakan kepolisian yang kemudian melakukan penembakan terhadap enam orang, ini harus dipertanggungjawabkan di depan hukum secara transparan
"Jangan sampai kemudian, ya kasus ini kemudian tidak, itu mungkin. Kita dorong Komnas ham, untuk melakukan penyelidikan, supaya terang kasus ini. Demi penghormatan terhadap kemanusiaan ya," kata Arief saat dihubungi CNNIndonesia.com Senin malam.
Desakan tim independen yang menginvestigasi juga datang dari organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan seperti dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Rabithah Alawiyah.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas meminta Presiden RI Joko Widodo membentuk tim independen untuk mengusut kasus bentrok tersebut. Busyro mendesak agar tim independen nantinya dibentuk dengan melibatkan sejumlah unsur organisasi sipil.
"PP Muhammadiyah mendesak, menuntut, Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo, untuk membentuk tim independen," ujar Busyro dalam konferensi pers yang disiarkan langsung, Selasa (8/12).
Sementara itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Rabithah Alawiyah dalam pernyataan terpisah menegaskan sikap, "Meminta dibentuknya tim independen yang terdiri dari berbagai komponen masyarakat sipil guna mengungkap peristiwa tersebut secara fair dan berimbang."
Lebih lanjut, mengingat kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, Rabithah Alawiyah mengimbau agar seluruh pihak menunjukkan kebijaksanaan serta kedewasaan dalam bertindak sesuai dengan koridor hukum negara yang menjunjung tinggi perlindungan HAM.
Prosedur Penembakan
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran dalam konferensi pers yang juga dihadiri Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrachman pada Senin pagi menerangkan insiden di jalan tol tersebut terjadi ketika polisi yang melakukan pengintaian dipepet dan diserang pelaku.
"Kendaraan petugas dipepet dan diberhentikan oleh dua kendaraan pengikut tersebut, kemudian melakukan penyerangan dengan menodongkan senjata api dan senjata tajam berupa samurai, celurit kepada anggota," ujar Fadil di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan.
Merespons serangan tersebut, polisi melepaskan tembakan. Sebanyak enam orang dari pihak Laskar FPI meninggal dunia dan empat melarikan diri.
Secara umum, aturan penggunaan kekuatan oleh aparat kepolisian diatur dalam pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, dan Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.
Setidaknya ada tiga keadaan yang terpenuhi sebelum polisi menggunakan senjata api yang dapat menewaskan target. Pertama menyebut identitasnya sebagai anggota Polri yang bertugas, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk menghentikan kegiatan, dan memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
Namun, pemberian waktu dalam keadaan mendesak di mana pemenuhan prosedur itu memicu penundaan masa yang dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya.
Tinjauan Forensik Penembakan Polisi
Menanggapi proses bentrok polisi dan FPI di jalan tol tersebut, Psikolog Forensik Reza Indragiri menyebut istilah contagious shooting atau penembakan yang menular untuk mendefinisikan aksi penembakan yang dilakukan satu dua aparat terhadap seseorang yang diduga melakukan aksi kriminal.
Hal itu, katanya, bahkan bisa dilakukan tanpa aba-aba, atau komando dari pimpinan. Alhasil, aksi penembakan kerap dilakukan tanpa kalkulasi.
"Ketika satu personel menembak, hampir selalu bisa dipastikan dalam tempo cepat personel-personel lain juga akan melakukan penembakan. Seperti aba-aba, anggota pasukan tidak melakukan kalkulasi, tapi tinggal mengikuti saja," kata Reza dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Senin (7/12) malam.
Oleh karena itu, ia mengatakan kemungkinan penembakan menjadi perilaku spontan atau bukan aktivitas terukur itu semakin besar ketika personel sudah mempersepsikan target sebagai pihak berbahaya.
"Jadi, dengan kata lain, dalam situasi semacam itu, personel bertindak dengan didorong oleh rasa takut," katanya.
Ia mengatakan berdasarkan data, dalam kasus penembakan terhadap target yang disangka bersenjata sekitar 70 persen terjadi malam hari saat pencahayaan minim sehingga mengganggu kejernihan penglihatan personel.
"Dengan gambaran seperti itu, benarkah penembakan oleh personel polisi pasti selalu merupakan langkah terukur? Tentu, apalagi karena ada dua versi kronologi, butuh investigasi kasus per kasus terhadap masing-masing dan antar personel," kata Reza.
Menurutnya investigasi oleh tim seperti Shooting Review Board nantinya tidak hanya mengeluarkan simpulan apakah penembakan memang sesuai atau bertentangan dengan ketentuan. Selain itu, sambungnya, hasil tim investigasi itu pun bermanfaat bagi unit lain di institusi Polri seperti SDM dan Diklat. (cnn/ind/*).