- Home
- Kilas Global
- Dunia yang Mendadak Lebih Sunyi Tanpa Ali
Sabtu, 11 Juni 2016 14:16:00
Dunia yang Mendadak Lebih Sunyi Tanpa Ali
Dunia yang Mendadak Lebih Sunyi Tanpa Ali
Jakarta, CNN Indonesia -- Lebih dari tujuh dekade lalu, salah satu negara bagian di selatan Amerika Serikat mengadopsi suatu metode hukuman mati terbaru: mengalirkan gas beracun pada suatu ruangan yang berisikan seorang terdakwa. Di masa awal ketika hukuman itu diterapkan, ditempatkan sebuah mikrofon di dalam ruangan, sehingga para ilmuwan bisa mendengarkan kata-kata terakhir para terhukum mati.
Mereka ingin menilai cara seseorang bereaksi pada situasi tak lazim seperti itu.
Korban pertama ruangan maut itu adalah seorang pemuda kulit hitam. Ketika gas mulai mengalir dan memenuhi ruangan, suaranya terdengar melalui mikrofon:
"Selamatkan saya, Joe Louis. Selamatkan saya, Joe Louis. Selamatkan saya, Joe Louis."
II
Penggalan kisah itu tercantum dalam Why We Can't Wait, buku yang ditulis Martin Luther King Jr.
Joe Louis adalah seorang petinju kulit hitam. Salah satu yang terhebat yang pernah lahir ke dunia.
Petarung yang dijuluki "Si Bomber Coklat" itu memegang gelar juara dunia tinju kelas berat selama 11 tahun dan 10 bulan. Periode paling lama dalam sejarah. Ia mengalahkan semua orang dan kebanyakan dari mereka berkulit putih.
Pada 1938, Joe Louis berhadapan dengan petinju Jerman, Max Schmeling. Pertarungan itu digelar Adolph Hitler untuk menunjukkan betapa superiornya ras Arya terhadap mereka yang berkulit hitam.
Joe Louis menekuk Schmeling dalam satu ronde.
Hitler pun menanggung malu. Sebagaimana dicatatkan penulis buku Dave Zirin, sang diktator kemudian memutus seluruh siaran radio Jerman di tengah-tengah pertandingan agar rakyatnya tak mendengarkan kemenangan Joe Louis.
Maya Angelou, seorang penyair, pernah menggambarkan Louis sebagai "Negro yang tak terkalahkan, yang tegak berdiri di hadapan kaum kulit putih dan mengalahkan mereka dengan pukulannya. Dalam arti tertentu, ia memikul harapan kami, dan bahkan mimpi kami untuk membalas dendam."
Ketika itu tinju memang menjadi salah satu simbol perjuangan kaum kulit hitam -- menawarkan mimpi untuk setidaknya keluar dari kemiskinan, menjadi dikenal, dan juga membuktikan bahwa setidaknya dalam urusan fisik kaum kulit hitam tak pernah kalah dari mereka yang berkulit putih.
III
Sebagaimana kebanyakan atlet kulit hitam Amerikat Serikat lainnya, perjuangan yang ditunjukkan Louis terbatas di dalam arena. Ketika ia melangkah keluar, Joe Louis menjadi pendiam. Ia mengikuti aturan dan norma. Ia tak pernah berfoto dengan seorang wanita kulit putih, tak pergi ke tempat ramai sendirian, dan tak berbicara sebelum orang lain mengajaknya bicara.
Tinjunya adalah bentuk perlawanan. Tapi tak pernah suaranya.
Tak membuka mulut adalah aturan-aturan sosial yang berlaku saat itu untuk kaum kulit hitam di hampir semua negara bagian selatan Amerika. Aturan lainnya lebih berbentuk sebuah teror, bukan sekadar pemisahan bus atau tak punya hak dalam pemilu.
Terus kenapa jika saya masuk penjara? Kami telah dipenjara selama 400 tahun.
Muhammad Ali
Di jalanan, para pria kulit putih dengan mudah memukuli kaum kulit hitam tanpa alasan yang jelas. Aksi ini tak mungkin dibalas, karena ada ancaman penjara dan hukuman fisik bagi mereka yang berani mengangkat tinju bagi kulit putih.
Para pria kulit hitam dilarang untuk melihat wanita berkulit putih. Sering kali mereka juga dipaksa menggunakan topeng ketika berada di tempat-tempat umum, agar keberadaan mereka tidak menyinggung kaum kulit putih.
Teror ini juga yang membentuk kultur "masyarakat kelas kedua" yang sukar untuk dihapuskan bahkan hingga ke ajang olahraga. Di era itu, para atlet kulit hitam memang diizinkan untuk tampil dan berjaya, namun tak boleh bersuara soal rasialisme. Mereka bisa menjadi ikon penembus batas segregasi tetapi diminta bersyukur karena dari semula diberikan panggung untuk tampil.
Salah satu contoh paling kentara adalah Jesse Owens. Pelari kulit hitam yang mendapatkan empat medali emas di Olimpiade Berlin 1938. Owens juga mempermalukan Hitler di rumahnya sendiri dan hingga jauh-jauh hari menjadi simbol perjuangan atlet kulit hitam.
Owens tetap tak bisa duduk di bagian depan bus ketika ia pulang ke Amerika Serikat dari Jerman.
Para sebuah pesta yang dirancang untuk merayakan kemenangannya di Berlin, Owens diharuskan menggunakan lift yang berbeda dengan lift tamu, yang hanya digunakan bagi orang berkulit putih. Owens kemudian hidup bak objek sirkus setelah mengalami kebangkrutan. Ia diadu lari melawan banyak hal, mulai dari atlet olahraga lain, mobil, motor, anjing, hingga kuda.
Baca Juga: Kisah Ironis Jesse Owens, Pelari yang Jaya di Markas Nazi
Jackie Robinson dikenal sebagai atlet pertama yang menembus segregasi di dunia bisbol. Ia menerima banyak sekali penolakan dan hinaan karena warna kulitnya sebelum kemudian diakui sebagai salah satu pemain bisbol terhebat sepanjang masa.
Malcolm X --salah seorang pejuang kulit hitam lainnya-- menyebut Robinson sebagai kesayangannya kaum mapan. Sebagaiman Owens dan Louis, Robinson pun terbiasa bungkam. Tak mengeluh tentang betapa susah dirinya mencari rumah di kawasan kaum kulit putih.
Kemudian datanglah Muhammad Ali.
Jackie Robinson adalah atlet kulit hitam pertama yang masuk ke dunia bisbol. (Hulton|Archive/Getty Images)
IV
Sejak awal kemunculannya, Ali adalah sebuah ledakan. Tak pernah bisa menutup mulut. Memesona banyak orang. Wajah paling populer di muka bumi. Ia akan "memborgol petir dan memenjarakan halilintar". Menjungkirbalikkan kemustahilan melawan Sonny Liston atau George Foreman. Membuat jurnalis paling konservatif ternganga ketika mengganti namanya dari Cassius Clay menjadi Muhammad Ali.
Yang terutama, setidaknya bagi Amerika, Ali bersuara.
"Jika saya tidak tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada saya, saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela, atau tangga berjalan, dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh -- yes sir, no sir," kata Ali.
Dan persis itulah yang dilakukan Ali hingga akhir hayat. Ia menghiasi lembaran sejarah dunia dengan suara, teriakan, hinaan, puisi, atau nyanyian. Apapun yang bisa menunjukkan bahwa ia bukan masyarakat kelas dua sebagaimana yang dituntut publik terhadapnya. Ia lahir di tengah-tengah teror, dan menatap balik teror dengan sinar mata yang menyala.
V
Suara paling penting Ali muncul ketika ia menolak untuk pergi ke perang Vietnam:
"Mengapa mereka meminta saya mengenakan seragam dan pergi 10 ribu mil dari rumah hanya untuk menjatuhkan bom pada orang berkulit coklat di Vietnam, sementara orang-orang Negro di Louisville diperlakukan sebagai anjing dan hak dasar mereka sebagai manusia ditolak? Tidak. Saya tidak akan pergi 10 ribu mil dari rumah untuk membantu membunuh dan membakar negara miskin lainnya, hanya untuk melanggengkan dominasi penguasa kulit putih terhadap orang-orang berkulit lebih gelap di seluruh dunia. Ini adalah hari ketika kejahatan seperti itu harus berakhir. Saya telah diperingatkan bahwa bersikap seperti ini akan membuat saya kehilangan jutaan dolar. Tapi saya telah mengatakannya sekali, dan saya akan mengatakannya lagi. Musuh-musuh rakyat saya berada di sini. Saya tidak akan mencemarkan agama saya, orang-orang saya, atau diri saya sendiri dengan menjadi bagi alat untuk memperbudak mereka yang berjuang untuk keadilan, persamaan, dan kebebasan mereka sendiri. Jika saya berpikir bahwa perang akan membawa kebebasan dan persamaan bagi 22 juta rakyat saya, maka mereka tak perlu memanggil saya untuk perang, saya akan bergabung esok hari. Saya tak perlu kehilangan apapun untuk mempertahankan keyakinan. Jadi saya akan masuk penjara, terus kenapa? Kami telah dipenjara selama 400 tahun."
Bukan hal mudah bagi Ali untuk melakukan penolakan itu. Selain kehilangan gelar juara dunia serta dilarang bertinju, Ali juga dibenci oleh masyarakat dan media -- bahkan The New York Times hingga bertahun-tahun masih memanggil Ali sebagai Cassius Clay sebagai kebijakan politik redaksi. Ali juga kehilangan sumber pemasukan.
Ali sempat mendapatkan bujukan atlet-atlet kulit hitam paling top di era itu. Mereka memintanya untuk menarik ucapan dan hidup sewajarnya. Hidup secara 'normal' tanpa perlu menyinggung siapa pun. Ali bergeming.
David Halberstam, jurnalis peraih pulitzer di era perang Vietnam, dalam esainya menceritakan bahwa Ali adalah satu-satunya orang di level tertinggi negeri Paman Sam yang secara terang-terangan menolak perang itu.
"Ada banyak orang di pemerintahan Amerika Serikat yang lebih berpendidikan dan berbudaya ketimbang Ali, yang juga menolak Vietnam. Tapi mereka tak pernah mempertahankan keyakinan mereka. Ali adalah satu-satunya orang Amerika di level teratas yang kehilangan pekerjaan karena kepercayaannya terhadap situasi Vietnam," ujar Halberstam.
Tommie Smith (kanan) adalah peraih medali emas Olimpiade 1968 yang mengacungkan kepalan tinju sebagai bentuk protes. (Douglas Miller/Keystone/Hulton Archive/Getty Images)
VI
Suara Ali abadi. Jauh di masa depan nanti setelah kematiannya pun demikian.
Ketika Martin Luther King secara terang-terangan menampik perang Vietnam dua tahun setelah Ali, ia mengatakan: "Seperti yang pernah dikatakan Muhammad Ali, kita semua --baik yang berkulit coklat atau hitam-- korban dari sistem penjajahan yang sama."
Ketika John Carlos dan Tommie Smith mengangkat kepalan tinju mereka saat menerima medali di Olimpiade Meksiko 1968 dalam gerakan yang dikenal sebagai The Black Salute, salah satu permintaan mereka adalah untuk mengembalikan gelar juara dunia Ali. Mereka mengatakan bahwa Ali adalah santo bagi Revolusi Atlet Kulit Hitam.
Ketika Nelson Mandela dipenjarakan di Pulau Robben, ia mengatakan bahwa Muhammad Ali memberinya harapan bahwa suatu saat tembok itu akan runtuh.
Ketika petenis perempuan Billie Jean King menuntut persamaan hak bagi atlet perempuan di dunia olahraga, Muhammad Ali mengatakan padanya, "Billie Jean King! KAMU ADALAH RATU!". Billie Jean King mengatakan bahwa hal itu membuatnya berani.
Untuk setiap perjuangan kemanusiaan di muka bumi, suara Muhammad Ali akan menggema dan abadi.
(cnn)
Share
Komentar