- Home
- Kilas Global
- Ini Sejumlah Tokoh Penerima Tanda Jasa dari Jokowi yang Pernah Terjerat Polemik Hukum
Sabtu, 17 Agustus 2019 07:55:00
Ini Sejumlah Tokoh Penerima Tanda Jasa dari Jokowi yang Pernah Terjerat Polemik Hukum
NASIONAL, - Presiden Joko Widodo memberikan tanda kehormatan kepada sejumlah tokoh yang dianggap sudah banyak berjasa di Indonesia. Tanda kehormatan diberikan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-74 RI.
Pemberian tanda jasa kehormatan ini merupakan hasil persetujuan sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Dewan GTK) periode Agustus 2019.
Namun, dari 29 tokoh tersebut, terdapat beberapa nama yang sempat ramai jadi perbincangan publik karena pernah terjerat masalah. Beberapa dari mereka pernah dijerat kasus pidana, ada juga yang diduga melanggar etik.
Namun, Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Jimly Asshiddiqie memastikan, semua yang diberikan gelar penghargaan hari ini tak memiliki masalah hukum.
"Sampai detik ini semua yang diberikan gelar ini, penghargaan ini, tidak ada masalah hukum," ujar Jimly, Kamis (15/8/2019).
Apabila nantinya penerima tanda jasa terseret kasus hukum, maka penghargaannya bisa dicabut.
Berikut sejumlah penerima tanda bintang dari presiden yang pernah tersandung polemik hukum di masa lalu:
1. Hadi Poernomo (Ketua BPK periode 2009-2014)
Mantan Ketua BPK Hadi Poernomo usai menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Hadi mendapatkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama. Penghargaan kepada Hadi menuai kontroversi, mengingat dirinya sempat terlibat perkara hukum.
Dia pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT Bank Central Asia (BCA).
Kejadian tersebut berlangsung pada tahun 2003-2004, namun baru disidik KPK pada 2014.
Hadi Poernomo diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. Ia diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA.
Adapun nilai non-performing loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun Direktur PPh menyurati Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, Hadi memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak. Direktorat PPh tak bisa lagi memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.
Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar. Uang tersebut merupakan pajak yang seharusnya diterima negara dari BCA.
Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, hingga setahun kemudian, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hadi Poernomo.
Ia pun mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal praperadilan mengabulkan gugatan Hadi. Ia pun terbebas dari status tersangka.
Dalam putusan praperadilan, hakim memutuskan bahwa penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi Poernomo tidak sah. Hakim memutuskan penyidikan KPK harus dihentikan.
Namun, putusan tersebut ditentang Mahkamah Agung. Hakim MA beralasan, praperadilan telah melampaui batas wewenangnya dan dapat dikualifikasi sebagai upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan KPK.
Selain itu, menurut MA, pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, seharusnya hanya menilai aspek formal, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan tidak boleh memasuki materi perkara.
Pasca-putusan MA tersebut, KPK sempat menyatakan bahwa mereka akan menetapkan kembali Hadi sebagai tersangka. Namun, hingga beberapa kali berganti kepemimpinan, KPK tak membuka lagi kasus itu.
2. Harry Azhar Azis (Ketua BPK periode 2014-2017)
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Senin (12/10/2015).
Harry yang juga mantan Kepala BPK pun menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama.
Meski tak tersandung kasus hukum, namun nama Harry berada di dalam dokumen Panama Papers yang pernah diungkap Koran Tempo pada Rabu (13/4/2016).
Dalam koran itu, disebutkan bahwa Harry merupakan pemilik salah satu perusahaan offshore, Sheng Yue International Limited.
Sheng Yue International Limited diduga adalah perusahaan yang didirikan di negara suaka pajak dengan tujuan menghindari pembayaran pajak dari wajib pajak kepada negara asalnya
Harry pun dilaporkan Koalisi Selamatkan BPK ke Komite Etik BPK atas dugaan pelanggaran kode etik.
Harry diduga melakukan rangkap jabatan sebagai Direktur Sheng Yue International saat sudah menjadi Ketua BPK. Ia baru melepaskan jabatannya satu bulan setelah masuk BPK.
Tindakan Harry dianggap bertentangan dengan aturan BPK Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik, yang mengatur anggota BPK dilarang menjalankan pekerjaan dan profesi lain yang dapat mengganggu integritas dan profesi.
Rangkap jabatan tersebut juga diatur dalam UU BPK Nomor 15 Tahun 2006 pasal 28 huruf D. Jadi, koalisi menganggap, regulasi tersebut melarang keras ada anggota BPK punya perusahaan di negara lain itu dan jadi bagian dari pelangaran kode etik.
Sementara itu, pelanggaran lainnya yang dilakukan Harry adalah dengan tidak patuh melaporkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) kepada KPK. Harry dianggap melanggar pasal 5 ayat 3 UU 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara.
Dalam pasal tersebut, ditekankan setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat.
Terkait namanya dalam Panama Papers, dulu Harry pernah mendatangi Jokowi untuk memberi klarifikasi.
3. Achsanul Qosasi (Anggota III BPK periode 2017-2019)
Ketua DPP Partai Demokrat Achsanul Qosasi.
Achsanul Qosasi yang menerima penghargaan bintang jasa utama dari Jokowi pernah disebut-sebut dalam persidangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Januari 2016, Nazaruddin menyebut Achsanul turut mendapat jatah saham Bank Mandiri saat rights issue.
Diketahui, pada 2011 lalu, Bank Mandiri pernah melakukan rights issue dan melepas 2,336 miliar saham baru dengan harga penawaran Rp 5.000 per saham.
Pasca-rights issue, saham pemerintah di bank ini tinggal 60 persen dari sebelumnya 66,73 persen.
Hal ini disampaikan Nazaruddin saat bertanya kepada saksi Harry Maryanto Supoyo, eks Direktur Utama Mandiri Sekuritas, dalam persidangan.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas yang terbit pada 24 Maret 2016, Analis dan Analis dan Associate PT Mandiri Sekuritas Munadi Herlambang juga mengungkapkan nama Achsanul dalam sidang.
Saat itu, Nazaruddin hendak membeli saham Bank Mandiri. Hingga kemudian Nazaruddin mendapat saham yang di-funding oleh Bank Mandiri sebagai perusahaan induk alias "mendapat jatah".
Munadi juga menyebut sejumlah nama anggota DPR yang didengarnya dari teman kantor.
"Ada beberapa nama anggota DPR lainnya, seperti Achsanul Qosasi. Saya hanya dengar dari teman kantor," kata Munadi, dilansir dari Harian Kompas.
Namun, hingga saat ini Achsanul Qosasi tidak pernah terjerat status hukum apa pun terkait kasus Nazaruddin.
4. Arifin Panigoro (Pendiri dan penasihat PT. Medco Internasional Tbk)
Pemilik kelompok usaha Medco Arifin Panigoro
Penerima Bintang Mahaputera Naraya itu pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 2001.
Dikutip dari dokumentasi Harian Kompas pada 11 Juli 2001, sebagai pimpinan Medco International, ia diduga terlibat penyimpangan penggunaan dana PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia.
Direksi Medco, Hilmi Panigoro mengakui bahwa Medco meminjam uang kepada PT BPUI-perusahaan finansial pemerintah yang awalnya untuk membantu pembiayaan usaha kecil menengah-sebelum krisis ekonomi, nilainya sekitar 65 juta dollar AS.
Dana tersebut digunakan untuk melakukan akuisisi perusahaan minyak di Turbekishtan, Semen Gombong, dan Pembangunan Gedung Graha Niaga.
Hilmi mengatakan, utang-piutang tersebut murni bisnis. Saat ini telah dicapai kesepakatan bahwa Medco melakukan pembayaran tunai untuk menyelesaikan sebagian kewajiban bulan November 1998 sebesar 22 juta dollar AS, dan Rp 2 milyar pada tanggal 8 Juni 2001.
Pada pelaksanaannya, pembangunan pabrik itu macet. Hal itulah yang menyebabkan Arifin ditetapkan sebagai tersangka.
Utang itu baru dilunasi pada Januari 2002 sebesar 25 juta dollar AS. Sementara bunga pinjaman yang timbul sebesar 13 juta dollar AS diselesaikan melalui restrukturisasi hutang.
Namun, hingga beberapa tahun setelahnya, kasus itu seolah menguap. Tidak ada tindak lanjut dari Kejagung saat itu untuk melakukan penahanan maupun membawa kasusnya ke pengadilan.
Pada akhirnya, kasus ini diberhentikan setelah keluar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejagung.
5. Abdul Kadir Mappong (Wakil Ketua MA bidang Yudisial periode 2009-2013)
Nama Abdul Kadir Mappong pernah dilaporkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara ke polisi atas dugaan korupsi.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas pada 11 Maret 2004, Mappong dilaporkan ke polisi atas penerimaan uang sebesar Rp 125 juta pada tahun 2000.
Uang itu terdiri atas Rp 75 juta dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur yang diterima Juli 2000 dan Rp 50 juta dari pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur (pada April 2000).
Ketika itu, Mappong menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya.
Pemberitaan soal korupsi itu menjadi batu sandungan bagi Mappong karena saat itu ia tengah mengikuti seleksi calon wakil ketua MA.
6. Djaman Andhi Nirwanto (Wakil Jaksa Agung periode 2013-2016)
Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto memutuskan pensiun dini di umur 60 tahun, Jumat (29/1/2016).
Andhi pernah tersandung isu bahwa dirinya pernah berurusan dengan kepolisian saat dicalonkan menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) pada 2011.
Dilansir dari Kontan.co.id, saat itu beredar kabar bahwa Andhi pernah ditangkap polisi dan dijadikan tersangka terkait tuduhan pemalsuan Berita Acara Pemeriksaa (BAP).
Ia bahkan disebut pernah ditahan terkait pemalsuan BAP saksi Kikie Haryanto dalam kasus pembunuhan Nyo Beng Seng pada 1997 silam.
Namun, Kejaksaan Agung saat itu membantah keras.
Meski begitu, mereka tak menampik Andhi pernah diperiksa polisi, namun hanya senagai saksi dalam posisinya sebagai jaksa penuntut pengganti yang menyidangkan perkara tersebut.
7. Prajogo Pangestu (Presiden Komisaris PT. Barito Pacific Tbk)
Polri pernah menetapkan Prajogo sebagai tersangka kasus penipuan. Prajogo dilaporkan pengusaha Henry Pribadi, pemegang saham PT Chandra Asri.
Prajogo memang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian sejak dilaporkan oleh Henry Pribadi pada 23 Maret 2006.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas pada 28 April 2006, Hotman Paris Hutapea selaku pengacara Prajogo menjelaskan, perseteruan tersebut berawal ketika krisis moneter tahun 1998.
Saat itu, beberapa pemilik saham PT Chandra Asri hendak menjual saham perusahaan yang terlilit utang hingga hampir Rp 10 triliun. Akhirnya, Prajogo bersedia membeli seluruh saham sekaligus menanggung seluruh utang.
Di tempat terpisah, penasihat hukum Henry, Lucas, menyatakan bahwa kliennya melaporkan Prajogo karena tidak melihat niat konkret Prajogo memenuhi kewajibannya.
Kewajiban tersebut ditekankan sendiri oleh Prajogo dalam pernyataan tertulis di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 1998.
Akan tetapi, kasus ini kemudian dihentikan.
Kasus ini bukan kasus pertama Prajogo. Pada 2003, ia pernah terjerat kasus mark up nilai proyek hutan tanaman industri yang dilakukan perusahaannya, PT Musi Hutan Persada.
Perusahaan itu dianggap merugikan keuangan negara dari penggunaan dana reboisasi sebesar Rp 151 miliar.
Namun, dilansir dari Harian Kompas pada 30 April 2003, kasus itu dihentikan dan Prajogo terbebas dari status tersangka. (*).
sumber: kompas