- Home
- Kilas Global
- Inovasi Tiada Henti Demi Kemandirian Energi Anak Negeri
Minggu, 05 September 2021 13:48:00
Inovasi Tiada Henti Demi Kemandirian Energi Anak Negeri
DALAM masalah energi, Indonesia menghadapi sejumlah persoalan pelik. Pertama negeri yang terletak di zamrud khatulistiwa ini diprediksi mengalami krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) menyusul cadangan terbukti minyak bumi sekitar 3,3 miliar barel. Jika tidak ada temuan cadangan baru, maka dalam 11 tahun-12 tahun ke depan Indonesia tidak mampu memproduksi minyak bumi lagi.
Di sisi lain ancaman boikot Uni Eropa terhadap hasil Cruide Palm Oil (CPO) juga takkalah serius. Jelas permasalahan krusial ini tidak hanya menyangkut hajat orang banyak. Namun mempengaruhi keberadaan bangsa ini ke depan. Di tengah situasi ini, sejumlah instansi pun bahu membahu atau bangkit untuk mencari solusi.
Lantas, solusi seperti apa untuk mengatasi permasalahan ini?
Indonesia berpacu dengan waktu terkait keberadaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menyusul keterbatasan energi fosil yang masih dominan dikonsumsi masyarakat. Dibagian lain, keberadaan "emas hitam" suatu saat dipastikan habis. Kalau pun dilakukan eksporasi maka ditenggarai tidak menguntungkan lagi, karena tidak sebandingnya biaya produksi dengan minyak yang dihasilkan.
Lantas EBT apa yang bisa dikembangkan? Ya, kelapa sawit salah satu jawaban atas pertanyaan itu.
Berangkat dari keberhasilan uji coba komersil bahan bakar nabati dengan jenis gasoil (minyak solar) di Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai beberapa waktu lalu menjadi pembicaraan hangat publik. Tidaklah mengherankan Katalis Merah Putih dan out putnya terlihat 'sexsi' di berbagai pemberitaan media berbasis siber.
Ternyata kerja keras cerdas yang dilakukan pemengku kepentingan menyusul dua persoalan krusial diatas. Mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) PT Pertamina (Persero), perguruan tinggi atau kalangan akademis membuahkan hasil positif.
Seolah-olah mereka berkejar-kejaran dengan waktu untuk menciptakan formulasi yang tepat meyiasati permasalahan tersebut. Mengingat ketahanan dan kemandirian energi berbanding lurus dengan eksistensi sebuah bangsa.
Inovasi itu paling tidak, menjadi bukti bahwa uji coba komersil bahan bakar nabati dengan jenis gasoil (minyak solar) di Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai menjanjikan prospek cerah menyusul kehadiran bahan bakar baru yang ramah lingkungan. Kedatangan menteri Kabinet Indonesia Kerja itu bertujuan meninjau uji aplikasi katalis "Merah-Putih" di Kilang Pertamina Unit DHDT Kilang RU (Refinery Unit) II Dumai.
Dalam siaran persnya, Menristek Dikti menjelaskan, PT Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai telah berhasil memproduksi green diesel atau solar nabati D-10 dengan kandungan 87,5 persen solar minyak bumi dan 12,5 persen minyak sawit (inforasi terkini bukan D-10 tapi meningkat menjadi D-100, red)
"Ternyata kita mampu (produksi green diesel). Kualitasnya juga jauh lebih baik. Pertamina baru mampu hasilkan dua belas ribu barel per hari. Kalau sepuluh persennya dari sawit, kita hemat seribu dua ratus barel per hari. Sekarang (komposisi sawitnya) di angka 12,5 persen. Ini harus kita tingkatkan terus supaya menjadi lebih baik di angka 20 persen atau 30 persen," ungkap Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir disela kunjungannya pengolahan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) menjadi green diesel atau diesel nabati dengan teknologi co-processing di Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai, Kamis.
Dalam kesempatan itu Menteri Nasir menyatakan Indonesia dapat menghemat solar dari minyak bumi yang mayoritas diimpor. Minyak bumi tersebut digantikan dengan minyak sawit yang sudah diolah hingga mencapai RBDPO atau minyak sawit tersuling, cerah, dan tak berbau.
" Misal kandungan sawitnya itu 10 persen, dalam satu tahun Indonesia bisa kurangi 10 persen dari total impor (minyak bumi) yang habiskan 17,6 miliar Dollar per tahun, bisa menghemat sepuluh persen atau 1,6 miliar dollar per tahun atau 25 triliun rupiah," ungkap Nasir.
Saat ini green diesel atau solar nabati yang diproduksi Pertamina sudah memiliki 12,5 persen kandungan minyak sawit, sehingga penghematan impor bahan bakar fosil yang digunakan untuk solar dapat dikurangi. Jumlah impor yang mencapai ratusan triliun Rupiah membuat Indonesia harus mencari sumber energi nabati.
" Kalau kita naikan sawitnya menjadi 12,5 persen, kita hemat di angka 31,25 triliun Rupiah. Impor kita mencapai 250 Triliun per tahun. Ini harus kita hemat. Ini yang harus kita tingkatkan kapasitas sawitnya," ingat Nasir.
Green diesel atau solar nabati yang diproduksi Pertamina dengan Katalis Merah Putih dari ITB ini tidak hanya menghemat anggaran impor bahan bakar dari fosil, tetapi juga memiliki cetane atau tingkat pembakaran diesel yang lebih bersih dengan emisi atau polusi udara yang lebih sedikit.
" Hasilnya juga dari kualitas. Kalau dengan fosil murni, cetane numbernya 51 persen. Kalau dari hasil Katalis Merah Putih ini, cetane-nya 58 persen, jauh lebih baik dan lebih bersih. Nanti pembakarannya lebih sempurna. Ini yang belum pernah ada di Indonesia, bahkan di dunia," ungkap Nasir.
GM Pertamina RU II Dumai Nandang Kurnaidi mengatakan sebagai tuan rumah pelaksanaan program implementasi proses pengolahan BBM nabati di Kilang RU II Dumai merupakan batu loncatan besar dalam hal perkembangan teknologi di Indonesia sekaligus mendorong pengurangan impor minyak mentah.
Co-processing atau pengolahan bahan bakar dengan penggabungan bahan baku minyak fosil dan bahan baku minyak nabati ini dilaksanakan dengan menggunakan katalis berteknologi tinggi hasil pengembangan yang dilaksanakan di Research and Technology Center (RTC) Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung (ITB).
" Kita perlu berbangga hati bahwa anak bangsa dapat menciptakan katalis yang selama ini didapatkan dari luar negeri. Setelah melalui beberapa tahun penelitian, katalis yang diberi nama Katalis Merah Putih ini telah siap digunakan," ungkapnya.
Lebih lanjut Nandang menjelaskan pengembangan katalis ini telah dilakukan sejak 2008 hingga terciptanya katalis generasi kedua yang secara optimal menjadi elemen pendukung co-processing di Kilang RU II Dumai. Seluruh proses pengembangan katalis dilaksanakan oleh putera-puteri terbaik bangsa dan diujicobakan di Kilang Pertamina.
Setelah berhasil menciptakan katalis, pengolahan CPO dilakukan di fasilitas Distillate Hydrotreating Unit (DHDT) yang berada di kilang Pertamina Dumai, berkapasitas 12.6 MBSD (Million Barel Steam Per Day). Penggantian katalis lama dengan versi baru ciptaan dalam negeri mulai dijalankan pada Februari 2019. Injeksi bahan baku minyak nabati pun mulai dilaksanakan pada Maret 2019.
" Dari hasil uji coba, pengolahan dengan sistem co-processing di unit DHDT ini dapat menyerap feed RBDPO hingga 12 persen. Pencampuran langsung RBDPO dengan bahan bakar fosil di kilang ini secara teknis lebih sempurna dengan proses kimia, sehingga menghasilkan komponen gasoil dengan kualitas lebih tinggi karena angka cetane mengalami peningkatan hingga 58 dengan kandungan sulfur (belerang, red) lebih rendah," ungkap Nandang.
Adapun CPO digunakan yang telah diolah dan dibersihkan getah serta baunya atau dikenal dengan nama RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil). RBDPO tersebut kemudian dicampur dengan sumber bahan bakar fosil di kilang dan diolah dengan proses kimia sehingga menghasilkan bahan bakar solar ramah lingkungan.
Impor Berkurang
Dibagian lain, Menristek Dikti Muhammad Nasir mengatakan sejak tahun 2002, Indonesia menjadi net-importer BBM (50 persen kebutuhan berasal dari impor). Proyeksi kebutuhan pada 2015 berkisar 1,23 juta barrel/hari dan 1,56 juta barrel/hari pada Tahun 2020. "Karena cadangan migas domestik cenderung menurun, maka untuk ketahanan energi nasional, sudah saatnya Indonesia mendapatkan bahan bakar alternatif dari sumber domestik yang terbarukan yaitu minyak sawit," ujarnya.
Emas hijau -Presiden Joko Widodo menyebut istilah emas hijau untuk pohon sawit - sebagai penghasil minyak sawit dan minyak kernel tumbuh dengan subur di negara Indonesia. "Kedua jenis minyak nabati ini menjadi bahan baku dari biohidrokarbon yang akan dihasilkan dan menjadi substitusi BBM," terangnya.
Dijelaskannya, tahun 2018, ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan produk turunannya, biodiesel dan oleochemical) mengalami kenaikan sebesar 8 persen atau dari 32,18 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018. Sementara itu harga rata-rata CPO tahun 2018 tercatat 595,5 dolar AS per metrik ton atau menurun 17 persen dibandingkan dengan harga rata-rata tahun 2017 yaitu 714,3 dolar AS per metrik ton.
" Rendahnya harga minyak sawit ikut menggerus nilai devisa yang dihasilkan meskipun secara volume ekspor meningkat. Nilai sumbangan devisa minyak sawit pada tahun 2018 diperkirakan mencapai 20,54 miliar dolar AS atau menurun 11 persen dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 22,97 miliar dollar AS," ujarnya.
Untuk itulah, pihaknya melihat kehadiran inovasi katalis untuk menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) menjadi salah satu solusi untuk medongkrak kembali harga sawit dalam negeri dan sekaligus mengurangi ketergantungan impor BBM.
Hasil riset dan pengembangan ini, menurut Menristekdikti memegang peran penting bagi kemandirian teknologi tanah air. "Hasil ini tidak membuat kita berhenti dan berpuas diri," ingatnya.
Upaya perbaikan terus harus dilakukan dengan optimasi yang mempertimbangkan rekomendasi dari setiap hasil pengujian, serta mengikuti standar-standar yang telah ditentukan, kalau perlu dapat melahirkan standar-standar baru.
"Tentunya harus diupayakan agar produk akhr dari dari BBN ini bisa kompetitif dibandingkan dengan BBM," katanya.
Teknologi Baru
Menyoali cadangan "Emas Hitam" (baca: minyak bumi) Indonesia, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memperingatkan pentingnya penemuan cadangan minyak baru untuk Indonesia. Sebab jika tak ditemukan cadangan minyak bumi baru, pada tahun depan kemungkinan cadangan minyak bumi Indonesia akan turun dari 800.000 barel per hari (bph) menjadi 700.000 bph.
Arcandra menuturkan, saat ini Indonesia memiliki cadangan terbukti minyak bumi sekitar 3,3 miliar barel. Dengan asumsi produksi konstan 800.000 per hari tanpa adanya temuan cadangan baru, maka dalam 11 tahun-12 tahun ke depan Indonesia tidak mampu memproduksi minyak bumi lagi.
Foto : Pertamina dan ITB sukses menjalankan Co-Processing di Kilang Pertamina Dumai. (F/Dok/Pertamina)
" Tahun depan mungkin turun menjadi 700.000 (bph) dan seterusnya," ujar Arcandra melalui siaran persnya, Senin. Faktor teknologi dan temuan cadangan baru, sebut Arcandra, adalah kunci keberlangsungan produksi minyak bumi di Indonesia. Menurut Arcandra, teknologi eksploitasi minyak bumi saat ini hanya dapat mengambil 40 persen-50 persen cadangan minyak dari dalam perut bumi.
"Sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa menguras lebih. Selama anak cucu kita bisa menemukan teknologi itu, kita tidak akan bisa memproduksi lebih dari itu. Untuk gas lebih baik, kita masih (memiliki cadangan) 25 tahun-50 tahun ke depan," ungkapnya. Lebih lanjut Arcandra menjelaskan, cadangan terbukti minyak Indonesia yang mencapai 3,3 miliar barel tersebut bukanlah cadangan yang melimpah. Bila dibandingkan dengan cadangan terbukti minyak dunia, hanya setara dengan 0,2 persen.
Selain itu, Reserve Replacement Ratio (RRR) Indonesia juga dinilai masih rendah. " Kita hanya mampu reserve replacement ratio 50 persen. Itu adalah rasio berapa banyak yang kita ambil terhadap berapa banyak (cadangan minyak) yang kita temukan. Kita dua kali lebih banyak mengambil daripada menemukan, sementara negara-negara tetangga RRR-nya banyak yang di atas 100 persen," pungkas Arcandra.
Dengan keterbatasan cadangan minyak bumi seperti dikemukakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar notabene tidak berlebihan jika semua kalangan mulai melirik keberadaan CPO sebagai eneregi alternatif terbarukan mengingat luasnya kebun kelapa sawit di tanah air. Disamping itu, dari hulu hingga hilir sektor ini melibatkan banyak komponen mulai dari petani, buruh, teknologi, investasi dan sebagainya
Lompatan Besar
Keberadaan Kataslis "Merah Putih" uji coba komersil bahan bakar nabati dengan jenis gasoil (minyak solar), di Kilang Pertamina RU II Dumai diyakini sejumlah pihak menjadi lompatan besar dan mewujudkan kemandirian energi dalam kerangka mengurangi penggunaan energi fosil (energy tidak bisa diperbarui) yang cadangannya kian tergerus.
Menjawab pertanyaan awak media menyusul keberhasilan uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing, Manager Communication Relations & CSR Pertamina RU IIMuslim Dharmawan didampingi Officer Comm & Relation RU II Dumai Didi Andrian Indra Kusuma, dan Tim Teknis Kilang Eggi, Senin, mengatakan bahwa penggunaan katalis "Merah Putih" untuk menghasilkan green diesel kali pertama dilakukan di Dumai.
" Untuk premium atau bensin sudah dilakukan di Plaju. Untuk diesel Dumai kali pertama, dan memang menjadi primadona," katanya.
Muslim, Didi dan Egi secara bergiliran menjawab pertanyaan wartawan Dumai. Kendati begitu, mereka kompak bahwa katalis Merah Putih menjadi lompatan besar yang menjadi pintu masuk bagi energi masa depan Indonesia.
" Kalau dari luar tentu harganya lebih mahal," ujar Muslim.
Saat menjawab berapa harga dari hasil uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing plus jumlah produksi, Egy menjelaskan bahwa setakat ini terus dilakukan percobaan. Namun demikian, diperkirakan tahun 2023 akan diproduksi besar-besaran.
" Soal berapa harga jika nanti dipasarkan termasuk jumlah produksi dan sebagainya nanti ada timnya yang menentukan, kami hanya masalah teknis seputar uji produksi," paparnya singkat.
Ketika dilayangkan pertanyaan sejauh mana persiapan Pertamina RU II Dumai menghadapi produksi besar-besaran yang dijadwalkan 2023? Muslim menjelaskan bahwa perusahaan BUMN itu menginginkan bahwa CPO yang didatangkan dari perusahaan yang ada di sekitar Dumai maupun luar ke kilang seyogyanya menggunakan pipa. "Tidak menggunakan truk tangki, tentu mereka yang membangun karena mereka penjual," kata Muslim.
Menjadi Kunci
Kalau harga nominal Bahan Bakar Nabati (BBN) belum bisa ditentukan, tentu pembaca penasaran dengan Katalis Merah Putih? Sebelumnya, Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe mengatakan katalis ini telah diuji untuk operasi co-processing, yang memproses campuran minyak sawit dan minyak fosil untuk menghasilkan diesel nabati skala komersial.
" Hasil dari pengujian ini membuktikan bahwa katalis terbukti proven sebagai katalis co-processing diesel treater, yang memperbaiki kualitas diesel yang ditunjukkan oleh parameter cetane index dan sulfur pada produk heavy kero seiring kenaikan komposisi Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO)," terangnya.
Uji komersial katalis Merah-Putih untuk operasi co-processing produksi diesel nabati di Kilang RU II Dumai telah digelar pada 8-22 Maret 2019 dengan mengolah 1000 ton minyak sawit dengan minyak fosil.
" Program uji komersial katalis merah-putih ini antara lain bertujuan untuk mengevaluasi kinerja katalis pada skala operasi komersial baik untuk operasi normal (umpan minyak fosil) maupun untuk operasi co-processing (umpan minyak fosil) dan evaluasi kesiapan teknis dan kesiapan produksi komersial diesel nabati dan biovatur di kilang-kilang Pertamina dengan operasi co-processing sawit dengan menghasilkan green fuel," terangnya.
Ia mengatakan katalis merupakan zat yang dapat mempercepat reaksi hingga miliaran bahkan triliunan kali lipat. Kemampuan katalis ini memberi peluang untuk menyelenggarakan reaksi pada kondisi yang lebih lunak (temperatur dan tekanan rendah) dengan laju dan selektivitas yang tinggi.
" Kemampuannya ini menyebabkan katalis menjadi kunci pengembangan dan penyelenggaraan industri kimia, perminyakan, polimer, oleokimia, dan pelestarian lingkungan," lanjutnya.
Masih kata dia, laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (TRKK) ITB telah melakukan penelitian di bidang energi terbarukan sejak 1982. Saat ini TRKK-ITB berhasil mengembangkan beberapa katalis untuk pengolahan minyak mentah dan produksi bahan bakar nabati, dan proses produksi bahan bakar nabati dari minyak sawit. Beberapa katalis pengolahan minyak bumi yang dikembangkan bersama PT Pertamina telah dikomersialkan dan telah digunakan di berbagai kilang milik Pertamina.
Program uji komersial katalis merah-putih, terang Jumain, merupakan salah satu tonggak (milestone) program Inovasi Perguruan Tinggi di Industri (IPTI): Penguatan Inovasi dan Pengembangan Produksi Katalis "Merah-Putih" yang didukung oleh Direktorat Penguatan Inovasi, Kemenristekdikti sejak tahun 2017.
" Untuk menghasilkan teknologi proses pada jangka panjang dan pabrik katalis nasional pada jangka menengah, kegiatan jangka pendek berfokus pada pembangunan pabrik-katalis pendidikan dan percepatan formulasi katalis-katalis," tuturnya.
Dibagian lain, Prof Subagio, ketua tim peneliti, mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia mengimpor 360.000 barel minyak mentah per hari. Atau setara 41 persen kapasitas kilang minyak Pertamina.Juga, 400.000 ribu BBM atau sekitar 30 persen kebutuhan nasional."Ini menjadi sumber defisit anggaran yang terbesar.Padahal, kita bisa memanfaatkan sawit dan kita adalah penghasil sawit terbesar di dunia," katanya.
Output beberapa katalis dan produk BBM memang saat ini masih dalam skala pilot alias eksperimental bersama industri-industri mitra.Namun, jika terus dikembangkan, Katalis Merah Putih bisa jadi solusi energi nasional.
Subagio mengatakan bahwa saat ini ITB sedang bergerak untuk membangun pabrik katalis melalui dana penguatan inovasi yang diberikan Kemenristekdikti. Dengan kapasitas produksi hingga 3 ton per hari. Bekerja sama dengan PT Pupuk Kujang. Pabrik akan berlokasi di dekat kompleks Pupuk Kujang di Cikampek dan akan menjadi pabrik katalis pertama di Indonesia.
Sayang, Subagio enggan menyebut seberapa banyak penghematan atau keuntungan bisnis yang akan didapatkan dengan penggunaan aneka BBM sawit itu. Namun, menurut dia, penggunaan katalis lebih baik daripada terus mengimpor minyak mentah dari luar negeri. "Ini bukan soal harga.Tapi, tidak impor saja sudah sangat bagus," tegasnya.
Memotivasi Pelajar
Menyusul keberhasilan uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumaidisambut beragam oleh publik di wilayah yang didiami lebih 300 ribu jiwa ini. Kendati begitu mereka satu suara, yakni apresiasi sudah sepatutnya dilayangkan kepada PT Pertamina (Persero).
Sementara Walikota Dumai Zulkifli As menyebut bahwa keberhasilan itu merupakan langkah besar yang patut dibanggakan.
" Kita memberikan apresiasi terhadap keberhasilan uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumai. Apalagi kita mendapat informasi untuk solar ini kali pertama, serta menggunakan katalis Merah Putih produk putra-putri Indonesia. Hasil ini tentu sangat membanggakan kita," katanya kepada media.
Dia mengakui dengan keberhasilan ini diharapkan akan mampu menciptakan kemandirian energi. " Kita mengetahui bahwa minyak bumi terbatas dan tidak bisa diperbarui. Dengan keberhasilan ini tentu kita berharap ke depan terciptanya kemandirian energi," ungkapnya.
Dibagian lain dia pun berharap keberhasilan uji coba komesil pengelolahan RBDPO di Kilang Pertamina RU II Dumai itu menjadi motivasi bagi pelajar di Dumai untuk belajar sungguh-sungguh agar mampu menguasai teknologi. "Kita harapkan keberhasilan Pertamina RU II Dumai ini memotivasi anak-anak kita agar lebih giat lagi belajar. Karena ke depan perkembangan teknologi sangat cepat dan kita harus menguasainya, kalau tidak kita akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain," ingatnya
Sebagai informasi, kosakata ketahanan energi, kemandirian energi, dan kedaulatan energi ialah tiga pengertian yang berbeda baik dalam substansi maupun objektif dalam perumusan dan implementasi konsepsi kebijakan untuk mewujudkannya, tetapi sering dicampuradukkan.
Ketahanan energi ialah ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per kapita, dan adanya akses (accessibility) bagi pengguna energi untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi, serta bertahan untuk jangka panjang (sustainability).
Sementara kemandirian energi ialah kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keanekaragaman energi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Sedangkan kedaulatan energi ialah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi.
Peran Presiden
Namun dibalik sukses inovasi green diesel maupun bio diesel maka nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa dlepaskan dari EBT berbasis kelapa sawit. Paling tidak dalam kurun waktu lima tahun terakhir mimpi mantan Gubernur DKI menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu bagian dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terwujud.
Dalam sejumlah kesempatan Presiden Jokowi terus menerus menggaungkan perlunya Pertamina melakukan inovasi terkait EBT seperti program B30, B40, B50 dan D100,. Bahkan Jokowi mengaku memonitor secara khusus, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan terkait capaian EBT berbasis kelapa sawit.
Jokowi pun mengaku punya alasan tersendiri mengapa ia harus melakukan percepatan implementasi program biodiesel mau pun green diesel?
Yang pertama, Indonesia berusaha untuk mencari sumber-sumber energi baru terbarukan, energi terbarukan, dan negeri dengan dua musim ini harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil yang suatu saat pasti akan habis.
Kedua, ketergantungan Indonesia pada impor BBM, termasuk di dalamnya solar terbilang tinggi. Sementara di sisi lain Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia.
Dengan potensi sawit sebesar itu, kata Jokowi, negeri berbilang suku, kepercayaan dan ras ini punya banyak sumber bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar solar.
Kata Jokowi lagi, potensi itu harus dimanfaatkan Indonesia untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Usaha-usaha untuk mengurangi impor, khususnya solar dilakukan dengan serius.
Untuk yang satu ini, Jokowi punya kalkulasi sendiri. Paling tidak negeri kepulauan ini jika konsisten menerapkan EBT akan menghemat devisa kurang lebih Rp63 triliun, jumlah yang terbilang sangat besar.
Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, ingat Jokowi, penerapan EBT akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani pekebun kelapa sawit di tanah air.
Terkait implementasi EBT berbasis CPO, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.
Tak hanya berdampak pada para petani gurem atau kecil maupun menengah, dan petani rakyat yang selama ini membudidayakan sawit, serta para pekerja yang bekerja di pabrik-pabrik kelapa sawit.
Namun Jokowi yakin program EBT berbasis CPO ini membuat Indonesia tidak akan mudah ditekan-tekan oleh negara manapun, terlebih melalui kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara terhadap ekspor CPO indonesia "Karena kita memiliki pasar dalam negeri yang sangat besar," tegasnya.
Lantas timbul pertanyaan, seberapa besar peran EBT seperti B30, B50, B100 hingga D100 menjadi penyelamat industri sawit di tanah air?
Menjawab pertanyaan itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono optimis kebijakan pemerintah terkait implementasi EBT seperti biodiesel dan green diesel akan membuat produksi CPO bakal terus diserap untuk ketahanan energi nasional.
Disisi lain, tekanan, kampanye hitam, aksi boikot dan lainnya yang kerap dlakukan sejumlah negara terhadap CPO Indonesia tidak berdampak signifikan mengingat besarnya serapan pasar dalam negeri terhadap komoditas tersebut.
Lebih Bersih
Keberhasilan uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumai yang dilakukan beberapa waktu lalu juga direspon positif penggiat lingkungan Kota Dumai Bastoni yang juga Ketua Yayasan Pelestarian Harimau Sumatera (YPHS). Aktivis ini lebih menitik beratkan kepada hasil emisi atau gas buangan. "Pertamina sebagai perusahaan energi nasional kelas dunia tentu kita tidak meragukan lagi dengan komitmen dan care dengan masaah ini," katanya
Bastoni mengaku mendapat informasi bahwa uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing memiliki cetane atau tingkat pembakaran diesel yang lebih bersih dengan emisi atau polusi udara yang lebih sedikit.
" Tentu ini menjadi konsen kita, karena di dunia internasional isu ramah lingkungan dan turunannya sangat sensitif notabene mempengaruhi perfoman produk di pasaran dunia. Dengan tingkat pembakaran diesel yang lebih bersih dengan emisi atau polusi udara yang lebih sedikit seperti informasi yang saya peroleh kita berharap produk ini diterima di pasar dunia," katanya menjawab pertanyaan awak media.
Data lain menyebutkan bahwa pengelolahan green diesel dengan teknologi co processing terbilang ramah lingkungan.
Pendapat Bastoni ini diaminkan Kepala UPT Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan Kota Dumai, Efendi menjelaskan bahwa BBM dapat dikategorikan ramah lingkungan bila memiliki cetane number atau nilai cetane yang lebih tinggi.
Menurut dia nilai cetane sangat menentukan efisiensi pembakaran. Semakin tinggi nilai cetane maka akan semakin sempurna karena lebih mudah terbakar sehingga carbon yang tersisa semakin kecil dan aman bagi lingkungan.
" BBM ramah lingkungan bisa diketahui dari cetane numbernya. Semakin tinggi maka semakin baik karena akan menghasilkan pembakaran yang sempurna, itu yang kita kita harapkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan," ujar Efendi seraya menambahkan bahwa tingginya nilai cerane juga berbanding lurus dengan power yang dihasilkan oleh kendaraan yang juga semakin maksimal.
Lanjut Efendi, Pertamina telah memproduksi biosolar B20 yang artinya memiliki kandungan 20 persen minyak nabati di dalamnya. Diharap kedepannya produksi Pertamina bisa mencapai B100. Lantaran green diesel atau biosolar merupakan minyak nabati, maka otomatis kandungan Sulfur lebih rendah dari minyak bumi fosil.
"Semakin banyak persentase minyak nabatinya akan semakin bagus akan mengurangi efek polusi karena unsur sulfurnya tidak ada lagi," imbuhnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Satria Wibowo melalui Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Afdal Syamsir kepada awak media mengatakan, dewasa ini negara besar di belahan dunia mulai mengurangi penggunaan bahan bakar dari fosil dan beralih ke bahan bakar nabati karena dinilai memiliki efek polutif yang lebih rendah dibandingkan BBM konvensional yang berasal dari minyak bumi.
Penemuan mutakhir berteknologi tinggi anak negeri ini, kata Afdal, merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Pertamina untuk melakukan gerak progresif agar terus menyediakan bahan bakar berkualitas dan ramah lingkungan. Pertamina diharapkan juga mulai fokus pada peningkatan mutu produk sembari tetap berkreativitas melakukan uji coba dan pengembangan pada produk-produk green energy lainnya. Asa yang patut didukung penuh anak bangsa demi kemandirian energi.
Naikan Pendapatan
Apresiasi dari pemerhati pembangunan Kota Dumai Ilham Apanda SE. Berbeda dengan Bastoni, cendiakiawan muda ini lebih menekankan kepada nilai jual kelapa sawit ditingkat petani.
Ilham mengingatkan kerap anjloknya harga sawit ditingkat petani salah satunya berdampak turunnya daya beli masyarakat alih-alih berpengaruh terhadap sektor riil dan turunannya.
Keberhasilan uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumai yang dilakukan beberapa waktu lalu, lanjut Ilham, diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani.
" Kita mengetahui disejumlah media massa bahwa diduga salah satu penyebabnya yakni adanya boikot CPO kita oleh Uni Eropa (UE). Dengan keberhasilan uji coba ini, apalagi kalau nanti diproduksi besar-besaran notabene ketergantungan kita terhadap pasar internasional berkurang. Karena mampu diserap pasar domestik. Sekali lagi ini merupakan prestasi luar biasa Pertamina bersama instansi terkaitnya menyikapi kondisi tanah air kekinian terlebih persoalan energi dan CPO," ungkapnya kepada media ini.
Diserapnya CPO oleh Pertamina sebagai salah satu komponen utama RBDPO, masih kata dia, sedikit banyak mempengaruhi harga tandan segar ditingkat petani. "Dengan harga tandan buah segar (TBS) sawit relatif membaik dan stabil tentu pengaruhnya sangat signifikan bagi daya beli dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang pada gilirannya ikut menyumbang ekonomi nasional ke arah yang lebih baik," ingatnya.
Peluang Bisnis Baru
Berbeda dengan nara sumber sebelumnya, ternyata keberhasilan uji coba pengelolahan RBDPO menjadi green diesel nabati, di mata Manajer Operasional Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Pembangunan Dumai, Anora Arsan SE , ada peluang bisnis baru bagi daerah.
" Kita menyambut positif keberhasilan ini. Sebagai pelaku bisnis tentu kita harap ada nilai tambah bagi perekonomian daerah. Ya, saya menilai ada peluang bisnis baru yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat," harap Anora kepada media ini.
Lebih jauh, sambung dia, peluang bisnis baru itu bisa terjadi disektor jasa, transportasi dan sebagainya.Bahkan, kata Anora, PT Pembangunan Dumai siap bekerjasama dan menangkap peluang bisnis baru itu.
" Kita siap bekerjasama.Apalagi, antara BUMN dan BUMD hampir memiki kesamaan.Intinya, kerjasama saling menguntungkan. Yang satu untuk negara (BUMN, red) , satu lagi buat daerah (BUMD, red)," pungkasnya.
Berharap Banyak
Lantas bagaimana dengan petani sawit kelompok masyarakat yang paling terkena imbas turun atau anjloknya harga sawit yang tak jarang membuat mereka menjerit? Yanto (47), salah seorang petani sawit di Dumai menyambut gembira menyusul keberhasilan uji coba komesil pengelolahan RBDPO di Kilang Pertamina RU II Dumai ini. Dia mengaku sangat berharap banyak dengan BBN tersebut.
Menyinggung harga TBS bisa mencapai Rp1900 s/d Rp2200 (sekarang mencapai Rp2000 diduga dipicu wabah Covid-19, red) jika D-100 diproduksi massal sebagaimana prediksi sejumlah kalangan, Tugiyanto, petani sawit yang memiliki lahan di Kampung Mampu, Kelurahan Lubuk Gaung, Kecamatan Sugai Sembilan, Kota Dumai, misalnya, mengaku sangat senang.
Sebab pria bertubuh tegap ini berpendapat untuk bisa memenuhi kehidupan petani berikut biaya perawatan maka harga minimal TBS ditingkat petani sekitar Rp1000 per kilogram.
Tentu Tugiyanto tidak asal sebut. Ayah tiga putera ini mempunyai hitungan sendiri. Dia mengambil contoh, jika TBS perkilo Rp1000 maka dari 2 hektar lahan bisa menghasilkan Rp4 juta per bulan.
" Ini kita asumsikan bahwa dalam sebulan panen sawit sekitar 4 ton. Sementara Upah Minimal Kota (UMK) sekitar Rp3,5 juta. Ya, cukuplah untuk anak dua dan keperluan lainnya. Bahkan sisanya bisa beli pupuk. Kalau harga diatas itu tentu lebih sejahtera lagi, dan memang itu yang kita harapkan," terang Tugiyanto.
Tugiyanto mengaku titik terang terkait kesejahteraan petani sawit mulai nampak tatkala keberhasilan kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai melakukan uji coba komersil D-10 sekitar bulan Mei 2019 lalu.
Dengan kata lain, Tugiyanto berpendapat inovasi yang dilakukan Pertamina mulai dari B-20, B-30, B-50, B-100 dan D-100 menjadi harapan terakhir membaiknya harga TBS di tengah pengaruh ekonomi global termasuk pandemi Covid-19 plus ancaman embargo CPO oleh Uni Eropa (UE).
" Tidaklah berlebihan jika BBN adalah harapan terakhir petani sawit untuk mewujudkan impian, yakni harga kompetitif dan stabil yang berujung kepada meningkatnya kesejahteraan, karena saya rasa tidak ada lagi celah bagaimana mendongkrak harga TBS ditengah kondisi seperti ini selain melalui BBN. Karena untuk menghasilkan D100 diperlukan CPO dalam jumlah banyak dan itu bersifat kontinyu, dan itu saya rasa tidak dijumpai pada industri pengelolahan CPO lainnya ," katanya optimis.
Tak hanya Tugiyanto berharap banyak menyusul membaiknya harga TBS buah sawi, tapi asa serupa juga digantungkan J Silaban (38) salah seorang pedagang sayur-mayur di Pasar Pagi Bundaran, Kelurahan Bukit Batrem, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai, Provinsi Riau ini pun mengakui bahwa buah sawit sebagai bahan utama BBN mempengaruhi penghasilannya.
Silaban mengaku bahwa anjloknya harga sawit membuat jual-beli di lapaknya sepi.
" Ini sangat terasa. Kalau harga sawit bagus, para petani sering ke pasar. Selain membeli banyak, mereka juga tidak pakai menawar lagi main timbang. Ya, ketika harga baik uang mereka tidak berseri (istilah Silaban untuk kata banyak uang, red)," terang Silaban saat berbincang-bincang ringan dengan media ini.
Vitalnya komoditas sawit bagi masyarakat Riau dan menjadi penggerak sektor riil dan pemacu pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dari data yang dirilis Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2017 menyebutkan bawa total luas perkebunan sawit di Riau mencapai 2.493.176 Ha.
Dari jumlah tersebut, luasan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Riau mencapai 1.386.575 Ha atau 56persen. Dengan jumlah kepala keluarga petani mencapai 524.561 KK. Sementara jumlah orang yang tertanggung mencapai 2.098.244 jiwa. Dengan menyerap tenaga kerja sebesar 534.827 jiwa.
Data tersebut menunjukkan Riau merupakan provinsi yang terbesar dalam industri sawit nasional, baik dari segi luasan, dan jumlah petaninya.
Sementara itu data terakhir dari Kementerian Industeri RI menyebutkan di provinsi kaya itu terdapat 138 perusahaan CPO yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Bisa dibayangkan berapa juta ton "emas kuning" yang dihasilkan belum lagi keterlibatan puluhan ribu pekerja?
Dengan adanya program EBT ini bisa dipastikan harga TBS sawit relatif aman, karena kilang-kilang Pertamina yang ada disejumlah daerah di tanah air siap menampung CPO untuk diolah menjadi biodiesel, meski tanaman asal benua Afrika itu diboikot UE.
Dapat disimpulkan dengan menyatunya emas hitam dan emas hijau (baca : kelapa sawit) di kilang Pertamina RU II Dumai ini merupakan bukti bahwa kemampuan teknologi yang dikuasai anak negeri tidak kalah mumpuni dengan teknologi luar negeri. Disamping menimbukan multi efect player terhadap ekonomi nasional mau pun daerah.
Ini menjadi catatan emas dan kebanggan bagi perjalanan sejarah bangsa terlebih Kemen ESDM RI, Kemenristekdikbud, PT Peramina (Persero), kalangan akademis, perguruan tinggi dan lainnya bahwa hasil inovasi tiada henti demi terciptanya kemandirian energi - anak negeri itu menghasilkan secerca harapan bahwa suatu saat Indonesia mampu berswasembada energi tanpa perlu didikte Negara lain. Bukankah ini salah satu esensi dari makna kata merdeka?. (Muhammad Nizar)
Sumber tulisan: disarikan dari berbagai sumber dan hasil wawancara