• Home
  • Kilas Global
  • Jepang Negara Produsen Pornografi dengan Angka Kelahiran Rendah
Sabtu, 17 November 2018 08:51:00

Jepang Negara Produsen Pornografi dengan Angka Kelahiran Rendah

Ilustrasi: Shigeo Tokuda, aktof film cabul yang populer di Indonesia dengan nama Kakek Sugiono. (South China Morning Post-handout)
Jakarta - Kehebohan tentang Maria Ozawa yang mengunjungi Bali pekan lalu seolah menegaskan soal popularitas pornografi Jepang di Indonesia. Namun mungkin bisa dikatakan ironis, Jepang sendiri disebut tak terlalu tertarik pada seks di dunia nyata. Sebagaimana diberitakan Japan Today, tahun 2017 tercatat sebagai tahun dengan angka kelahiran terendah dalam satu abad terakhir di Jepang. Masalah pornografi hingga manga dan anime menjadi kambing hitam. Organisasi antipornografi yang berbasis di Amerika Serikat, Fight the New Drug (FTND), menyebut Jepang sebagai negara dengan industri pornografi terkemuka. Menurut FTND, industri porno di Jepang turut menjadi faktor masalah keengganan terhadap seks dan angka kelahiran yang rendah. Komik porno hentai dan film cabul menyajikan konten seksual yang hiperbolik, semua dilebih-lebihkan dan serba-fantastis. Ada karakter gadis kecil yang diseksualisasi, berhubungan badan dengan monster gurita, hingga inses yang tak keruan. Semua itu membuat relasi pria dan wanita di dunia nyata menjadi tidak menarik bagi para pecandu produk porno. Mereka lebih suka tetap berada di alam fantasi seperti yang disajikan produk-produk itu. "Mereka bisa kehilangan hasrat terhadap seks yang nyata. Seks nyata menjadi tak semenarik pornografi," demikian kata FTND. Pada 2017, ada 941 ribu bayi yang lahir di Jepang dan angka kematian mencapai 1,34 juta alias yang tertinggi setelah Perang Dunia II. Penduduk Jepang berusia 14 tahun ke bawah sekitar 12,7 persen dari total 125 juta jiwa. Dilansir CNN, survei pemerintah Jepang pada September 2016 menunjukkan 42 persen pria dan 44,2 persen wanita antara 18-34 tahun masih perawan dan belum menikah. Disebutkan CNN pada berita 'Kenapa hampir setengah kaum milenial Jepang masih perawan?' pada 2016, orang Jepang kurang tertarik pada seks karena beberapa faktor. Ada faktor ekonomi yang stagnan dan faktor hobi manga yang lebih menarik ketimbang realitas. Saking prihatinnya, aktivis Jepang terhadap masalah angka kelahiran yang rendah, LSM White Hands, menyelenggarakan kelas seni bugil supaya publik lebih nyaman dengan seksualitas. BBC dalam berita tahun 2013 menyoroti soal pria-pria Jepang yang lebih tertarik pada gadis virtual ketimbang seks. Kurangnya angka kelahiran bayi disebabkan oleh tumbuhnya jenis pria baru, yakni jenis otaku, istilah yang merujuk pada penghobi manga, anime, dan game komputer. Survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan pada 2010 menemukan 36 persen pria Jepang usia 16-19 tahun tidak tertarik pada seks. Produsen kondom Durex pada 2012 merilis survei yang menunjukkan pasangan Jepang sangat jarang berhubungan seksual, yakni 48 kali dalam setahun. Ini sangat jauh ketimbang Yunani, yang berhubungan seksual 164 kali dalam setahun. Dilansir The Guardian, hidup tanpa seks lebih bisa diterima secara sosial di Jepang. Bukan cuma pornografi Ada yang memandang pornografi sekadar gejala ketimbang sebagai penyebab rendahnya minat seksual, yang akhirnya bermuara pada rendahnya angka kelahiran. Penyebab yang lebih mendasar adalah faktor sosio-ekonomi. Profesor Studi Internasional dari Universitas Kyoto, Nancy Snow, menjelaskan ada perubahan relasi pria dan wanita di Jepang. Dulu, kaum pria adalah yang paling berkontribusi terhadap kejayaan ekonomi Jepang pada 1980-an. Namun kini tidak lagi begitu. Perempuan beranjak kian mandiri secara ekonomi, dan ini mempengaruhi psikologi pria Jepang. "Pria merasa terikat dengan gaji dan mereka merasa terancam oleh perempuan yang mampu hidup mandiri," kata Snow. The Feed SBS mewawancarai orang-orang Jepang yang belum menikah. Salah satunya adalah karyawan bernama Taiyo Hashimoto (26). Tuntutan dunia kerja membuatnya tak punya waktu untuk menjalin asmara. Dia seharusnya selesai bekerja pukul tujuh malam, tapi dia bekerja melebihi batas waktu setiap harinya. Dia juga harus menemani bosnya untuk minum-minum pada malam harinya, sesuatu yang tak kuasa dia tolak. "Sederhananya, semakin lama kita bekerja, semakin sedikit waktu yang kita punyai untuk diri kita sendiri," kata dia. (dnu/tor)
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified