Sabtu, 30 Oktober 2021 23:36:00

Menakar Multiplier Efect Industri Hulu Migas dalam Menopang Sektor Riil Pacu Pertumbuhan Daerah

Jurus Pamungkas ala Pemerintah Wujudkan Ketahanan Energi

DALAM kurun waktu lima tahun kedepan pemangku kepentingan di industri hulu Minyak dan Gas (Migas) harus bekerja ekstra keras. Ini menyusul cetak biru pengelolaan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 6 Tahun 2006 Tentang  Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Sejumlah langkah strategis pun diambil. Diantaranya revilalisasi   pembangunan kilang. Sayang tidak berjalan mulus, salah satunya disebabkan Pandemik Covid-19 yang membuat ekonomi global melemah.

Memang, secerca asa datang menyusul  suksesnya inovasi terhadap bahan bakar berbasis Cruide Palm Oil (CPO), mulai dari B-30 hingga D-100.  Ini merupakan inovasi dari energy baru dan terbarukan (EBT). Namun ancaman yang takkalah serius pun nuncul, yaitu kehadiran kendaraan listrik. Berangkat dari pengalaman produk yang pernah  mendunia, satu persatu mereka tersungkur tatkala gagal mengikuti tren teknologi dan salah membaca tanda-tanda alam.


f/kontan Pembangunan fisik proyek Refinery Development Master Plant -RDMP Kilang Balikpapan

Selain dua langkah itu, sejumlah kalangan menilai alih kelola terhadap dua wilayah kerja (WK),Blok Mahakam dan Blok Rokan dari perusahaan multi nasional ke BUMN diyakini memberikan kontrivusi signifikan terhadap target 1 juta barel perhari (bph) minyak pada tahun 2030.

Sebelum melanjutkan tulisan ini mungkin ada yang bertanya apa itu ketahanan energi nasional? Ya kosa kata ketahanan energi, kemandirian energi, dan kedaulatan energi ialah tiga pengertian yang berbeda baik dalam substansi maupun objektif dalam perumusan dan implementasi konsepsi kebijakan untuk mewujudkannya, tetapi sering dicampuradukkan.


f/riaupos Sejumlah  pekerja di Blok Rokan menuju area bekerja.

Oleh karena itu, sekedar berbagi informasi apa definisi ketiga istilah menurut hemat penulis tidak ada salahnya dibagikan. Ya, menurut Sampe L Purba praktisi energi global dalam opininya yang dilansir salah satu media teras utama, menyebutkan bahwa  Ketahanan energi ialah ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per kapita, dan adanya akses (accessibility) bagi pengguna energi untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi, serta bertahan untuk jangka panjang (sustainability).

Sementara, lanjut dia, Kemandirian energi ialah kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keanekaragaman energi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Sedangkan kedaulatan energi ialah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi.


Seperti hari-hari biasanya  tidak ada yang mencolok di Bandara Pinangkampai,  Rabu (15/7) pagi menjelang siang. Hanya saja  satu unit Toyota Inova dengan Nomor Polisi (Nopol) BM 1991 NY keluaran 2017  parkir tak jauh dari ruang tunggu VVIP di pelabuhan udara yang diresmikan  mantan Direktur (Alm) PT Pertamina (Pesero) Ibnu Sutowo 27 Februari 1975.

Sepintas tidak ada perbedaan dengan mobil sejenis lainnya. Hanya  saja warna dasar mobil putih berpadu hijau dengan tulisan "D100"ada gambar daun sawit di tengah-tengah huruf "D"  di pintu depan plus logo Pertamina tepat diatas tulisan itu. Sementara tulisan "Road Test"  tertulis di pintu belakang, tak urung menjadi  pusat perhatian sejumlah orang yang lalu lalang di Bandara itu.

Tak lama berselang terdengar deru pesawat jet di atas langit dekat Bandara. Selanjutnya roda  burung besi itu menyentuh landasan pacu 1800 X 45 meter.

Ya,  hari itu Kota Dumai kembali mencatat  sejarah dalam hal inovasi Bahan Bakar Nabati (BBN). Jika   sebelumnya,   Kamis, kilang Refinery Unit (RU) II Dumai menerima kunjungan Menristek Dikti yang kala itu dijabat Muhammad Nasir ,Direktur Jenderal (Dirjen) Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe dan rombongan.

Kedatangan mereka ingin  melihat uji coba komersil green diesel atau solar nabati D10 dengan kandungan 87,5 persen solar minyak bumi dan 12,5 persen minyak sawit. Hanya butuh waktu setahun dua bulan tepatnya 15 Juli 2020 D10 pun telah berubah menjadi D100.Jelas ini  sebuah lompatan teknologi  besar yang patut dibanggakan.

Memang, dalam waktu beberapa  tahun terakhir publik di tanah air melalui sejumlah media massa disuguhkan  istilah-istilah seperti B30,  B100 dan D100.

f ist-ckp Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bersama Dirut PT Pertamina  Nicke Widyawati melakukan uji coba kendaraan jenis MPV yang menggunakan bahan bakar D-100 di Dumai.

            Ya, jika mendengar  istilah-istilah itu maka pikiran sebagian  orang akan tertuju kepada  kelapa sawit. Alih-alih yang terlintas adalah pohon  asal Benua Afrika itu. Pikiran ini tidak salah sepenuhnya. Berikut beberapa rangkuman singkat dari istilah diatas.

            Seperti diketahui angka di belakang huruf B dimaksudkan buat menyatakan persentase Bio-Diesel, yang dicampur dengan Diesel Fuel (Minyak Solar). B-30 merupakan biosolar dimana campuran 30 persen Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dan 70 persen campurannya adalah solar.

            Sementara B-100 merupakan istilah untuk biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin atau motor diesel FAME, yang juga melalui proses esterifikasi, yakni adalah proses pemindahan alkohol dari ester. Namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau metanol.

        Sedangkan green diesel atau diesel biohidrokarbon (D-100), merupakan hasil dari olahan  Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) , yakni minyak kelapa sawit atau Cruide Palm Oil (CPO), yang telah diproses lebih lanjut sehingga kandungan getahnya hilang, impurities dan baunya.

Pengolahan RBDPO menjadi D-100 di kilang Dumai, misalnya, dapat direaksikan dengan bantuan katalis dan gas hidrogen untuk menghasilkan produk green diesel.

            Lazimnya kedatangan pejabat penting dari Jakarta,  sebelum menuju pusat kota yang berjarak  sekitar 5 kilometer dari lapangan udara itu, mereka rehat sebentar ditemani para pejemput beramah tamah melepaskan penat setelah sekitar 1,45 menit berada di atas udara . Tidak terkecuali Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita , Direktur Utama Pertamina (Dirut) Nicke Widyawati dan rombongan.

            Sebelum menaiki mobil yang menggunakan bahan bakar D-100, dengan memakai masker serta menjaga jarak sesuai protokol kesehatan Covid-19 mereka pun  berpose di sisi kiri kendaraan jenis MPV .           Selanjutnya Menperin dan Nicke menjajal ruas jalan Kota Dumai menuju Kilang RU Dumai yang berlokasi di Jalan Putri Tujuh.

Lantas bagaimana komentar pejabat negara ini pasca menjajal hasil teknologi anak negeri yakni kolaborasi antara Research & Technology Center Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

            Perguruan  Tinggi Negeri (PTN) tempat presiden pertama RI menimba ilmu itu juga berhasil melakukan rekayasa co-processing  minyak sawit melalui katalis merah putih, yang membuat Indonesia menjadi salah satu referensi teknologi produksi biofuel dunia.

Agus pun menilai kendaraan  menghasilkan performa mesin yang baik dan ramah lingkungan plus suara mesin terbilang halus. " Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan RBDPO 100 persen," katanya.

Selama perjalanan tidak ada excessive noise, tarikan mesin lebih bertenaga dan asap buang knalpot tetap bersih meskipun  RPM tinggi. Dengan performa yang lebih baik tersebut, akan lebih hemat dari sisi penggunaan BBM maupun perawatan mesin.

Ternyata  dari hasil uji lab milik Pertamina bahwa angka cetane (angka untuk menunjukan kualitas bahan  bakar diesel, pen). Sementara hasil uji emisi kendaraan menunjukkan Opacity (kepekatan asap gas buang) turun menjadi 1,7 terbilang sangat rendah.

Dari hasil lab diketahui D-100 yang diproduksi Pertamina memiliki spesifikasi cetane number terbilang tinggi, yaitu hingga 79 sehingga diyakini dapat menghasilkan performa kendaraan yang lebih baik sebagai campuran bahan bakar.

            Menyinggung angka cetane, Kepala UPT Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan Kota Dumai, Efendi menjelaskan bahwa BBM dapat dikategorikan ramah lingkungan bila memiliki cetane number atau nilai cetane tinggi.

            Menurut dia nilai cetane sangat menentukan efisiensi pembakaran. Semakin tinggi nilai cetane notabene kian sempurna karena lebih mudah terbakar sehingga carbon yang tersisa semakin kecil dan aman bagi lingkungan.

            "BBM ramah lingkungan bisa diketahui dari cetane numbernya. Semakin tinggi maka semakin baik karena akan menghasilkan pembakaran yang sempurna, itu yang kita kita harapkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan," ujar Efendi seraya menambahkan bahwa tingginya nilai cerane juga berbanding lurus dengan power yang dihasilkan oleh kendaraan yang juga semakin maksimal.

Sebelumnya     Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Budi Santoso Syarif menjelaskan, dalam uji performa tersebut,  bahan bakar yang digunakan adalah campuran D-100 sebanyak 20 persen, Dexlite sebanyak 50 persen dan FAME sebanyak 30 persen.

Budi menambahkan, hasil Uji Performa yang bagus ini juga membuktikan bahwa D-100 yang diproduksi Perdana di Kilang Dumai Pertamina dapat menjawab kebutuhan green energy di Indonesia.

Hal ini karena D100 dibuat dari 100 persen bahan nabati turunan dari CPO atau kelapa sawit yang banyak terdapat di Indonesia.

"Ini adalah yang pertama di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang dapat melakukannya. Kami membuktikan bahwa Pertamina berhasil melakukannya. Suatu kebanggaan bagi kami dapat menciptakan solusi untuk Indonesia," katanya.

Setelah sukses memproduksi Green Diesel (D-100) melalui pengolahan minyak sawit 100 persenn, PT Pertamina (Persero) terus melangkah maju dan siap memproduksi green energy lainnya, seperti Green Gasoline dan Green Avtur dari kilang dalam negeri pada tahun-tahun mendatang.

            Sesampainya di Unit DHDT Refinery Unit (RU) II Dumai, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menerima contoh produk D-100 dari Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati.

Terkait sukses uji coba produksi D-100, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengingatkan bahwa hal itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengawal implementasi program Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam rangka mengoptimalkan sumber daya alam yang berlimpah di Indonesia, khususnya kelapa sawit, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan para petani.

"Saya mengucapkan selamat kepada rekan-rekan di Pertamina, khususnya di Kilang Dumai yang telah membuktikan bahwa kita mampu. Keberanian yang diambil Pertamina ini luar biasa, prosesnya sejak tahun 2019 sampai hari ini juga sangat cepat. Kita sama-sama bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan anak negeri dan Pemerintah akan selalu mengawal Pertamina," ucapnya.

            Ditambahkannya, presiden  telah memerintahkan untuk menambah komposisi pencampuran bahan bakar nabati untuk jenis diesel sampai dengan 40 persen, 50 persen hingga 100 persen. Ini, lanjut dia,  untuk menunjukkan kedaulatan energi nasional yang mandiri dan berdikari.

            Lebih jauh Menperin mengatakan, rekayasa produk serta proses produksi diesel hijau yang berkualitas tinggi dan keekonomian yang bersaing merupakan kunci utama.

"Di Dumai, kami menyaksikan langsung hasil karya riset dan aplikasi teknologi produksi green diesel (bahan bakar diesel hijau) dari minyak sawit. Kami sangat mengapresiasi hasil kerja keras, ketekunan, dan kepiawaian tim dari ITB di bawah pimpinan Prof Dr Soebagjo beserta tim peneliti PT Pertamina yang telah berhasil mewujudkan teknologi produksi green diesel secara stand alone, dengan Katalis Merah Putih made in Indonesia," paparnya.

            Menperin menambahkan, pengembangan industri diesel hijau merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kelas petani rakyat sebagai stakeholder utama industri sawit nasional. Artinya, program ini akan lebih banyak memberikan kesejahteraan bagi para petani kelapa sawit.

             Selain itu, lanjut dia, program mandatory biodiesel, termasuk B-30, telah dirancang dan dijalankan secara konsisten untuk mencegah turunnya harga CPO global akibat fenomena oversupply dunia. Lebih jauh lagi, kestabilan harga CPO global akan diwujudkan menjadi kestabilan harga beli Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sehingga menjamin keberlanjutan kehidupan petani rakyat.

Yang takkalah pentingnya, lanjut Menperin, inovasi tersebut menjadi momen tepat untuk menyampaikan pesan  bahwa Indonesia akan mandiri dalam penyediaan energi nasional di tengah maraknya kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa dan negara importir lainnya.

 "Indonesia akan mengurangi impor BBM dan menggantinya dengan bahan bakar hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," tegasnya.

Sebelumnya, Dirut PT Pertamina (Persero)  Nicke Widyawati menyampaikan apreiasi terhadap dukungan pemerintah menyusul inovasi yang dilakukan perusahaan terkait Bahan Bakar Nabati (BBN).

Dikatakannya, Pertamina memiliki tugas dan peran penting menjalankan amanah dari pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional."Untuk itu Pertamina terus berupaya menghadirkan inovasi-inovasi yang dapat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia, yakni membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional,"katanya.

         Hal ini, lanjut Nicke,  membuktikan bahwa secara kompetensi dan kapabilitas Pertamina pada khususnya dan anak negeri pada umumnya memliki kemampuan dan daya saing dalam menciptakan inovasi. "Terbukti bahwa kita mampu memproduksi bahan bakar reneawable yang pertama di Indonesia dan  hasilnya tidak kalah dengan perusahaan  kelas dunia,"tambahnya seraya menambahkan bahwa D-100 juga akan diproduksi di kilang Plaju dengan jumlah 20 ribu bph .

    Kendati begitu, Nicke tak urung minta dukungan  pemerintah. Lantas dukungan seperti  apa yang diharapkan orang nomor satu di perusahaan yang berdiri 10 Desember 1957 menyusul inovasi tersebut?

      Nicke meminta  pemerintah memberi kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).

       Dia mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. "Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga," ingatnya.

       Menurut hemat penulis dukungan yang sangat realistis. Mengingat bukan rahasia umum lagi, perusahaan sawit Indonesia memang lebih memilih mengekspor komoditas CPO. Sebab, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal inilah yang membuat capaian produksi BBN Indonesia di 2019 hanya 75 persen dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter.

        Ironisnya, tatkala harga CPO dunia tinggi  mereka pun  beramai-ramai mengutamakan pasar ekspor, dan cendrung mengabaikan pasar domestik. Alih-alih, emak-emak pun menjerit, karena harga minyak curah di pasar tradisional yang digunakan mayoritas masyarakat menengah ke bawah membumbung  tinggi. Sebaliknya, ketika harga CPO dunia anjlok justeru pasar dalam negerilah yang menyelamatkan produksi mereka.

         Memang, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan  bahwa pemerintah siap memberi dukungan penuh menyusul inovasi yang dilakukan Pertamina. Diantaranya, kemudahan perizinan industri, penyusunan rancangan SNI Katalis, hingga fasilitasi insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction tax notabene regulasi terkait DMO  menjadi PR  tersendiri bagi pemerintah agar inovasi yang dilakukan Pertamina terkait Energi Baru dan Terbarukan (EBT) berjalan mulus.

 Dimonitor  Presiden

          Catatan penulis dalam sejumlah kesempatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menerus menggaungkan perlunya Pertamina melakukan pengembangan dan pembangunan kilang baru demi mengurangi impor BBM  yang menjadi penyumbang terbesar  defisit neraca dagang atau Current Account Deficit (CAD) plus terwujudnya kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi.

     Khusus Energi Baru dan Terbarukan (EBT) seperti program B-30, B-40, B-50 dan D-100, Jokowi mengaku  memonitor secara khusus, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan.

      Jokowi pun mengaku punya alasan sendiri mengapa harus melakukan percepatan implementasi program biodiesel  mau pun green diesel? Ada tiga alasan.

        Yang pertama, sambung dia, Indonesia berusaha untuk mencari sumber-sumber energi baru terbarukan, energi terbarukan, dan negeri dengan dua musim ini  harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil yang  suatu saat pasti akan habis.

     "Pengembangan energi baru terbarukan juga membuktikan komitmen kita untuk menjaga planet bumi, menjaga energi bersih, dengan menurunkan emisi gas karbon dan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Ini adalah energi bersih," ingatnya.

        Kedua, ingat Jokowi,  ketergantungan Indonesia pada impor BBM, termasuk di dalamnya solar, ini cukup tinggi. Sementara di sisi lain Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia.

         Dengan potensi sawit sebesar itu, kata Jokowi, negeri berbilang suku agama dan ras ini punya banyak sumber bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar solar.

        Kata Jokowi lagi, potensi itu harus dimanfaatkan Indonesia untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Usaha-usaha untuk mengurangi impor, khususnya solar, harus terus dilakukan dengan serius.

       Untuk soal ini, Jokowi punya kalkulasi sendiri. Paling tidak negeri yang memiliki 16.056 pulau yang telah dibakukan PPB hingga Juli 2017 (data Kemenrian Koordinator Bidang Kemaritiman, pen) ini konsisten menerapkan EBT  akan menghemat devisa kurang lebih Rp63 triliun, jumlah yang terbilang sangat besar.

         Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, ingat Jokowi, penerapan EBT akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani pekebun kelapa sawit di tanah air.

     Terkait implementasi EBT berbasis CPO,  Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.

             Tak hanya berdampak pada para pekebun kecil maupun menengah, petani rakyat yang selama ini memproduksi sawit, serta para pekerja yang bekerja di pabrik-pabrik kelapa sawit.

     Namun Jokowi yakin program EBT berbasis CPO ini membuat Indonesia tidak akan mudah ditekan-tekan oleh negara manapun, terlebih melalui kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara terhadap ekspor CPO negeri yang  memiliki 652 bahasa daerah (data Kemendikbud, pen).

   "Karena kita memiliki pasar dalam negeri yang sangat besar," tegasnya.

      Lantas muncul pertanyaan, seberapa besar peran EBT seperti B-30, B-50, B-100 hingga D-100  CPO menjadi penyelamat industri sawit di tanah air berikut turunannya?

    Menjawab pertanyaan itu Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, pelaku industri CPO  meminta pemerintah harus mendorong peningkatan penggunaan biodiesel untuk menyelematkan industri tersebut.                   

   Dia optimis, kebijakan pemerintah terkait implementasi EBT seperti biodiesel dan  green diesel  akan membuat produksi CPO bakal terus diserap untuk ketahanan energi nasional.

    Ternyata implementasi EBT melalui sejumlah program energi berbasis kelapa sawit yang dikembangkan Pertamina dalam beberapa tahun terakhir ini tidak hanya menyelematkan industri CPO nasional.

  Namun untuk Riau, khususnya kelapa sawit menjadi peyelamat pertumbuhan  ekonomi wilayah itu di tengah pandemik Covid-19. 

    Hal itu dikemukakan Ekonom Universitas Riau, Dahlan Tampubolon P.hd. Kondisi ini dipicu naiknya harga Tandan Buah Segar (TBS)  yang berujung membaiknya ekonomi para petani. ,

         Kata dia, pandemik Covid-19 membuat ekonomi Riau maupun nasional anjlok salah satu  dampaknya yakni  turunnya daya beli masyarakat Beruntung, di saat wabah, ekonomi Tiongkok masih tumbuh sehingga harga CPO membaik.

       "Kalau ekonomi petani sawit di Riau membaik, akan mendorong konsumsinya. Konsumsi pokok diperoleh dari masyarakat sekitar, yang bukan hanya petani sawit. Setelah kebutuhan primernya terpenuhi, petani sawit menghabiskan konsumsinya untuk kebutuhan sekunder, maka bisa kita lihat di hari Sabtu dan Ahad antrean masuk di Mal Pekanbaru dan cafe yang mulai beroperasi hingga malam," papar ekonom ini panjang lebar seperti dilansir riauterkini.com.

Sukses  uji coba pengelolahan  RBDPO menjadi green diesel nabati, Rabu  (15/7) lalu, mendapat apresiasi dari pemerhati ekonomi Kota Dumai Arif Azmi SE. Cendiakiawan muda ini berharap uji coba ini  membuat  nilai jual kelapa sawit ditingkat petani meningkat.

            Arif mengingatkan kerap anjloknya harga sawit ditingkat petani salah satunya berdampak turunnya daya beli masyarakat alih-alih berpengaruh terhadap sektor riil.

            Keberhasilan uji coba pengelolahan  RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumai  beberapa waktu lalu, lanjut mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) , diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani.

            "Kita mengetahui disejumlah media massa bahwa diduga salah satu penyebabnya yakni adanya boikot CPO kita oleh Uni Eropa (UE). Dengan keberhasilan uji coba ini, apalagi kalau nanti diproduksi massal atau besar-besaran notabene ketergantungan kita terhadap pasar internasional berkurang. Karena mampu diserap  pasar domestik. Sekali lagi ini merupakan prestasi luar biasa Pertamina bersama instansi terkaitnya menyikapi kondisi tanah air kekinian terlebih persoalan energi dan CPO," ungkapnya.

            Diserapnya CPO oleh Pertamina sebagai salah satu komponen utama RBDPO, masih kata dia, sedikit banyak mempengaruhi harga tandan buah segar ditingkat petani. "Dengan harga tandan sawit relatif membaik dan stabil tentu pengaruhnya sangat signifikan bagi daya beli dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang pada gilirannya ikut menyumbang ekonomi nasional ke arah yang lebih baik," ingatnya.

Sebelumnya, Dirut PT Pertamina (Persero)  Nicke Widyawati menyampaikan apresiasi terhadap dukungan pemerintah menyusul inovasi yang dilakukan perusahaan terkait BBN.

Dikatakannya, Pertamina memiliki tugas dan peran penting menjalankan amanah dari pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional. "Untuk itu Pertamina terus berupaya menghadirkan inovasi-inovasi yang dapat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia, yakni membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional,"katanya.

        Hal ini, lanjut Nicke,  membuktikan bahwa secara kompetensi dan kapabilitas Pertamina pada khususnya dan anak negeri pada umumnya memliki kemampuan dan daya saing dalam menciptakan inovasi. "Terbukti bahwa kita mampu memproduksi bahan bakar reneawable yang pertama di Indonesia dan  hasilnya tidak kalah dengan perusahaan  kelas dunia,"tambahnya seraya menambahkan bahwa D-100 juga akan diproduksi di kilang Plaju dengan jumlah 20 ribu bph .

     Kendati begitu, Nicke tak urung minta dukungan  pemerintah. Lantas dukungan seperti  apa yang diharapkan orang nomor satu di perusahaan yang berdiri 10 Desember 1957 menyusul inovasi tersebut?

      Nicke meminta  pemerintah memberi kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).

       Dia mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. "Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga," ingatnya.

       Menurut hemat penulis dukungan yang sangat realistis. Mengingat bukan rahasia umum lagi, perusahaan sawit Indonesia memang lebih memilih pasar ekspor CPO. Sebab, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal inilah yang membuat capaian produksi BBN Indonesia di 2019 hanya 75 persen dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter.

        Ironisnya, tatkala harga CPO dunia tinggi  mereka pun  beramai-ramai mengutamakan pasar ekspor, dan cenderung mengabaikan pasar domestik. Alih-alih, emak-emak pun menjerit, karena harga minyak curah di pasar tradisional yang digunakan mayoritas masyarakat menengah ke bawah melonjak naik dari harga biasa. Sebaliknya, ketika harga CPO dunia anjlok justeru pasar dalam negeri-lah yang menyelamatkan produksi mereka.

         Memang, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan  bahwa pemerintah siap memberi dukungan penuh menyusul inovasi yang dilakukan Pertamina. Diantaranya, kemudahan perizinan industri, penyusunan rancangan SNI Katalis, hingga fasilitasi insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction tax notabene regulasi terkait DMO  menjadi PR  tersendiri bagi pemerintah agar inovasi yang dilakukan Pertamina terkait Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sesuai harapan.

     Dapat disimpulkan inovasi yang dilakukan Pertamina melalui program Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan produk B-30 hingga D-100 ibarat dua  mata pisau.

Pertama, bertujuan mengurangi besarnya impor BBM yang berujung devisit  transaksi berjalan yang berimplikasi terhadap perekonomian nasional.

Kedua, inovasi melalui EBT berbasis kelapa sawit akan meningkatkan kesejahteraan petani yang bermuara kepada membaiknya kualitas hidup masyarakat.

Program itu  merupakan bukti bahwa kemampuan teknologi yang dikuasai  anak negeri tidak kalah mumpuni dengan teknologi  luar negeri. Ini menjadi catatan emas bagi perjalanan sejarah  bangsa, terlebih pemangku kepentingan di industri hulu Migas, dunia pendidikan, kalangan kampus dan anak negeri lainnya  untuk terus  terus melakukan inovasi  tiada henti demi terciptanya ketahanan  energi

Berbagai Strategi

Sementara itu, untuk menekan defisit transaksi berjalan serta  swasembada BBM, penulis mencatat  PT Pertamina (Persero) mengambil sejumlah langkah strategis. Diantaranya, melakukan inovasi terhadap Energi  Baru dan Terbarukan  (EBT). Seperti  program B-20, B-30, B-50, B-100, D-100 dan pemanfaatan sumber daya alam non energi fosil.

Tidak main-main, perusahaan yang dulu berlogo kuda laut ini memasang target tahun 2025 EBT nasional sebesar 23 persen. Artinya, mereka harus mengejar 13,85 persen dari EBT nasional tahun 2019 sebesar 9,15 persen.

Untuk merealisasikan kerja besar demi  terwujudnya kemandirian dan ketahanan energi perusahaan itu pun merogoh kocek sekitar US$ 17,6 miliar hingga tahun 2026.

Langkah strategis lainnya, melakukan akuisisi atau merger terhadap perusahaan Minyak dan Gas (Migas) mancanegara yang dinilai masih produktif dan  menguntungkan.

Langkah terakhir, Pertamina mengerjakan mega proyek Refinary Development  Master Plan (RDMP) atau pengembangan kapasitas kilang (revitalisasi) meliputi RDMP Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai.

 Disamping melakukan Grass Root Refinary  (GRR) atau pembangunan kilang baru di  Tuban, misalnya,  dengan kapasitas produksi 300 ribu barel per hari, Pertamina pun menggandeng Rosneft perusahaan asal Rusia. Mega proyek ini  diperkirakan menelan investasi US$ 13 miliar. Sementara GRR Bontang ditunda karena mitra Pertamina Overseas Oil and Gas LLC (OOG) mundur dari proyek tersebut.

Menyinggung dua langkah strategis yang diambil Pertamina dalam kerangka kemandirian dan ketahanan energi, akuisisi,  RDMP dan GRR, pemerhati Migas Kota Dumai Bambang Irawan ST mendukung sepenuhnya langkah tersebut dengan tetap memperhatikan keuangan perusahaan dan negara serta faktor eksternal. Diantaranya, tren dunia, teknologi  dan ekonomi global.

Menurut dia, label national oil company yang disandang PT Pertamina (Persero) membuat perusahaan itu harus bekerja keras bagaimana menyiasati visi dan misi Migas pemerintah sebagai pemegang saham, yakni terwujudnya kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi.

Sebagai perusahaan yang menuju  world class company, lanjut dia, notabene  akuisisi lapangan Migas luar negeri adalah keharusan. "Itu  adalah salah satu syarat jika memang Pertamina ingin melebarkan sayapnya dan menjadi perusahaan Migas dunia. Ya, harus punya ladang minyak di luar. Tidak ubahnya seperti perusahaan Migas dunia yang melakukan eksplorasi  di Indonesia," katanya.

Hanya saja hasil produksi   ladang Migas di luar negeri  yang dibawa ke tanah air ternyata tidak serta merta  berdampak pada neraca perdagangan Migas. Sebab, mekanisme pencatatan pasokan minyak mentah dari luar negeri yang merupakan jatah (entitlement) dari lapangan minyak Pertamina masih dicatat sebagai impor.

Menyoali hal itu, Bambang Irawan  berpendapat tidak ada salahnya Migas hasil akuisisi  dijual di luar negeri dan uang berupa dollar Amerika dibawa ke tanah air. "Saya rasa tidak masalah kalau hasil Migas ladang luar negeri dijual ke luar negeri juga. Kan, hasilnya menjadi devisa negara, malah bagus, karena dibayar pakai dollar. Cadangan devisa negara dalam  kurs mata uang asing meningkat. Dengan  sendirinya rupiah semakin kuat," katanya.

Setali tiga uang, sebelumnya pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai perlu dilakukan langkah akuisisi pada blok Migas di luar negeri mengingat kondisi hulu Migas tanah air saat ini.

"Dengan cadangan dan produksi menurun, mau tak mau harus go international, ekspansi ke luar negeri harus diberikan porsi lebih," terang Komaidi.

Dalam menjalankan strategi akuisisi   Pertamina terlihat mengambil sikap kehati-hatian. Paling tidak ini tercermin  dari statemen Direktur Utama (Dirut)  PT Pertamina  Nicke Widyawati menyusul akuisisi blok Migas luar negeri.

"Untuk mengurangi resiko akuisisi luar negeri kami fokus ke Wilayah Kerja (WK) yang sudah produksi," katanya.

Kata  dia lagi, sejalan dengan tren dari permintaan energi global dimana puncak konsumsi energi fosil terjadi pada 2030, lalu setelahnya kontribusi sektor EBT akan meningkat pesat.

Ternyata program akuisi  ini membuahkan hasil. Dikabarkan Pertamina telah memiliki beberapa lapangan produksi di luar negeri yang dikelola anak usahanya, PT Pertamina Internasional EP. Proyeksi rata-rata produksi mencapai 112 ribu barel per hari (bph).

Tidak Ada Pilihan

            Pekerjaan besar lainnya juga menghadang Pertamina menyusul  cadangan Migas  eksisting hanya bisa bertahan 7 tahun jika cadangan minyak dan gas bumi  tidak ditemukan.

            Disisi lain, konsumsi BBM ditanah air terbilang besar? Yakni mencapai 1,6 juta bph. Sementara kapasitas lifting  (produksi) sekitar 850.000 barel per hari. Artinya ada jurang  yang teramat besar antara konsumsi BBM nasional dengan produksi.

Memang,  Pertamina saat ini memiliki sebanyak tujuh kilang pengelolahan atau Refinery Unit (RU) meliputi, RU I Pangkalan Brandan (dengan kapasitas 5.000 barel per hari).

Berikutnya RU II Dumai (127.000 barel), RU Plaju III, Sumatra Selatan (133.000), RU IV Cilacap (348.000), RU  V Balikpapan (260.000), RU  Kasim VI, Sorong (10.000), dan RU VII Balongan (125.000).

Dengan kapasitas kilang sekitar  1,046  juta bph dan konsumsi BBM sekitar 1,6 juta barel bph maka untuk menambah kekurangan langkah impor pun tidak bisa dielakan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor hasil minyak periode Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 11,2 miliar.  Sementara hasil ekspor hasil minyak hanya US$ 1,6 miliar. Artinya negara tekor US$ 9,6 miliar.

 Angka itulah yang menyebabkan neraca dagang RI periode 10 bulan 2019 membukukan defisit sebesar US$ 1,7 miliar karena neraca dagang Migas menyumbang defisit sebesar US$ 7,3 miliar disaat neraca dagang non-migas surplus US$ 5,5 miliar.

Ini pula yang mendorong mengapa Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesempatan  meminta Pertamina untuk membangun kilang baru, melakukan revitalisasi kilang yang ada serta sejumlah inovasi berbasis Cruide Palm Oil (CPO).

Menyusul masalah ini, pemerhati Migas Kota Dumai, Bambang Irawan ST, menilai Pertamina tidak punya pilihan.

"Persoalan utamanya bukan masalah 30 tahun  ada atau tidak  pembangunan kilang baru. Tapi, Pertamina tidak punya pilihan untuk memenuhi sejumlah tuntutan dan tantangan ke depan selain melakukan pengembangan dan pembangunan kilang plus inovasi, " kata Bambang Irawan.

Ada beberapa  alasan mengapa Pertamina harus melakukan program Refinary Development  Master Plan (RDMP) atau pengembangan kapasitas kilang (revitalisasi) meliputi RDMP Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Disamping melakukan Grass Root Refinary  (GRR) atau pembangunan kilang  Tuban. Kendati ekonomi dalam negeri dan dunia tidak menguntungkan menyusul pandemik Covid-19.

 Pertama, banyaknya kilang-kilang tua dan teknologi lama yang  masih digunakan menjadi faktor pendorong utama revitalisasi dan pembangunan kilang  baru.

            Kedua, kondisi ini membuat kualitas kilang milik Pertamina  masih mengacu kepada  Euro II dengan tingkat sulfur terbilang tinggi. Disisi lain,  sejumlah  negara tetangga sudah melakukan peralihan kualitas BBM. Ambil contoh, Brunei Darussalam dan Malaysia yang telah menggunakan BBM standar Euro 4 sejak tahun 2016 dan 2018. Bahkan Singapura sudah mencoba  BBM standar Euro 4 sejak 2010 lalu.

"Kilang-kilang eksisting di Indonesia rata-rata sudah beroperasi puluhan tahun  memasuki usia tua notabene  memakai teknologi lama. Ambil contoh Kilang RU Pertamina RU II Dumai dibangun dekade 70-an,  mau tidak mau langkah up grade atau revitalisasi kilang dan pembangunan kilang baru  tidak bisa dihindarkan. Bahkan hukumnya wajib, " kata Bambang Irawan.

Keempat, pembangunan kilang minyak dengan teknologi mengacu standar Euro IV dan V  notabene   meningkatkan daya saing Indonesia dalam mengelola hasil produksi minyak. Dengan kata lain, pengembangan kilang  kilang lama Pertamina merupakan langkah yang tepat.

Tak hanya itu, langkah revitalisasi dan pembangunan kilang baru yang menggunakan teknologi baru  akan menguntungkan bagi Pertamina karena dapat mengekspor  BBM yang  telah memenuhi standar dunia.

            Kelima, kilang minyak Pertamina yang sudah di up grade  nantinya akan saling terintegrasi dengan industri pengolahan petrokimia notabene akan memberi nilai tambah bagi perusahaan.

Keenam, yang tak kalah pentingnya, pembangunan kilang minyak dapat membuat negara kepulauan ini lepas dari ketergantungan impor BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang dituding menjadi biang kerok devisit transaksi berjalan.

Ketujuh,  proyek revitalisasi kilang dan pembangunan kilang yang dilakukan Pertamina akan menyerap tenaga kerja besar-besaran notabene menciptakan  amultiplier effect atau efek berganda cukup besar. Ambil contoh, untuk proyek GRR Tuban, Pertamina memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 20 ribu orang begitu pula revitalisasi kilang di Balikpapan notabene menciptakan multiplier effect atau efek berganda .

Dengan sendirinya revitalisasi dan pembangunan kilang  menciptakan lapangan kerja dan ekonomi daerah kembali bergairah di tengah lesunya perekonomian imbas  pandemik Covid-19.

    Untuk yang satu ini, Pertamina terbilang agresif melakukan  penjajakan dan pendekatan terhadap sejumlah investor mancanegara agar menanamkan investasi terhadap mega proyek revitalisasi dan pembangunan kilang  baru.

Mega proyek ini tidak hanya sekedar mengurangi impor  BBM dari kapasitas 1 juta barel per hari (bph) saat ini menjadi 2 juta bph plus menekan devisit transaksi berjalan, namun juga memenuhi tuntutan dunia terkait kualitas BBM.

Oleh karena itu, adalah wajar jika perusahaan plat merah ini melakukan hal tersebut mengingat proyek RDMP dan GRR hingga 2026  yang  bertujuan agar Indonesia swasembada BBM pada tahun 2027. Untuk mewaujudkan hal itu  dibutuhkan dana tidak sedikit yakni sekitar Rp800 triliun.

 Bak kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitupula dengan mega proyek revitalisasi dan pembangunan   kilang baru . Dana sebesar itu  tidak hanya mewujudkan mimpi besar negeri yang dihuni lebih dari 250 juta jiwa ini  terbebas dari impor BBM ketika mega proyek itu  rampung dibangun .

Tak hanya  itu, mega proyek itu  membuka peluang besar  bagi industri nasional untuk berpartisipasi dan  menumbuh kembangkan kemandirian manufaktur dalam negeri. Disamping membuka lapangan pekerjaan.

"Kesempatan ini harus ditangkap karena proyek sebesar ini tidak akan pernah terjadi lagi kapan pun dan di belahan dunia mana pun," ingat  Dirut Pertamina Nicke Widyawati.

 Ya, pembangunan kilang akan memberi dampak positif bagi ketahanan energi nasional. Selain itu, pengembangan kilang juga  membuka lapangan kerja dan dapat meningkatkan perekonomian bagi wilayah di sekitar lokasi pembangunan kilang.

Lantas pertanyaan besar pun mengemuka, darimana dana sebesar itu diperoleh Pertamina untuk mewujudkan visi pemerintah  menuju stop impor BBM?

            Dalam sebuah kesempatan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati menjelaskan bahwa opsi pendanaan  sebesar US$ 49 miliar hingga tahun 2026 untuk proyek RDMP dan GRR bisa  dari eksternal dengan menjual saham (partnership dan  saham subholding) dan surat utang kepada investor, serta pinjaman bank.

            Menurut perempuan berhijab ini, hal itu   merupakan salah satu bentuk metode pendanaan yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional.

Alih Kelola

Seperti diuraikan diatas bahwa konsumsi BBM di Indonesia terbilang tinggi. Oleh karena itu, pemangku kebijakan harus memutar otak bagaimana bisa memenuhi BBM sendiri. Selain melakukan sejumlah program melalui EBT, gheotermal, energi surya dan lain-lainnya maka alih kelola terhadap Wilayah Kerja (WK) juga dilakukan pemerintah dalam kerangka menciptakan ketahanan energi.

    Bahkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir perusahaan BUMN melalui Pertamina melakukan alih kelola terhadap dua WK di tanah air dengan tetap mengkedepankan aspek bisnis atau keuntungan. Diantara dua WK itu, yakni Blok Mahakam dan Blok Rokan dari perusahaan multi asing .

Untuk nama terakhir menjadi buah bibir, karena sarat dengan sejarah perkembangan Migas di tanah air. Dan yang perlu diingat WK itu berada di Provinsi Riau.

 Lantas pertanyaan menggelitik datang dari sebagian publik  seberapa jauh subangsih atau peran Blok Rokan dala mencapai target 1 juta barel per hari (BPH)?

  Sejumlah kalangan menilai Blok Rokan masih menjadi andalan kejar produksi 1 juta barel dan gas 12 BSCFD (miliar kaki kubik per hari) di tahun 2030. di 2030.

Adapun alasannya, dikemukakan Penasihat Ahli Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Satya Widya Yudha mengatakan, potensi cadangan minyak dari WK Rokan diperkitakan masih 2 miliar barel.

     "Memperhatikan potensi yang ada, maka WK Rokan akan tetap menjadi tulang punggung produksi migas nasional dalam kurun waktu yang lama, melalui lapangan existing, optimalisasi lapangan, optimalisasi metode waterflood, steamflood, serta chemical EOR. Jadi wilayah kerja ini juga akan menjadi andalan untuk mendukung target produksi 1 juta barel di tahun 2030," ungkap Satya dalam Focus Group Discussion berjudul "Mengawal Transisi Rokan, Menjaga Produksi Nasional", Senin.

            Jawaban tegas datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, terkait potensi Blok Rokan.

            Saat mengunjungi Duri, Kamis (14/10), pejabat Negara itu menuturkan bahwa wilayah Duri memiliki sumber energi yang potensial. Ia berharap PHR bisa melakukan eksplorasi yang masif untuk meningkatkan produksi.

" Sekarang pada posisi 56 ribu barel per hari, khusus Duri. Tentu saja daerah ini masih memiliki sumber (minyak) yang potensial untuk ke depannya," kata Arifin .

Untuk itu, imbuh Arifin, manajemen Pertamina akan melaksanakan pekerjaan ekplorasi drilling yang masif. Untuk bisa meningkatkan produksi lagi.

Arifin menyebutkan, upaya Pertamina Hulu Rokan dalam menjaga tingkatan produksi di Blok Rokan dinilai harus dilakukan lewat implementasi Chemical Enchanced Oil Recovery (EOR).

" Kalau upaya dulu dengan cara steem flood. Mungkin kedepannya ada upaya Chemical Enchanced Oil Recovery," katanya seperti dikutip mediacenter.

Dibagian lain Arifin Tasrif meminta PT Pertamina Hulu Rokan melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan produksinya.

"Setelah 97 tahun dikelola perusahaan multinasional, Blok Rokan diyakini masih memiliki sumber migas yang potensial untuk ke depannya. Jadi memang manajemen Pertamina harus melakukan pekerjaan eksplorasi drilling yang masif untuk bisa meningkatkan produksi lagi. kalau dulu ada program steam flood mungkin kedepannya ada CEOR," katanya menambahkan.

Dikutip dari media nasional, PT Pertamina Hulu Rokan, unit usaha PT Pertamina (Persero), telah resmi mengelola Wilayah Kerja (WK/Blok) Rokan, Riau, mulai Senin, 9 Agustus 2021. Sebelum-nya dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Seperti diketahui PHR mengelola wilayah kerja seluas 6.264 kilometer persegi dengan 10 lapangan utama yang terdiri dari, Minas, Duri, Bangko, Bekasap, Balam South, Kotabatak, Petani, Pematang, Petapahan, dan Pager.

Lewat aksi ini, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan perusahaan akan mendukung target pemerintah untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang, dengan menggenjot produksi minyak di Blok Rokan.

Sementara itu dari catatan SKK Migas, rata-rata produksi minyak di Blok Rokan sekitar 160,5 ribu barel per hari pada Juli 2021. Angka itu setara dengan 24 persen dari produksi nasional dan 41 juta kaki kubik per hari untuk gas bumi.

       Secara keseluruhan  Blok Rokan telah menghasilkan lebih dari 11 miliar barel minyak. Jumlah tersebut terhitung dari periode 1951 hingga 2021.

         Lantas, seberapa besar potensi produksi minyak di Blok Rokan dan kontribusinya terhadap target pemerintah pada 2030 mendatang?

          Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memprediksi produksi minyak di Blok Rokan naik menjadi lebih dari 200 ribu-300 ribu barel per hari dalam beberapa tahun ke depan.  Secara bertahap, naik menjadi 400 ribu barel per hari pada 2030-2035 mendatang sesuai target SKK Migas.

Artinya, kontribusi Blok Rokan terhadap produksi minyak nasional berpotensi semakin tinggi. Jika saat ini kontribusinya baru 24 persen, maka beberapa tahun ke depan bisa mencapai 25 persen-30 persen.

" Kalau Blok Rokan bisa memproduksi 300 ribu barel per hari pada 2030, artinya ada kenaikan hampir dua kali lipat dari sekarang. Itu bisa berkontribusi 25 persen-30 persen kalau target 1 juta barel tercapai pada 2030," ujar Fabby, Kamis.

         Masih kata dia, Sejumlah teknik EOR yang dikenal sejauh ini adalah injeksi uap panas (steam flooding), injeksi kimia (chemical flooding), dan injeksi gas (gas flooding).

Ia mengatakan teknologi EOR umumnya diterapkan di sumur tua. EOR dapat menahan potensi penurunan produksi minyak secara alamiah . " Tapi harus ingat, tidak semua sumur ekonomis pakai EOR," kata Fabby.

Di sisi lain, ia berpendapat Pertamina harus cepat-cepat melakukan eksplorasi atau menggali sumur baru di Blok Rokan untuk menambah produksi minyak ke depannya. Menurut Fabby, masih ada cadangan minyak di Blok Rokan sebanyak 1 miliar barel sampai 1,5 miliar barel.

       " Untuk menemukan potensi cadangan minyak 1 miliar barel itu harus menggali sumur, jadi pertahankan sumur sekarang dan tambah sumur baru," terang Fabby.

Sementara, Fabby memproyeksi Blok Rokan akan membalap jumlah produksi minyak di Blok Cepu. Saat ini, posisi Blok Rokan masih menjadi ladang minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu.

Jumlah produksi minyak Blok Rokan baru 160 ribu barel per hari pada Juli 2021. Jumlahnya di bawah Blok Cepu yang sudah mencapai 220 ribu barel per hari pada awal Juni 2021.

           "Jumlah produksi di Blok Rokan bisa naik lebih dari Blok Cepu karena Blok Cepu saat ini sudah mencapai titik puncak," ujar Fabby.

        Sebelumnya disitus yang sama Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai dana yang digelontorkan PT Pertamina (Persero) dalam mengambil alih ladang minyak Blok Rokan setimpal dengan potensi minyak bumi yang terkandung.

Ia menyebut Blok Rokan diperkirakan memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar-2 miliar barel.

Cadangan itu setimpal dengan harga US$70 miliar atau sekitar Rp1.008 triliun yang dikeluarkan Pertamina untuk mengelola wilayah kerja minyak dan gas Rokan selama 20 tahun ke depan.

  " Saya melihatnya masih cukup worth it karena informasi potensi di sana masih 1,5 miliar-2 miliar barel dan potensi masih cukup besar, tinggal bagaimana dioptimalisasi sama PHR (Pertamina Hulu Rokan)," katanya.

Mamit mengatakan posisi Blok Rokan yang menjadi ladang minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu, akan membantu memenuhi target lifting minyak mentah Kementerian ESDM yang mencapai 1 juta barel per hari (BOPD) pada 2030.

Ini bisa dimaksimalkan mengingat Pertamina menargetkan akan menambah titik sumur pengeboran di Blok Rokan. Sedangkan pengelola sebelumnya, Chevron, hanya mengandalkan lapangan Minas dan lapangan Duri.

Saat ini, rata-rata produksi wilayah kerja tersebut sekitar 160,5 ribu barel per hari atau sekitar 24 persen dari produksi nasional dan 41 juta kaki kubik per hari untuk gas bumi. Angka tersebut, menurut Mamit, masih bisa dinaikkan.

             Sementara Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan PHR harus bekerja keras untuk mengembalikan produksi Rokan pada puncaknya yang sempat menyentuh 300 ribu-400 ribu barel per hari.

              Setelah dieksploitasi selama 97 tahun oleh Chevron, ia menyebut Pertamina perlu memaksimalkan berbagai reservoir berkualitas rendah yang selama ini tak disentuh Chevron karena masalah kualitas dan risiko.

             Berdasarkan data SKK Migas, ia menyebut target lifting 400 ribu baru dapat tercapai dalam 2035 mendatang. Bila terpenuhi, ia menyebut 25 persen-35 persen dari konsumsi minyak nasional bisa dipenuhi dari Blok Rokan.

            Kendati belum dalam waktu dekat, namun ia menilai potensi yang ada di Blok Rokan cukup besar. Kalau berjalan sesuai rencana Pertamina, ia memprediksikan nilai investasi yang digelontorkan bakal dapat diraup kembali oleh BUMN.

              Permintaan agar pasca alih kelola Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina produksi wilayah kerja terbesar kedua itu tidak turun tapi sebaliknya meningkat tidak hanya disuarakan oleh publik di tanah air terlebih masyarakat lancang kuning. Tapi asa itu juga dikemukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

            Sebaliknya mantan Gubernur DKI itu berharap alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia  (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dapat meningkatkan produksi minyak Indonesia.

"Dalam pertemuan tadi kami mendapat arahan dan harapan dari Pak Presiden bahwa kami semuanya menjaga dan memastikan produksi bisa ditingkatkan untuk ke depannya untuk Blok Rokan," kata Principal Expert Upstream PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Budianto Renyut di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Kamis (12/8).

Sebelumnya SKK Migas mencatat produksi terangkut (lifting) minyak Blok Rokan pada semester I 2021 ini rata-rata mencapai 160.646 barel per hari (bph) atau 97,4% dari target di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar 165.000 bph

Dibagian lain, dari data olahan menyebutkan bahwa  Blok Rokan merupakan salah satu WK Migas terbesar di Indonesia. Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 1923 K/10/MEM/2018, sejak tanggal 9 Agustus 2021 pukul 00.01 WIB, pengelolaan WK Rokan di Provinsi Riau beralih ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) setelah 80 tahun atau sejak tahun 1951 dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Alih kelola itu menjadi tonggak sejarah pengelolaan hulu migas di Indonesia, karena saat ini Blok Rokan menyumbang 24 persen dari total produksi minyak Indonesia.

Blok Rokan sendiri penyumbang produksi minyak terbesar nomor 2 secara nasional itu memiliki luas wilayah 6.220,29 kilometer persegi, dengan 10 lapangan utama, yaitu Minas, Duri, Bangko, Bekasap, Balam south, Kota Batak, Petani, Lematang, Petapahan, dan Pager.

Sementara Cadangan status 1 Januari 2020, minyak 350,73 juta stock tank barrel (MMSTB), dan gas bumi 9.071 BSCF.

      Sedangkan data SKK Migas Wilayah Sumbagut, cekungan Sumatera Tengah mencakup Provinsi Riau, Sumatera Utara bagian selatan, dan sebagian Provinsi Jambi. Cekungan ini dikenal sebagai salah satu penghasil sumber daya minyak dan gas bumi yang terbesar di Indonesia karena terdapat beberapa blok migas.

Empat bentukan khas dari cekungan Sumatera Tengah yaitu Tinggian Kubu (Kubu High), Bukit Barisan (Mountain Front) dan Tinggian Rokan (Rokan Uplift) serta Dataran Pantai (Coastal Plain). Upaya lainnya dalam meningkatkan produksi minyak adalah dengan transformasi R to P atau reserve to production (cadangan untuk produksi), mempercepat Chemical Enhanced Oil Recovery (EOR), dan melakukan eksplorasi agar ditemukan cadangan yang besar.

Sedangkan potensi energi fosil Riau terhitung tahun 2018, dari sektor minyak bumi punya cadangan sebanyak 2,156 juta barel. Potensi ini diperkirakan akan cukup hingga 27 tahun mendatang, jika setiap tahun produksinya hanya sekitar 80 juta barel.

           Terkait alih kelola itu Bupati Bengkalis, Provinsi Riau, Kasmarni berharap kepada pihak PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) selaku pengelola baru Blok Rokan untuk memberikan kesempatan kepada putra daerah untuk bekerja di perusahaan itu jelang alih kelola dari PT Chevon ke Pertamina.

            " Kami berharap pihak PT PHR dapat melibatkan anak daerah untuk bekerja di perusahaan minyak itu," katanya di Bengkalis, Kamis.

        Ia juga meminta kepada pihak PHR untuk transparan terkait tentang penerimaan ketenagakerjaan maupun administrasi lainnya.

          Orang nomor satu di Bengkalis itu berharap dengan peralihan pengelolaan Blok Rokan tersebut dapat  meningkatkan bagi hasil untuk Pemerintah Kabupaten Bengkalis, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kehadiran PT PHR mulai 9 Agustus 2021.

         "Yang paling penting adalah pembukaan lapangan kerja untuk masyarakat, sehingga ada umpan balik dengan keberadaan perusahaan tersebut terhadap masyarakat," pintanya.

Buka Lapangan  Pekerjaan

        Salah satu berkah dari keberadaan industri hulu Migas yakni mendongkrak lapangan kerja disekitar daerah operasional dan kawasan regional. Ini diisebabkan  sektor itu termasuk padat karya, yakni membutuhkan banyak pekerja dalam menjalakan kegiatannya.

 Afrizal, misalnya, salah seorang pekerja di perusahan mitra Chevron (sebelum alih kelola PT PHR), mengaku bahwa keberadaan industri hulu Migas di Kota Duri, ibukota Kecamatan Mandau menjadi berkah tersendiri bagi dia dan keluarganya.

Sembelumnya warga Duri ini  pernah menjalankan usaha percetakan. Selanjutnya dengan mobil milik pribadi, dia pun banting stir melakoni usaha travel Dumai-Bengkalis.

Entah peruntungan atau memang garis tangan, akhirnya ayah tiga anak ini berlabuh menjadi pekerja disalah satu perusahaan rekanan Chevron hingga sekarang.

Afrizal tidak menampik keberadaan industri hulu Migas menjadi sandaran hidup. Hal itu tidak hanya berlaku bagi dia sendiri. Tapi, hal yang sama juga dirasakan ribuan pekerja di wilayah yang masuk teritorial Kabupaten Bengkalis.

"Ya, saya bersyukur dengan pekerjaan ini," ungkapnya.

  Ya, Afrizal patut bersyukur, sebab sejumlah karyawan dibeberapa perusahaan di Kota Duri harus menelan pil pahit, yakni mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan tempat mereka bekerja.

       Sejumlah kalangan menilai bahwa industri hulu sebagai salah satu lokomotif penggerak perekonomian Indonesia, selain menyumbang pendapatan negara, sektor hulu migas turut memberikan kontribusi dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di daerah penghasilnya.

         Secara langsung maupun tidak langsung, kehadiran industri hulu migas memberikan efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian nasional dan regional, namun khususnya memberikan dampak di sekitar wilayah operasi hulu migas.

        Tak berlebihan jika sektor hulu migas merupakan satu satu sektor usaha nasional yang telah memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, industri hulu migas di Indonesia masih memiliki peranan penting sebagai penggerak roda perekonomian baik lokal maupun nasional. Saat ini SKK Migas terus berupaya menggandeng minat investor untuk meningkatkan aktivitas hulu migas melalui kegiatan eksplorasi demi menemukan cadangan migas baru.

Sebelumnya, pemerhati ekonomi Kota Dumai Arif Azmi SE, menilai apa yang terjadi di Duri menjadi salah satu bukti bahwa sektor industri hulu Migas menjadi peranan penting di wilayah itu termasuk nasional (Salah satu variabel dalam penyusunan RAPBN adalah harga minyak mentah dipasar dunia, karena ini menyangkut subsidi BBM, pen) dan manca negara.

 "Dalam kondisi biasa atau normal  industri ini mendongkrak lapangan pekerjaan di daerah penghasil berikut ekses turunannya, begitupula sebaliknya. Oleh karena itu, kita berharap  kondisi  seperti semula. Tidak ada lagi PHK,  lowongan pekerjaan kembali dibuka. Sehingga ekonomi kembali menggeliat,  " katanya.

Ekonomi Daerah

      Efek berganda atau multiplier effect industri hulu Minyak dan Gas (Migas) memang luar biasa. Selain sebagai salah satu penggerak perekonomian Indonesia juga  menyumbang pendapatan negara, sektor hulu Migas turut memberikan kontribusi dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil.

            Dengan kata lain,  keberadaan PT Chevron Pacific Indonesia, PT Energi Mega Persada (EMP) Bentu Ltd, EMP Malacca Strait SA, PT SPR Langgak, BOB PT BSP-Pertamina Hulu, PHE Siak, PHE Kampar dan Pertamina HE Lirik sebagai representasi  indutri hulu Migas di Riau   efeknya akan langsung terasa bagi wilayah di sekitar operasi mereka.

                        Hal ini dikemukan pemerhati ekonomi Kota Dumai, Arif Azmi SE, saat berbincang-bincang dengan penulis seputar efek ganda industri hulu Migas terhadap daerah penghasil dan sekitarnya.

            "Industri  hulu Migas termasuk padat karya. Artinya, memerlukan banyak pekerja, disatu sisi. Disisi lain juga padat modal dan  teknologi," katanya.

 Dengan banyaknya orang dipekerjakan, lanjut cendikiawan muda ini, notabene mereka memperoleh pendapatan (baca: gaji) yang pada gilirannya dibelanjakan untuk memenuhi  kebutuhan primer, sekunder mau pun tersier. "Otomatis peredaran uang di tengah masyarakat banyak," katanya.

Arif pun mengutip teori konsumsi James Dusenberry yang mengemukakan bahwa jumlah konsumsi seseorang dan masyarakat tergantung dari besarnya pendapatan.

"Ini salah satu efek bahwa  sektor tersebut  memberikan kontribusi dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, khususnya di daerah penghasil," katanya

Masih kata dia, akibat adanya pendapatan dan pola konsumtif alih-alih sektor riil pun bergerak yang muara akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi.

"Karena itu semua sektor menjadi hidup, mulai dari pasar tradisional, modern, jasa angkutan, pemondokan termasuk hotel, kuliner dan sebagainya," terangnya.

Arif berpendapat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi disebuah daerah maka diperlukan tiga komponen. Pertama,  peningkatan usaha-usaha mikro kecil dan menengah yang berpotensial. Kedua, membuka industri padat karya untuk mengurangi pengangguran dan terakhir meningkatkan investasi daerah.  "Dan semuanya ada pada industri hulu Migas," katanya.

Urat Nadi

            Bagi orang yang kali pertama datang ke Duri tidak pernah menyangka bahwa status wilayah itu kecamatan tepatnya ibukota Kecamatan Mandau.

            Sebab, semua fasilitas yang dimiliki kota besar nyaris ada di wilayah itu. Catatan penulis, mulai dari kantor cabang bank BUMN atau swasta nasional, swalayan besar -kategori hyper market, fasilitas penjualan, perbaikan (bengkel) dan servis milik pabrikan mobil terkemuka (disatu lokasi) terbilang besar juga ada. Untuk yang satu ini, wilayah itu meninggalkan jiran mereka, Dumai yang berstatus kota.

            Bisa jadi karena  di kecamatan ini terletak salah satu ladang minyak utama Blok Rokan, ladang minyak Duri yang  merupakan area produksi terbesar kedua di Indonesia setelah Exxon Mobil dengan Blok Cepu. Keberadaan ladang minyak juga memicu pemukiman padat penduduk.

            Menyoali majunya Duri berstatus ibu kecamatan dengan cita rasa kota besar ini, pemerhati ekonomi Riau bagian pesisir Iwan Iswandi SE -Iwan pernah menetap di Kota Duri sebelum pindah tugas ke Dumai-   di wilayah yang terdapat industri hulu Migas termasuk bahan tambang lainnya lebih maju ketimbang wilayah yang tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) Migas dan bahan galian tambang?

            Dia pun mengilustrasikan film western (baca: koboi) yang dipastikan settingnya disekitar kawasan pertambangan, dengan kota-kota kecilnya, jalan untuk kereta kuda, rel kereta api untuk mengangkut hasil pertambangan.

Dengan kata lain, salah satu ekses dari eksplorasi dan produksi bahan tambang termasuk Migas menjadi denyut nadi pertumbuhan ekonomi. Karena  melibatkan banyak manusia  berinteraksi dengan beragam  motivasi.

Menurut dia kehadiran Chevron sebagai representasi industri hulu Miigas menjadi pemantik bagi pertumbuhan ekonomi daerah  serta membawa berkah bagi kawasan regional.

 "Imbasnya secara tidak langsung  dirasakan provinsi jiran Riau. Diantaranya, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar). Jika pertumbuhan ekonomi Duri tinggi maka  daya beli masyarakat meningkat otomatis  produk pertanian dan sebagainya yang dihasilkan  provinsi tetangga akan mudah diserap pasar. Disisi lain memudahkan warga mereka untuk mencari peruntungan, apakah itu disektor formal mau pun informal" jelas Iwan panjang lebar.

Namun yang takkalah pentingnya, sambung Iwan, Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Implementasi dari UU tersebut, sambung dia,  apa yang dikenal dengan istilah Dana Bagi Hasil (DBH). Dengan pembagian  84,5 persen untuk pemerintah pusat. Sementara daerah sebesar 15,5 persen. Dengan rincian, 3 persen untuk provinsi yang bersangkutan, 6 persen  kabupaten/kota penghasil, 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Sisanya sebesar 0,5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.

Iwan pun mengambil contoh betapa luar biasanya multiplier effect atau efek berganda industri hulu Migas dengan DBH-nya di  Kabupaten Bojonegoro, Provins Jawa Timur.

Pada tahun 2006, terang dia, kabupaten itu masih berada diperingkat 3 kabupaten termiskin di provinsi itu. Namun semuanya berubah karena keberadaan satu lapangan miinyak aktif, Banyu  Urip Blok Cepu, yang dioperasikan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) ExxonMobil Cepu Limited.

    Ia pun mengilustrasikan seandainya daerah penghasil memperoleh DBH sekitar Rp3 triliun. Selanjutnya dibelanjakan melalui sejumlah kegiatan dan pembangunan  fisik notabene akan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

 "Rekanan atau pemenang tender mempekerjakan orang untuk menyelesaikan proyek, dan orang tersebut mendapat upah. Selanjutnya membelanjakan untuk memenuhi kebutuhan  hidup seperti sembako, lauk pauk, jasa dan lainnya tentu sektor riil bergerak. Bisa dibayangkan bagaimana efek ganda  dari peredaran uang DBH itu di tengah masyarakat," paparnya.

Selain menjadi lokomotif penggerak ekonomi daerah maupun nasional. Industri Migas nasional memainkan peranan sentral, yakni menyangkut aspek geo politik dan pertahanan. Bahkan sejumlah analis menilai bahwa salah satu pemicu konflik regional maupun internasional adalah energi, disamping air dan pangan. Konflik laut China Selatan , misalnya, salah satu bukti betapa pentingnya wilayah yang kaya dengan cadangan energi.

 Ini tak  berlebihan mengingat ke depan bangsa atau Negara yang mampu bertahan dari gerusan jaman salah satunya mampu mengelola energi terlebih baru dan terbarukan melalui penguasaan teknologi.    

 Ya, ketika pompa angguk  memompa "emas hitam" dari perut bumi, bersamaan itupula berkah menghampiri penduduk  bumi. Bersamaan itupula jutaan warga di negeri zamrut khatulistiwa itu menjadikan industri Migas dan turunannya sebagai pembungkus asa  memetik rezeki untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerus bangsa.  (muhammad nizar)

Sumber Tulisan: Disarikan dari Berbagai Sumber dan Wawancara

Share
Komentar
Copyright © 2012 - 2025 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified