Jumat, 20 Maret 2015 19:34:00

Kasus Yusman Telaumbanua, Bukti Buruknya Peradilan Pidana

ilustrasi
RIAUONE.COM, JAKARTA, ROC, - Kasus Yusman Telaumbanua, anak dibawah umur yang divonis hukuman mati, adalah bukti nyata Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) tak dijalankan dengan baik. Hak Anak pun tidak dilindungi. Lebih buruk lagi ini menunjukan buruknya standar proses peradilan bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati
 
" Vonis pidana mati terhadap anak berusia 16 tahun, Yusman Telaumbanua oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Pulau Nias merupakan bentuk nyata dari buruknya peradilan pidana di Indonesia," kata Anggara, Peneliti Senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Jakarta, Jumat 20 Maret 2015.
 
 
Kasus Yusman, lanjut Anggara,  selain menunjukkan betapa lemahnya perlindungan bagi hak anak, putusan pidana mati yang diterimanya  juga memperlihatkan  buruknya standar proses peradilan bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati.  Menurut dia, ada beberapa catatan penting yang bisa dilihat dari proses peradilan Yusman Telaumbanua. Pertama, untuk alasan apapun, Yusman yang masih masuk usia anak, tak dapat dihukum mati.
 
" Berdasarkan hukum Internasional, merujuk pada Pasal 37 (a) Konvensi Hak Anak dan Pasal 6 ayat (5) Konvenan Hak Sipil dan Politik, hukuman mati dan hukuman seumur hidup tak dapat dijatuhkan pada anak," katanya.
 
Dari pijakan hukum nasional juga begitu. Karena berdasarkan  Pasal 26 ayat (2) UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal  66 ayat (2) UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 3 huruf (f) UU No 11/2012 tentang SPPA, dan Pasal  64 huruf (f) UU No 35/2014 tentang  Perubahan atas  UU  No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, seluruhnya menyatakan hal yang sama yaitu hukuman mati dan hukuman seumur hidup tak dapat dijatuhkan pada anak.
 
" Catatan kedua, terjadi pelanggaran hak anak dalam proses pemeriksaan kasus Yusman. Berdasarkan UU SPPA ataupun karena pada saat terjadi tindak pidana masih dalam yurisdiksi UU Pengadilan Anak, Yusman harusnya diperiksa dalam sidang tertutup dan khusus anak," kata Anggaran.
 
Namun faktanya kata dia, semua proses yang dihadapi Yusman disamakan dengan peradilan terdakwa usia dewasa. Catatan ketiga, berdasarkan Pasal 3 huruf c UU SPPA diatur ketentuan bahwa anak berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Apa yang dimaksud secara efektif dalam pasal ini tentu saja berkaitan dengan kualitas dari pembelaan advokat atau penasehat hukum itu sendiri. Tapi sikap advokat yang membela Yusman justru  meminta kliennya dihukum mati. 
 
" Ini jelas melanggar aturan dari UU SPPA tersebut," katanya.
 
Parahnya lagi kata Anggara, hakim tidak merespon persoalan ini. Bahkan Jaksa Agung HM Prasetyo mendasarkan alasan pernyataan advokat Yusman  sebagai dasar tak adanya rekayasa kasus dalam kasus tersebut. Catatan keempat, kasus Yusman menunjukkan Indonesia telah gagal meyakinkan publik terkait prinsip fair trial dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terdakwa. 
 
"Pada acara  “High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard” di Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28,  4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, PTRI di Jenewa dinyatakan. bahwa seluruh putusan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan prinsip fair trial," tuturnya.
 
Tapi putusan terhadap Yusman kata Anggara, secara total telah menghapus anggapan itu. Jadi harus disadari dan diakui, peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi prinsip fair trial. Anggara pun meminta pemerintah segera merespon kasus Yusman. Lebih jauh pemerintah harus pasang badan menjawab seluruh keraguan terkait fair trial di Indonesia. Tentu saja jawaban tersebut tak hanya dalam pesan-pesan kosong seperti selama ini. Untuk kasus Yusman. pemerintah harus segera merespon seluruh upaya hukum, terutama upaya hukum luar biasa seperti PK dan Kasasi demi kepentingan hukum. 
 
" Dan untuk seluruh kasus pidana mati, pemerintah harus segera memastikan tidak ada keraguan terkait isu fair trial dalam kasus-kasus yang selama ini ada,"kata  Anggara. (gus).
Share
Berita Terkait
  • tahun lalu

    Banyak Kasus PPDB Zonasi Muncul, Kenapa Mendikbudristek Nadiem Tetap Beratah, Komisi X: Nadiem Jangan Banyak Ngeluh

    NASIONAL, PENDIDIKAN, - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi selalu menjadi polemik tahunan. Beragam kasus terus muncul menghiasi pelaksanaannya dari tahun

  • 2 tahun lalu

    Kasus Pemerkosaan Belasan Santriwati, Pelaku Pemerkosa Santriwati tetap Divonis Mati, Waryono Berkata Begini

    NASIONAL, HUKRIM, -  Kementerian Agama (Kemenag) merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi terdakwa kasus pemerkosaan belasan santriwati, Herry W

  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified