Jumat, 27 Maret 2015 18:59:00

Melanggar Kedaulatan, Kapal MV Hai Fa Kok Dituntut Ringan

kapal ilustrasi
RIAUONE.COM, JAKARTA, ROC, - Koalisi Rakyat Untuk Keadilan, Perikanan (KIARA) mengkritik tuntutan ringan yang diajukan jaksa terhada kapal MV Hai Fa. Padahal jelas-jelas kapal itu telah melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia. Bahkan telah melanggar kedaulatan Indonesia, karena masuk perairan Indonesia tanpa ijin.
 
"Tuntutan ringan yang diajukan jaksa kepada kapal MV Hai Fa berbendera Panama terduga pencuri ikan merupakan gambaran lemahnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana pencurian ikan," kata Marthin Hadiwinata, Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA, di Jakarta, Jumat 27 Maret 2015.
 
Menurut Marthin, tuntutan tersebut hanya didasarkan pada Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang menyatakan kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia. Sebab lainnya,  ini dikarenakan ego sektoral antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kejaksaan.
 
" Ego sektoral itu yang mengakibatkan substansi tuntutan tergolong ringan dan mengenyampingkan ketentuan UU Perikanan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Humas Kejaksaan Tinggi Maluku pada 25 Maret 2015 di beberapa media cetak nasional," kata Marthin.
 
Terhadap pelanggaran tersebut, kata Marthin,  Jaksa Penuntut Umum “hanya” mengancam nakhoda dan ABK dengan pidana penjara selama satu tahun atau denda maksimal sebesar Rp. 250 juta. Padahal ikan yang diduga hasil curian mencapai bobot 900,702 ton. Total tersebut terdiri dari 800,658 ton ikan beku dan 100,44 ton udang beku serta 66 ton ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp. 70 Miliar dengan penghitungan sejak 2014 telah 7 kali melakukan penangkapan ikan.
 
" Kami berpandangan bahwa telah sangat jelas terjadi pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia," ujarnya.
 
Jadi, kata Marthin,  hanya kapal berbendera Indonesia yang diperbolehkan untuk menangkap ikan di zona perairan territorial dan kepulauan. Selain itu juga,  Kapal MV Hai Fa  telah melakukan pelanggaran penggunaan nakhoda asing dari China yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia Indonesia. Padahal itu sudah ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perikanan. 
 
"Kapal ini juga diduga telah melanggar ketentuan sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system) dan tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO)," ungkapnya.
 
Ditambah lagi kata dia, kapal tersebut telah melanggar ketentuan yang termuat  dalam Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Mereka melanggar, karena adanya penangkapan ikan hiu martil dan hiu koboi Terhadap kejahatan ini, Pasal 40 ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya mengancam lebih berat dengan pidana penjara paling lama 5  tahun dan denda Rp. 100 jutas rupiah.
 
" Selain itu, terjadi pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara sebagaimana diatur di  dalam Konvensi Hukum Laut Internasional PBB yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Kapal MV Hai Fa memasuki wilayah teritorial Indonesia dan melakukan pelanggaran dengan menangkap ikan secara ilegal, baik perairan kepulauan maupun perairan teritorial. Ini kok dituntut ringan," tuturnya.
 
Menurut Marthin, permasalahan klasik hubungan antara lembaga negara merupakan persoalan akut yang tidak akan dapat terselesaikan dengan adanya ego sektoral masing-masing lembaga. Padahal pemerintah sudah pernah mengeluarkan Permen KP Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Tindak Pidana Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen KP Nomor PER.18/MEN/2011. Untuk itu, perlu dievaluasi ulang, sehingga tidak terjadi lagi permasalahan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan.
 
Sementara itu Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, mendesak kementerian dan instansi penegak hukum, seperti Kepolisian, TNI AL, Kejaksaan dan Mahkamah Agung untuk melakukan penuntutan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif.  Tetapi tuntutan juga mendasarkan pada tindak kejahatan (tindak pidana) atas perbuatan menangkap ikan yang bertentangan dan melanggar hukum.
 
" Kami juga mendesak, tuntutan tidak boleh hanya berhenti kepada pelaku di lapangan, tetapi juga harus menjerat perusahaan di belakang layar yang diduga dilakukan oleh  PT. Avona Mina Lestari," katanya.
 
Kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, KIARA juga meminta segera memberikan sanksi yang berat kepada pejabat yang memberikan ijin (SIUP) kepada PT. Avona Mina Lestari dan SIPI kepada kapal MV Hai Fa serta syahbandar yang telah lalai mengeluarkan surat persetujuan berlayar. Pemerintah juga harus segera melakukan evaluasi dan memperbaiki hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Mahakamah Agung. 
 
"Tujuannya untuk memperbaiki maslah koordinasi dan komunikasi antar-lembaga demi pemberantasan pencurian ikan yang sinergis dan berkeadilan,"ujarnya. (yan/roc).
 
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified