• Home
  • Kilas Global
  • Menakar Multiplier effect Ketenagalistrikan di Pulau Terluar Indonesia
Selasa, 17 Agustus 2021 16:11:00

Menakar Multiplier effect Ketenagalistrikan di Pulau Terluar Indonesia

pasca teralirnya listrik di pulau terluar indonesia, rupat, rumah warga terang benderang memudahkan untuk beraktivitas. foto AMB/Yon rizal solihin

Bagi sebagian warga Riau ada yang berbeda dalam pergantian tahun  2021 lalu. Meski sama-sama menikmati malam pergantian tahun hanya di rumah menyusul pelarangan berkerumun di masa pandemi Covid-19. Namun tidak bagi  warga 11 desa di bumi lancang kuning.

PANAS yang gahar dengan angin berhembus kencang di awal musim kemarau melandai Pulau Rupat yang begitu hangat dihiraukan begitu saja oleh Ari (22). 

        Sebagian keringat membasahi bajunya. Ia tetap memacu kendaraan roda dua menuju Kecamatan  Rupat Utara, wilayah terluar Indonesia yang tepat menghadap bibir Selat Malaka.  Perjalanan darat menuju kecamatan hasil pemekaran itu sekitar 1,5 jam dari  Kecamatan Rupat,  Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

        Masuknya listrik di pulau itu membuat ekonomi menggeliat. Bagi Ari - mungkin-  ribuan warga di pulau itu tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat jasa kurir berkembang di daerah mereka. Ini terkait  maraknya bisnis on line dengan sistem Cash On Delivery (COD) yang dilakukan perusahaan nasional maupun multinasional yang menawarkan diskon besar-besaran via iklan di layar kaca serta media lainnya.

         Alih-alih warga terlebih emak-emak memanfaatkan untuk menjual kembali barang-barang tersebut sekedar meraup raba sekedarnya atau memanfaatkannya bagi keperluan sendiri.

        "Semenjak listrik 24 jam banyak peluang  bisnis dan ekonomi tercipta di sini," ungkap Ari yang sebelumnya bekerja di Kota Dumai. "Saya orang Rupat, kalau ada pekerjaan di kampung sendiri buat apa merantau," tambahnya kepada penulis, Senin (2/8)  melalui telpon seluler.

        Ya, awalnya penulis ingin berkunjung ke pulau yang menawarkan berbagai keindahan itu. Namun Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Kota Dumai sekitar dua pekan mulai dari 2 Agustus dan diperpanjang hingga 23 Agustus menyusul status level 4 wilayah yang dihuni lebih 300 ribu jiwa ini membuat penulis berpikir ulang untuk menuju pulau itu.

        Beruntung, kecanggihan teknologi yang lagi-lagi imbas ketenagalistrikan memudahkan insan pers  menjalankan tugas jurnalistiknya meski ditengah masa pandemi Covid-19. Paling tidak bisa melakukan wawancara melalui video call, WhatsApp (WA), virtual dan lain-lainnya.  Tak bisa dibayangkan jika listrik belum masuk ke wilayah itu, tentu penulis tidak bisa berbuat apa-apa.       

        Malam mulai merangkak naik. Suara binatang malam bersahutan, mata  Jamila    tidak berkedip menatap cahaya lampu di ruang tamu rumahnya. Bagi warga Kampung Proyek, Kelurahan Batu Panjang, Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provnsi Riau  itu, listrik bisa mengaliri rumahnya merupakan mimpi yang teramat panjang.

Sudah lama perempuan yang telah memasuki kepala delapan tepatnya 82 tahun itu tidak lagi mengajarkan Al Quran kepada anak-anak disekitar lingkungan rumahnya. Ya, faktor usia dan kondisi kesehatan tidak memungkinkan nenek belasan cucu ini melakukan kegiatan itu.

Jamila masih ingat bagaimana dia mengajarkan anak-anak tetangga mengaji menggunakan listrik dari mesin diesel milik warga lainnya. Dengan menggunakan tiang kayu, kabel listrik disambung dari rumah yang satu dengan lain seadanya.

Listrik baru menyala sekitar pukul 18.00 WIB selanjutnya sekira pukul 22.00 WIB teknologi yang ditemukan Micheal Faraday itupun padam. Selanjutnya Ia dan keluarga  memanfaatkan lampu pelita sebagai alat penerangan hingga pagi menjelang.

Meski menggunakan listrik terbatas. Namun tidak selamanya listrik menyala, terkadang mati dikala generator pembangkit listrik rusak atau kondisi alam seperti angin kencang, hujan deras dan sebagainya. Kalau sudah begitu, terpaksa mengaji menggunakan lampu pelita atau anak-anak dipulangkan.

Itupula yang membuat Jamila begitu terharu tatkala listrik bisa menyala 24 jam di kampungnya. Kondisi serupa hanya bisa dinikmatinya dikala beranjangsana ke rumah kerabatnya di Kota Dumai (Pulau Rupat dan Kota Dumai dipisahkan oleh laut, pen).

"Mimpi nenek suatu saat kampung kami bisa dialiri listrik 24 jam seperti yang dinikmati kerabat kami di Kota Dumai tercapai juga," ujar Genta, salah seorang cucu Jamila  saat berbincang-bincang dengan penulis beberapa waktu lalu di Dumai.
Bagi warga di kampung itu, masuknya listrik menjadi berkah tersendiri. Mereka pun optimis menatap dan merajut masa depan membungkus berbagai asa.

Pesan untuk Menteri

Tak hanya Jamila yang memendam rindu akan kampungnya dialiri listrik. Namun obsesi itu melecut  keberanian tiga pelajar SMP di Pulau Rupat, Jeriana, Jumiati dan Sri Nabila. Tanpa tendeng-tendeng aling  mereka menanyakan kepada  rombongan  Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral yang megunjungi Kecamatan Rupat Utara beberapa waktu lalu.


foto: Tuntasnya masalah ketenagalistrikan di pulau terluar indonesia, rupat membuat jalan umum terang dan memudahkan warga beregerak. F/ AMB/Yon Rizal

        Jeriana, misalnya, tanpa beban menitipkan pesan kepada menteri agar kampungnya segera dialiri listrik. "Nama saya Jeriana, saya mau pesan kepada bapak menteri bahwa ada sejumlah kampung kami disana belum masuk  listrik, di Dusun Dokoh," kata Jeriana siswi SMPN I Rupat Utara disela-sela kunjungan rombongan Kementerian ESDM di pulau terluar di pesisir timur pantai pulau Sumatera itu.

Tak mau ketinggalan, Jumiati, siswi lainnya juga mengungkapkan hal yang sama. "Rumah saya belum ada listrik, belum masuk, saya mau rumah saya dilistriki, rumah saya di Dusun Dokoh juga, kalau belajar malam saya menghidupkan mesin pebangkit listrik," ujar Jumiati.

Setali tiga uang, Sri Nabila yang juga siswi SMPN I Rupat Utara mengajukan pertanyaan serupa. "Di depan rumah saya belum ada listrik, belum ada tiang listrik. Dan disekeliling rumah saya juga belum ada, nama dusun saya Dapur Runtuh. Semua warga dusun belum ada yang menikmati listrik," gugatnya.

Lantas bagaimana pemerintah menyikapi keinginan generasi  penerus bangsa ini?  Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama, Dadan Kusdiana mewakili Menteri ESDM mengatakan pemerintah  akan segera melengkapi seluruh dusun di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis dengan listrik.

  "Menteri ESDM menyampaikan bahwa untuk rumah tangga yang belum mendapatkan listrik di enam dusun di Rupat Utara ini, beliau sudah berjanji di bulan Nopember 2017 mendatang itu akan menyala," ujar Dadan Kusdiana saat bertemu warga di kantor Kecamatan Rupat Utara. 

Masih kata dia, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral melalui PT PLN (Persero) berencana akan melistriki semua dusun di Pulau Rupat, di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau pada bulan Nopember 2017 dengan  enam dusun tersisa yang belum masuk listrik yakni Dusun Serum, Dokoh, Sungai Pucuk, Dapur Runtuh, Simpur dan Dusun Sutan. Masuknya listrik di enam dusun tersebut sekaligus memenuhi harapan masyarakat setempat agar energi listrik dapat dinikmati seluruh masyarakat.

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah berupaya untuk melistriki Pulau Rupat  melalui  Energi Baru dan Terbarukan (EBT)  menggunakan APBN seperti, pembangunan Pusat Listrik Tenaga Surya (PLTS) terpusat sebesar 15 Kilo Watt Perjam (KWP) di Desa Darul Aman Dusun Teluk dan di Pangkalan Durian sebesar 20 KWP.

Data lainnya menyebutkan  pembangunan PLTS terpusat sebesar 30 KWP juga dilakukan di Desa Titi Akar. "Tahun 2018 mendatang Pemerintah akan merevitalisasi pembangunan PLTS terpusat dengan kapasitas 15 KWP di Desa Darul Aman Dusun Teluk dan Pemasangan LTHSE atau lampu hemat energi untuk sejumlah 246 KK di Desa Hutan Kayu, Kecamatan Rupat Utara," ujar Dadan.

Seperti diketahui Rupat sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau memiliki luas lebih kurang 1.500 km2 dan dihuni sekitar 47.000 jiwa penduduk.dengan dua  kecamatan dan 24 desa. Letaknya terluar dan berhadapan dengan negeri jiran, Malaysia notabene secara geografis dan geopolitik mempunyai fungsi strategis untuk menjaga kedaulatan sekaligus sebagai tujuan wisata baik domestik maupun wisatawan dari Malaysia.

  Melihat fungsi yang strategis ketenagalistrikan khususnya di wilayah pantai timur Sumatera itu maka keberadaan listrik menjadi semakin terasa bagi warga.

Lantas bagaimana tatkala listrik menyala di Pulau Rupat terlebih yang lokasinya agak menjorok ke dalam dengan kondisi alam terbilang tak ramah itu?  Atiam dari suku Akit, misalnya, yakni suku mayoritas yang mendiami Dusun Hutan Samak, Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebuah dusun yang berada di tengah Pulau Rupat yang dikelilingi hutan mangrove lebat itu sangat menikmati kehadiran listrik di dusunnya.

Rumah panggung kayu miliknya serta milik  warga lainnya - mayoritas rumah penduduk di dusun itu berbentuk panggung- tepat perayaan hari kemerdekaan RI ke 74, Sabtu (17/8/19) kabel listrik pun tersambung sebagaiana dilangsir antara.

Suku Akit dikenal sebagai suku yang pemalu. Mereka tidak mudah untuk menerima kehadiran sesuatu yang  baru. Suku Akit juga masih jauh dari kata maju. Cara hidup mereka masih bertahan dengan ajaran nenek moyang dengan mengandalkan alam.

Berangkat dari harapan agar generasi penerus mendapat penghidupan yang layak , Atiam  menjadi sosok sentral ketika listrik akan memasuki Dusun Hutan Samak. Sebagai salah seorang yang dituakan, lelaki ini memberikan pemahaman kepada warga lainnya bahwa keberadaan listrik sangat membantu mereka menata hidup lebih baik.

Kendati tidak mengenyam pendidikan formal terbilang memadai. Namun Atiam percaya bahwa keberadaan listrik di wilayahnya  akan menjadi pondasi awal bagi sebuah perubahan. Ya, perubahan ke arah yang lebih baik terlebih bagi Akit-akit muda.

Pulau Rupat yang sejatinya telah tersambung aliran listrik melalui kabel bawah laut dari Kawasan Industri Dumai (KID), kini benar - benar merdeka. Selain campur tangan PLN, keberhasilan itu tak lepas dari partisipasi masyarakat dengan jalan bergotong royong.

Bupati Bengkalis yang saat itu dijabat Amril Mukminin tak kuasa menahan rasa suka cita. Orang nomor satu dinegeri junjungan itu mengaku bahwa Pulau Rupat diharapkan menjadi andalan Kabupaten Bengkalis disektor pariwisata, mengingat  perlahan tapi pasti Migas yang menjadi andalan daerah itu kian tergerus seiring semakin menipisnya cadangan minyak bumi.

Ya, tidak berlebihan bagi masyarakat Desa Dua Sepakat, Desa Ludai, Desa Batu Sanggan, Desa Tanjung Beringin, Desa Pangkalan Serai, Desa Subayang Jaya, Desa Terusan, Desa Aur Kuning, Desa Pelanduk, Desa Suraya Mandiri, dan Desa Pulau Ruku masuknya listrik yang idam-idamkan pasca  75 tahun negeri ini merdeka menerangi rumah mereka. 

        Tatkala berbicara ketenagalistrikan tidak hanya sebatas kebutuhan dasar manusia, ekonomi dan sosial. Akan tetapi jauh dari itu, ini menyangkut keadilan bagi warga negara untuk menikmati hasil pembangunan. Lantas  imbas apa yang dirasakan warga  terlebih di pulau terluar Indonesia ?

Kian Bergairah

        Sinar Matahari mnghangati Pulau Rupat, Rabu (23/10/19). Wajah Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar tampak berbinar-binar. Dari kelopak matanya tersembul rasa haru, bahagia dan segudang rasa lainnya  saat dia meresmikan   tower 20 KV.  
 Peresmian dilakukan di sela-sela kegiatan Puncak Festival Mandi Safar 1441 H/2019 M di Pantai Tanjung Lapin, Desa Tanjung Punak, Kecamatan Rupat Utara.


foto: petugas PLN bertaruh nyawa mengangkut material ketanagalistrikan di daerah terpencil di wilayah riau beberapa waktu lalu. F/MERDEKAcom

 Bukan tanpa sebab, tower tersebut akan mengalirkan listrik yang berasal dari 4 Gardu Induk KID. tepatnya di Pelintung yang berada di Kota Dumai.

Dengan peresmian tersebut notabene 300 Kepala Keluarga (KK) di Desa Hutan Samak dan 45 KK di Dusun Simpur akan menikmati listrik yang berasal dari pembangunan tower ini.

Selain akan menerangi rumah  warga yang selama ini belum menikmati listrik, meski Indonesia 75 telah merdeka. Namun mantan Bupati Siak dua periode ini berharap pasokan energi listrik yang ada di Pulau Rupat, bisa menyokong pengembangan sektor pariwisata maritim di pulau terluar Indonesia yang berhadapan dengan Selat Malaka. Apalagi Rupat sudah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata di Indonesia.

"Harapan kami sektor industri dan pariwisata di Pulau Rupat dapat dikembangkan dengan tersedianya pasokan listrik PLN ini," ujarnya  seperti ditulis sejumlah media online.

        Asa yang tidak berlebihan mengingat keberadaan pantai berpasir putih di Kecamatan Rupat Utara yang takkalah indah dengan destinasi wisata yang telah mendunia seperti Bali dan Lombok.

        Setali tiga uang, Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Bengkalis, Anharizal pun menyambut positif terang menderangnya Pulau Rupat dengan berbagai program yang dilakukan Kementrian  ESDM dan  PLN yang didukung penuh  Pemprov Riau dan Pemkab Bengkalis agar  jendela Indonesia di Pantai Timur Sumatera ini menjadi lebih kopetitif terlebih disektor pariwisata.

        Menurut Anharizal dengan terang menderangnya Pulau Rupat dan singkatnya waktu tempuh  dari Pekanbaru menuju Dumai melalui Tol Permai, sebelum menyeberang ke Pulau Rupat menggunakan RoRo yang hanya memakan waktu sekitar 45 menit diyakininya bakal membuat Pulau Rupat menjadi tujuan utama warga Riau lainnya menghabiskan waktu libur mereka di sejumlah pantai putih yang terdapat di pulau itu. 

        Sementara wisatawan mancanegara diharapkan datang dari negeri jiran Malaysia dan lainnya melalui RoRo Dumai-Melaka dan Batam-Singapura termasuk RoRo Rupat-Port Dickson -seharusnya November tahun lalu telah beroperasi. Namun karena pandemi Covid-19 program itu terpaksa ditunda, pen.

        Lebih jauh Anharizal menyebutkan, saat dia mendampingi Gubernur Riau Syamsuar melakukan kunjungan ke Rupat bersama sejumlah pengusaha nasional papan atas, mereka tertarik dengan keindahan alam Pulau Rupat.

        "Bahkan ada investor yang siap membangun hotel bintang tiga jika akses Pulau Rupat-Port Dickson dibuka melalui pengoperasian RoRo. Tentu ini akan meningkatkan kunjungan wisatawan jika dikaitkan dengan rencana RoRo Dumai - Malaka dan beroperasinya JTTS ruas Pekanbaru-Dumai termasuk listrik yang sudah bisa dinikmati di sana. Ya, kita bersama instansi terkait lainnya akan terus melakukan pembenahan infrastruktur," katanya.

        Apa yang dikemukanan  Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Bengkalis, Anharizal tidak berlebihan mengingat di Pulau Rupat  juga banyak dijumpai pantai-pantai yang memiliki pesona alam luar biasa.Diantaranya   Pantai Rhu di Desa Teluk Rhu, Pantai Ketapang di Desa Sungai Cingam, Pantai Medang, Pantai Lapin dan Beting Aceh di Kecamatan Rupat Utara dan lainnya.

        Selain pesona alam, dari catatan penulis, destinasi wisata budaya yang layak dijual juga dimiliki pulau terluar  Indonesia ini,  seperti kegiatan mandi safar dan zapin api (bermain bola  api sambil menari atau diiringi musik zapin Melayu, pen), misalnya. 

        Disamping tradisi dan budaya Suku Akit, yakni suku asli yang mendiami Pulau Rupat juga menjadi daya pesona tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke sana. 

        Pulau Rupat merupakan sebuah pulau yang cukup besar dengan luasnya mencapai sekitar 1.500 KM persegi. Lebih luas dari  Pulau Bengkalis yang  merupakan pusat kota dan pemerintahan kabupaten.

        Ini pula yang membuat pengamat Ekonomi dan Pariwisata Kota Dumai Annora Arsan SE menyambut positif upaya yang dilakukan Kementerian ESDM dan PLN menyusul program listrik masuk desa di tanah air terlebih di Pulau Rupat.
Mantan manajer disejumlah hotel berbintang di Dumai, Pekanbaru dan Batam ini menjelaskan bahwa ketenagalistrikan merupakan bagian dari Jelita  yakni akronim dari Jalan, Listrik, Telekomunikasi dan Air Bersih.

        "Ini merupakan prasyarat utama dalam memajukan pariwisata. Disamping obyek destinasi wisata yang menjual, tentunya, dan semua ini sudah dimiliki Pulau Rupat. Ya, kita optimis dengan terang menderangnya wilayah itu notabene dunia pariwisata akan maju," jelas eksekutif muda ini.

        Lebih jauh Annora menjelaskan sulit rasanya menjual destinasi wisata tatkala faktor Jelita belum memadai. "Apalagi dijaman serba digital seperti sekarang tentu internet sangat dibutuhkan ini berhubungan dengan telekomunikasi. Sementara berbicara telekomunikasi tidak bisa dilepaskan dari ketenagalistrikan," ingatnya.

        Dengan majunya destinasi wisata Pulau Rupat pasca masuknya listrik diseluruh pulau itu, Anora mengatakan bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat. "Multi efect player pariwisata luar biasa, mulai dari hotel, rumah makan, kedai harian, transportasi, sovenir termasuk ekonomi kreatif  dan lain-lainnya akan hidup dari aktivitas wisatawan," katanya.

        Apa yang dikemukakan  Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Bengkalis, Anharizal  dan  Pengamat Ekonomi dan Pariwisata Kota Dumai Annora Arsan SE bahwa keberadaan listrik (termasuk Jelita) memiliki korelasi yang erat dengan kemajuan pariwisata sangat tepat.

        Paling tidak  ini dirasakan penulis mewawancarai Santi salah seorang pengusaha katering asal kota bertuah, Pekanbaru.

        "Dengan jarak tempuh yang singkat Pekanbaru-Dumai sekitar 1,5 s/d 2 jam melalui jalan tol mepermudah kita ke sana. Belum lagi fasilitas listrik 24 jam membuat kita nyaman dan betah untuk ke sana," katanya.

        Santi mengaku bahwa panorama destinasi wisata di Pulau Rupat terbilang indah dan luar biasa. "Terakhir saat pergantian tahun baru kemarin kita tiga hari menginap di sana. Ya, karena listrik sudah ada dan 24 jam memudahkan kita berkomunikasi dan melakukan aktivtas karena internet mudah diakses," kata Santi yang mengaku saat ini dia terpaksa menunda  untuk kembali mengunjungi Pulau Rupat karena pandemi Covid 19.

        " Ya, di rumah dulu, kalau urgen sekali baru keluar rumah, mengikuti anjuran pemerintah, protocol kesehatan (Prokes)," katanya.

Tingkatkan Produktivitas Ekonomi

Dibagain lain, rasa-rasanya asa Presden Joko Widodo (Jokowi) agar masalah ketenakelistrikan melalui program listrik masuk desa yang digeber pemerintah melalui PT (Persero) PLN termasuk di daerah terluar Indonesia mampu meningkatkan produkvitas ekonomi masyarakat  mulai bertepi.


foto: imbas tuntasnya masalah ketenagalistrikan berdampak pada pelaku UMKM. F/yon

Paling tidak itu tergambar dari aktivitas masyarakat Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang berbatasan dengan Malaysia pasca wilayah itu terang menderang melalui kerja nyata Kementrian ESDM dan PLN.

Seperti dketahui,  sekitar tahun 2012 listrik sekitar 10-12 jam sehari yakni  sore sampai pagi  sisanya mati lampu. Seiring upaya Pemda setempat melakukan upaya pendekatan kepada PLN agar dibangun jaringan listrik dengan sistem kabel bawah laut sepanjang 40 kilometer untuk mengalirkan listrik dari Gardu Induk Dumai ke Pulau Rupat.

Kondisi pulau terluar di pantai timur Sumatera ini mulai membaik setelah proyek kabel listrik bawah laut PLN tersambung pada 2013. Lalu pada 2017, PLN Dumai mencatat hanya ada tersisa 6 dusun di Pulau Rupat yang belum tersambung listrik 24 jam, dan   di penutup 2019 PLN menyambung listrik ke Dusun Hutan Samak, Desa Titik Akar Kecamatan Rupat yaang ditandai peresmian tower oleh Gubenur Riau Syamsuar.

Dengan sendirinya PLN sudah mengalirkan listrik ke seluruh Rupat, yang terdiri dari 2 kecamatan, 24 desa, dan 12.884 KK. Jumlah pelanggan yang dilayani mencapai 11.842 pelanggan, dengan jumlah desa dan dusun berlistrik sudah 100 persen, dan rasio elektrifikasi 91 persen notabene Rupat pun terang menderang. 

Lantas apa imbas dari listrik di wilayah itu? Akup, salah seorang nelayan warga Kampung Proyek, Kelurahan Batu Panjang,  Kecamatan Rupat kepada penulis mengaku dengan adanya listrik 24 jam maka sangat membantunya. "Untuk memperbaiki jaring, misalnya, bisa dilakukan malam hari. Sebelum listrik mengalir sulit karena menggunakan lampu pelita," ungkapnya.

Tak hanya kesulitan untuk memperbaiki jala, persoalan lainnya yakni sukarnya mendapatkan es untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Ini karena tidak memiliki listrik yang memadai sehingga tidak ada pabrik es disekitar rumahnya. Ikan cepat membusuk dan memaksa nelayan harus menjual murah.

Dengan adanya listrik, Akup dan sejumlah nelayan lainnya membeli kulkas untuk membuat es batu. Ya, mereka tidak pusing lagi untuk mencari es batu yang akan dibawa untuk melaut mengawetkan ikan, tidak seperti dulu saat listrik belum masuk atau pengoperasiannya terbatas.

Tidak hanya Akup yang bisa melakukan aktivitas dimalam hari, Erwin yang berprofesi petani sawit mengaku hal yang sama. "Dengan listrik 24 jam aktivitas kita tidak terbatas lagi. Pokoknya enaklah," katanya tersenyum sumringah.

Ya, semenjak masalah ketenagalistrikan tuntas dengan mengalir 24 jam, jalanan di pemukiman penduduk menjadi terang menderang. Lazimnya pemukiman di kota besar maupun menengah, masyarakat pun leluasa melakukan aktivitas pada malam hari tanpa perlu khawatir. Alih-alih, bisnis kuliner pun hidup, warga luar yang berkunjung ke wilayah itu tidak perlu lagi khawatir saat malam tiba tatkala perut mereka keroncongan mereka cukup berjalan kaki mencari makanan.

"Sebelum listrik masuk dan beroperasi 24 saat malam saya hanya di penginapan, karena jalan gelap gulita. Tapi sekarang tidak, keluar pun kita nyaman," kata Oni warga Dumai membandingkan antara Rupat sebelum dan sesudah dialiri listrik 24 jam atau pasca tuntasnya masalah ketenagalistrikan  di wilayah itu.

Malam menghampiri Kecamatan Rupat Utara. Langit penuh dengan bintang, bulan sabit yang elok menyempurnakan sinar bintang memendarkan  cahaya di permukaan pantai Tanjung Medang. 

Beberapa orang menikmati pesona malam bercampur deru ombak yang membawa pesan bahwa alam memanjakan manusia.

        Ya, mereka adalah peserta dan panitia pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) 2021 tingkat Provinsi Riau  yang dipusatkan di Kecamatan  Rupat Utara. 

        Satu diantara mereka  Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Dumai, Kambali, wartawan senior ini mengakui wajah Rupat berubah pasca  tuntasnya program ketenagalistrikan di pulau itu.

"Dengan adanya listrik 24 jam, siang atau malam hari kita bisa mengirim berita melalui telpon seluler memberitakan kegiatan HPN. Malam hari jalan terang menderang, kita sangat menikmatinya. Sangat berbeda sebelum listrik ada," katanya.
Kambali menilai masuknya listrik  di pulau itu membuat denyut ekonomi di wilayah yang berhadapan langsung dengan Port Dickson, Malaysia, kian hidup dan berkembang.

"Kini Rupat tidak berbeda jauh dengan Kota Dumai yang terlebih dahulu menikmati listrik 24 jam. Bisnis atau usaha seperti fotokopi, foto studio, jual pulsa atau token hingga laundry dan lainnya marak dikelola masyarakat notabene menciptakan lapangan kerja, karena sektor riil dan jasa mulai bergerak," paparnya.

Dibagian lain, wartawan yang fokus dengan liputan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan ini mengingatkan investasi tak akan masuk di suatu daerah bila infrastrukturnya energi sangat terbatas.

Padahal disisi lain, kebutuhan energi tidak bisa disubsitusikan dengan benda lainnya.  Kalau pun ada aktivitas ekonomi, misalnya, akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sehingga daerah tersebut sulit berkembang. 

"Dengan mengalirnya listrik 24 jam kita bisa melihat adanya perubahan menuju kearah yang lebih baik terlebih dari sisi ekonomi, sosial dan kemasyarakatan," katanya.

Menyoali kondisi ini pemerhati ekonomi Kota Dumai Arif Azmi SE menilai tuntasnya masalah ketenagalistrikan melalui  mengalirnya listrik 24 jam kini tinggal bagaimana masyarakat memenej listrik untuk memberi nilai tambah bagi peningkatan ekonomi masyarakat.

" Dengan mengalirnya listrik 24 jam maka banyak peluang, apakah itu sektor jasa, kuliner, perdagangan dan lainnya termasuk bisnis online. Tidak bisa dipungkuri imbas listrik berdampak luar biasa bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, tidak terkecuali di Pulau Rupat," pungkas cendikiawan muda ini saat berbincang-bincang dengan penulis beberapa waktu lalu.

"Ya, semenjak listrik mengalir 24 jam banyak terjadi perubahan di tengah masyarakat. Yang terang ekonomi menggeliat dengan berbagai aktivitas perdagangan dan bisnis," sebut Budi salah seorang koresponden sebuah media  yang juga warga Pulau Rupat.   

Cerahnya perekonomian masyarakat Pulau Rupat  pasca mengalirnya listrik 24 jam ditambah mudahnya masyarakat mengakses jasa keuangan atau perbankan. Sebelum itu, untuk menyetor atau mengambil uang tidak jarang mereka terlebih dahulu menyeberang ke Dumai. Kini, pelayanan bank sudah beroperasi di wilayah itu.  

Menyikapi imbas positif yang dirasakan masyarakat Rupat pasca tuntasnya masalah ketenagalistrikan 24 jam di wilayah itu,  Senior Manager SDM dan Umum PLN Riau Kepri Vick Nawan menjelaskan perusahaan plat merah itu berharap membawa dampak positif bagi kehidupan warga.

"Dengan hadirnya listrik ke desa-desa, harapan kami bisa memberikan manfaat dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan taraf hidup warga hingga anak-anak mampu belajar di malam hari dengan terang, sehingga tingkat pendidikan di desa jadi lebih baik," ujarnya kepada awak media. 

Medan Berat

Bagi publik di luar bumi lancang kuning wajar mereka bertanya-tanya apa yang menyebabkan distribusi listrik terbilang lambat dibanding provinsi tetangga seperti Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) mengingat pradigma di atas minyak (baca: minyak sawit) di bawah minyak (baca: minyak bumi) sangat melekat disandang provinsi itu.


foto: Fasilitas listrik sangat vital bagi keberlangsungan bengkel Pak De. Salah sorang pekerja
sedang mengerjakan pesanan konsumen, Ahad (13/10). F/ Yon Rizal

Ternyata satu penyebab lambatnya persoalan ketenagalistrikan menyusul terang menderang di provinsi itu, tidak bersahabatnya alam di daerah yang dikenal  kaya raya itu termasuk letak geografis yang berawa-rawa dan sebagainya.

Sebagaimana ditulis Merdeka.Com beberapa waktu lalu, saat  membawa material listrik untuk menerangi desa-desa di Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, misalnya, para pekerja Perusahaan Listrik Negara Wilayah Riau Kepulauan Riau (WRKR) harus bertaruh nyawa.

Sebab ancaman buaya sekitar sungai yang mereka lewati berkelahi demi memperebutkan seonggok bangkai babi. Alih-alih perahu bermesin atau biasa disebut pompong yang mereka gunakan terpaksa dihentikan.

"Kalau saja buaya itu menyerang pompong kami, mungkin kami berlima sudah mati," kata Koordinator PLTD, Sub ULP Rayon Pelangiran, Ahmad Nur, Sabtu (19/10/19).

Perjuangan yang begitu berat menembus medan untuk menuju desa tujuan. Disisi lain, kondisi jalur darat memang tidak bisa diandalkan. Satu-satunya jalan adalah melewati aliran kanal yang membelah perkebunan.

Posisi kanal tepatnya di pertengahan, menghubungkan 11 desa di Kecamatan Pelangiran. Pompong menyusuri kanal dengan kedalaman hampir dua meter, dan lebar mencapai 3 meter. Airnya hitam dengan arus pelan. Hanya pompong berukuran kecil bisa melintas.

Selain buaya, tak jarang mereka mendengar auman Harimau Sumatera dari hutan. Ketika itu, Bonita salah satu nama harimau sumatera masih berkeliaran, dan konon memakan korban.

Sesekali mereka bertatap muka dengan ular kobra. Dari 11 desa yang menjadi target, Desa Wonosari yang paling ekstrem untuk ditempuh. Ya, saat ke sanalah mereka bertemu tiga buaya. Saban tahun, buaya selalu makan korban di daerah itu.

Beratnya medan di wilayah itu diakui General Manager PT PLN Unit Induk Wilayah Riau-Kepri (UIWRKR) yang waktu itu dijabat , M Irwansyah Putera.

Irwansyah mengatakan, Inhil adalah kabupaten di pesisir Riau yang realisasi rasio desa berlistrik paling rendah., kondisi geografis dengan akses transportasi yang terbatas menjadi tantangan cukup sulit bagi PLN.

"Kondisi geografis Inhil yang menantang, wajar saja daerah itu dijuluki negeri seribu parit. Memasukkan material kita saja dari Pekanbaru ke desa di sana bisa mencapai 90 hari, padahal kalau jalannya lancar dua hari sudah sampai," katanya kepada awak media.

Beratnya medan tidak hanya di Kabupaten Indragiri Hilir. Namun, kendala  serupa juga terjadi di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis terlebih saat dilakukan pemasangan tower  di Dusun Hutan Samak menuju Dusun Simpur yang pengerjaannya dimulai Desember 2018 dan baru rampung  Agustus 2019.

Kondisi alam berupa pasang surut air laut menjadi rintangan paling rentan. Puluhan pekerja harus bersahabat dengan alam karena izin lokasi pembangunan menara interkoneksi PLN di Pulau Rupat berada di bantaran sungai.

Jika air pasang datang, mereka harus rela menghentikan pekerjaan. Saat air laut mulai menyusut, mereka harus berpacu dengan waktu melanjutkan pekerjaan tugas. 

Ini  sejalan tekat PLN  memberikan pelayanan listrik ke seluruh desa di 12 kota/kabupaten di Riau dengan mengusung motto "menembus batas Riau terang".

. "Bahkan jika malam hari surutnya, malam-malam itulah kita bekerja," ujar Manajer PLN UP3 Dumai Praniko Banu Rendra dilangsir media online lokal.

General Manager PLN Unit Induk Wilayah Riau dan Kepulauan Riau, Daru Tri Tjahjono melalui siaran persnya, Selasa (26/5/20) menjelaskan bahwa  membangun infrastruktur kelistrikan ke daerah-daerah terpencil memiliki tantangan tersendiri, khususnya terkait akses jalan untuk mencapai ke lokasi.

"Sesungguhnya melistriki ke pelosok negeri itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Kendala geografis yang paling berpengaruh, harus menyeberangi lautan, menelusuri sungai-sungai, melewati jalan yang  setapak. Tidak jarang, tiang, kabel, dan material listrik lainnya digotong, diangkat, dibawa sendiri oleh Petugas PLN tanpa menggunakan mesin dalam melewati medan yang sulit," ungkap Daru.

Menyikapi beratnya tantangan PLN mengaliri listrik di daerah terpencil yang tidak jarang bertaruh nyawa membuat Gubernur Riau, Syamsuar memberikan apresiasi atas kerja keras perusahaan plat merah itu  PLN dalam menerangi Provinsi Riau. 

"Kami atas nama Pemerintah Provinsi Riau mengucapkan banyak terima kasih kepada PLN membuat negeri ini menjadi terang benderang walaupun ditengah pandemik Covid-19," kata Syamsuar.

Instrumen Pemersatu 

        Sebelumnya sejumlah kalangan berpendapat masalah ketenagalistrikan adalah salah satu berkah paling besar dan penting yang diberikan sains kepada umat manusia. Tanpa listrik seluruh operasi perkantoran bisnis tak bisa berjalan termasuk aktivitas sosial kemasyarakatan, pendidikan dan lainnya tak maksimal.

Oleh karena itu, sejatinya manfaat dan berkah listrik harus merata dan dinikmati seluruh anak negeri, demi memenuhi rasa keadilan yang muara akhirnya meningkatkan persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa yang dilandasi persamaan dan kestaraan.

Seperti  diawal  tulisan bahwa listrik tidak hanya sebetas kebutuhan dasar manusia di era modern. Namun jauh dari itu, masalah ketenagalistrikan atau energi (baca: listrik) terkait persoalan keadilan. Oleh karena itu bisa dikatakan listrik  menjadi salah satu instrumen pemersatu anak bangsa, kok bisa?

Ya, energi yang berkeadilan adalah suatu keharusan. Pasalnya, keadilan di lini ini membawa kesetaraan  masyarakat. Bayangkan, jika terjadi ketimpangan energi, banyak hal yang tak dapat dieksploitasi oleh masyarakat. Ketidakmampuan melakukan eksploitasi terhadap sumber daya yang ada, sama saja menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk memberdayakan potensi yang ada di  wilayah mereka.

Bisa dikatakan, ketiadaan sumber energi di satu daerah, mengakibatkan opportunity loss dari potensi daerah itu. Fenomena ini menyebabkan suatu daerah tertinggal dibandingkan daerah-daerah yang mempunyai akses energi yang memadai dan menjadi salah satu faktor terjadinya kemiskinan.

Paling tidak pemikiran dan  pendapat sejumlah kalangan seperti diatas diaminkan pemerhati Sosial dan Politik (Sospol) Kota Dumai Irmen Sani saat berbicang-bincang-bincang dengan penulis beberapa waktu lalu.

Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Dumai ini dapat memahami jika perasaan  masyarakat di wilayah yang belum bisa menikmati listrik  bersinggungan  menyangkut  masalah keadilan.

"Ya, ketika terjadi ketidakadilan menikmati hasil pembangunan seperti listrik, misalnya, maka negara melalui Kementrian ESDM dan PLN hadir mengatasi permasalahan ini," katanya.

Hal itu, lanjut aktivis ini, sesuai dengan amanat Pancasila terlebih sila kelima, pembukaan UUD 1945 (prembule)  termasuk batang tubuhnya. "Disini jelas  salah satu poin yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam hal ini konteks ketenagalistrikan atau listrik yang pengejewantahannya melalui institusi Negara, pemrintah maupun BUMN," ingatnya.

Dengan teralirinya listrik 24 jam di Rupat, sambung aktivis ini notabene tidak ada lagi dikotomi antara Jawa dan luar Jawa atau antara Indonesia bagian barat dan bagian timur.

"Selama pemerataan pembangunan belum tercapai khususnya masalah ketenagalistrikan maka dikotomi itu tetap ada. dan  saya yakin ketika semua wilayah Indonesia telah teraliri listrik maka dikotomi itu akan hilang dengan sendirinya, karena semuanya memiliki  kesempatan sama untuk mengakses listrik," katanya.

 Oleh karena itu, lanjut Irmen. dia menilai tidaklah berlebihan jika masalah ketenagalistrikan menjadi salah satu instrumen pemersatu anak bangsa. "Bisa dikatakan listrik dan hasil pembangunan lainnya adalah wadah atau media, tapi esensinya adalah keadilan dan kesempatan yang sama untuk mengakses hasil pembangunan," ingatnya.

Khusus untuk pulau terluar seperti Rupat, lanjut Irmen, menyalanya listrik selama 24 tidak hanya sebatas masalah keadilan. Namun menyangkut marwah bangsa Indonesia mengingat pulau itu berhadapan langsung dengan Malaysia.
 "Bisa dikatakan Rupat adalah halaman depan Indonesia di bagian pesisir timur Sumatera, sedikit banyak menjadi representatif Indonesia di mata negara tetangga," katanya kembali mengingatkan.

Lantas bagaimana pendapat warga Rupat terkait persoalan ini, Ketua Pemuda Kampung Proyek, Paisal, Kelurahan Batu Panjang, Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, mengatakan sebelum listrik masuk di wilayah mereka, ada semacam nada setengah menggugat ditengah masyarakat mengapa mereka belum bisa menikmati listrik seperti saudara mereka yang berada di belahan Indonesia lainnya.

"Saya rasa wajar jika ada pertanyaan  seperti itu, karena logika sederhananya  ketika kita merdeka paling tidak sejajar dengan saudara-saudara lain di Indonesia tidak terkecuali dalam hal menikmati fasilitas pembangunan seperti listrik, misalnya," ujarnya.

Namun, lanjut dia, seiring perjalanan waktu dan kesungguhan stake holder bagaimana Rupat sebagai pintu gerbang Indonesia di pantai timur Sumatera tealiri listrik 24 jam maka perlahan tapi pasti gugatan itu hilang dengan sendirinya.

"Dengan mengalirnya listrik 24 jam tentu gugatan seperti itu hilang, karena dalam hal mengakses listrik tidak ada beda lagi dengan saudara-saudara kami di wilayah lainnya di tanah air. Ya, bisa dikatakan listrik menjadi alat pemersatu sesama anak bangsa, karena kita mempunyai kesempatan yang sama menikmati salah satu hasil pembangunan," ingatnya.

Selain rasa keadilan ternyata ketenagalistrikan membantu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terlebih di bidang agama dan pendidikan. 

Menurut, Ijal,  pemuka agama di Kampung Jeram, Kelurahan Batu Panjang, Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, saat ini pendidikan agama termasuk menjalankan ibadah tidak mengalami hambatan terutama pada malam hari.

"Ini salah satu manfaat adanya lidtrik 24 jam di wilayah kami, memudahkan anak-anak dan warga melaksanakan aktifitas keagamaan pada malam hari tentu ini akan meningkatkan SDM," katanya.

Sebelumnya, pemerhati pendidikan Riau bagian pesisir Mukaram SPd mengingatkan bahwa kehadiran listrik sangat terasa dimasa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. Paling tidak dengan tuntasnya masalah kelistrikan maka masyarakat masih bisa menikmati atau mengakses internet melalui telpon seluler maupun warung internet (Warnet).

Masih kata dia,  kebutuhan akan energi listrik menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Bahkan menjadi kebutuhan utama di kala aktivitas kerja hingga belajar dilakukan dari rumah. "Kita tidak dapat membayangkan jka suatu wilayah belum mendapat akses listrik tentu akan sulit melakukan aktivitas di saat pandemi seperti ini," katanya. 

Ya, dengan terang menderangnya pulau terluar Indonesia di pantai timur Sumatera, Rupat, mempunyai korelasi   dengan   pendapat peraih hadiah nobel bidang ekonomi 1998, Amartya Sen, Louis Pouliquen dalam papernya Infrastructur and Poverty ( 1/12/2000)  yang mengemukakan bahwa  akar masalah dari kemiskinan adalah hak dan kapasitas.

Dengan motto "Menembus Batas Riau Terang" sadar atau tidak pmerintah beserta pemangku kepentingan lainnya, telah mengembalikan hak dan kapasitas warga yang belum menikmati listrik notabene salah satu akar permasalahan kemiskinan di bumi lancang kuning teratasi.

  Itulah sebabnya kemiskinan energi harus diberantas dari bumi Pertiwi. Pemberantasan kemiskinan energi merupakan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai keadilan sosial. Dan keadilan sosial tak mungkin tercapai bila di negeri ini masih ada "kantong-kantong" kemiskinan energi terutama ketenagalistrikan.

Tak pelak kemiskinan energi terlebih ketenagalistrikan menjadi musuh bersama. Pembangunan berkelanjutan memberantas kemiskinan energi menjadi keniscayaan. Negara harus hadir mengatasi persoalan itu.

Apalagi the founding father telah mewanti-wanti generasi penerus bangsa bahwa pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) harus sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3), Undang-Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Ya, ketika pulau terluar di Indonesia seperti Rupat dan daerah lainnya yang dulunya terkendala dengan masalah ketenagakelistrikan, namun tatkala bisa menikmati berkah teknologi itu, bisa jadi mereka tersenyum. Karena salah satu esensi perjuangan para pahlawan, yakni anak cucu mereka hidup dengan sejahtera, damai dan berkeadilan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (yon rizal solihin)
Sumber tulisan: Disarikan dari berbagai sumber dan wawancara

Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified