Minggu, 22 Maret 2015 23:32:00

Mengadukan Holcim Sampai Ke Swiss

Holcim
RIAUONE.COM, JAKARTA, ROC, - Koalisi masyarakat sipil yang selama ini  membela perjuangan warga Ringinrejo, Wates, Blitar, Jawa Timur dalam melawan pengambilalihan lahan yang dilakukan Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia telah. mengadukan permasalahan tersebut ke National Contact Point Switzerland. Mereka mengadukan Holcim, karena operasi perusahaan tersebut berdampak buruk terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat setempat. 
 
"Pengaduan yang kami sampaikan merupakan pengaduan yang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises atau OECD Guidelines for MNE’s,  dimana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi," kata wakil koalisi dari Elsam, Andi Muttaqien dalam siaran persnya yang diterima RiauOne.com, di Jakarta, Minggu, 22 Maret 2015.
 
Di Blitar, kata Andi, lahan seluas ± 724,23 hektar yang dikelola 826 Kepala Keluarga telah menjadi sumber penghidupan warga selama 19 tahun lamanya. Lahan yang terletak di Desa Ringinrejo tersebut, ditanami jagung, ketela dan semangka. Tapi kini terancam digusur. Lahan yang dikelola warga itu,  sejak tahun 2013 telah ditetakan Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan. 
 
"Lahan tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT. Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti, karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen,"kata Andi.
 
Namun lanjut Andi, penunjukan area kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, dilakukan dengan proses yang manipulatif. Karena PT Holcim tak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 19 tahun lamanya. Anehnya,  tawaran ganti rugi atau kompensasi justru diberikan kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo. Padahal warga Ringinrejo yang mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut. 
 
"Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi atau lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan wajib clear and clean secara de facto dan de jure,"tutur Andi.
 
Farhan Mahfudzi dari Sitas Desa, menguraikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT. Holcim Indonesia Tbk. Pelanggaran pertama, lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan Indonesia. Aturan yang dilanggar yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
 
"Karena  berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan dan hukum,"ujar Farhan. 
 
Tapi faktanya,  di lapangan masih terdapat 826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut, bahkan  mereka menggantungkan hidupnya selama 19 tahun di sana. Pelanggaran kedua, melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Menurut Farhan, Pihak PT. Holcim Indonesia Tbk  telah melakukan sosialisasi atau musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi. Namun musyawarah tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo. 
 
"Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga, PT. Holcim Indonesia Tbk melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut,"kata Farhan.
 
 
Pelanggaran ketiga, kata Farhan, persetujuan atau kesepakatan bersama dibuat tidak transparan. Dalam proses negosiasi  membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia permohonan tanah di Desa Ringinrejo. Sampai kemudian berbuah kesepakatan bersama yang menyatakan masyarakat Desa Ringinrejo akan menerima pemberian lahan seluas 40 hektar dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008. Tapi ternyata dalam memperoleh tandatangan pernyataan tersebut, panitia permohonan tanah tak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan kepada warga Desa Ringinrejo. 
 
" Terutama tentang isi pernyataan tersebut,"katanya.
 
Jelas kata Farhan, tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD, terutama pada bab tentang HAM. Tindakan Holcim juga bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan dimana mereka beraktivitas.
 
" Yakni pada Bab I dari panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi UU domestik," katanya.
 
Holcim juga melanggar Ketentuan Nomor 14 Bab II Kebijakan Umum dari panduan OECD. Dalam ketentuan itu dinyatakan, bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang memadai, terutama yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.
 
" Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim, dan dengan difasilitasi NCP,"katanya.
 
Sehingga kata Farhan,  dapat dicapai putusan yang meminta  Holcim mencari lahan pengganti tanpa mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo. Atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan yang final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Dengan begitu dampak kerugian yang dialami warga dapat dipulihkan sepenuhnya. (gus/roc)
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified