- Home
- Kilas Global
- Mengagetkan Jagat Tani, Hasil Penelitian Akademis Membuktikan Sawit Memiskinkan Masyarakat
Senin, 10 April 2023 14:45:00
Mengagetkan Jagat Tani, Hasil Penelitian Akademis Membuktikan Sawit Memiskinkan Masyarakat
LINGKUNGAN, - Selama ini industri perkebunan kelapa sawit diklaim telah mampu menyejahterakan masyarakat, baik para pekerja, petani, maupun masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Banyak pihak juga mengklaim sawit telah mampu membuat Indonesia memenuhi target yang ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainability Development Goals (TPB/SDGs).
Namun hasil penelitian sejumlah akademisi di sejumlah sentra perkebunan sawit di Indonesia justru telah membuktikan sebaliknya.
Hasil penelitian para peneliti dan akademisi itu kemudian dituangkan dalam buku berjudul "The Paradox of Agrarian Change: Food Security and the Politics of Social Protection in Indonesia".
Dari laman voaindonesia.Senin (3/4/2023) pagi, disebutkan salah satu peneliti tersebut adalah Henry Sitorus.
Dia adalah seorang dosen dan peneliti dari Universitas Sumatra Utara (USU) dan melakukan penelitian di dua kabupaten sentra perkebunan sawit di Sumatera Utara, yaitu di Asahan dan Langkat.
Hasilnya, kata dia, dilihat dari angka stunting yang merepresentasikan kesejahteraan, sawit terbukti tidak berperan banyak setidaknya sejak era 1980-an.
"Di Asahan itu menurut data Riskesdas tahun 2013, bahwa stunting itu 44,7 persen. Sementara di Langkat itu 55,5 persen," ujar Henry Sitorus.
Sebagai informasi, Riskesdas merupakan singkatan dari Riset Kesehatan Dasar, dan menjadi salah satu riset skala nasional yang berbasis komunitas.
Riskesdas telah dilaksanakan secara berkala oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI.
Hasil Riskesdas telah banyak dimanfaatkan untuk tujuan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi program pembangunan kesehatan baik di tingkat nasional maupun lokal.
Kembali ke Henry Sitorus. Peneliti USU ini bilang, penting untuk dicatat bahwa dua kawasan itu, yakni Asahan dan Langkat, sebenarnya adalah pusat dari produksi minyak sawit.
Hasil penelitian Henry Sitorus tersebut, selain menjadi bagian dari buku berjudul The Paradox of Agrarian Change: Food Security and the Politics of Social Protection in Indonesia, juga telah dipaparkan di Provinsi Jogjakarta pada tanggal 18 Januari 2023 lalu.Diskusi di Jogjakarta itu mengupas beberapa bagian dari buku yang merupakan hasil penelitian akademisi dari Australia, Indonesia dan Belanda.
Penelitian Henry mencatat, lebih dari 50 persen wilayah lokasi penelitiannya adalah lahan sawit, dengan setidaknya 30 persen lahan itu dikelola petani rakyat atau smallholder.
Bersama John F. McCarthy, peneliti dari Australian National University, Henry memusatkan penelitiannya di dua desa di pusat produksi sawit, untuk membandingkan perubahan yang terjadi.
Dari sisi kemiskinan, data membuktikan di dua wilayah itu jumlah penduduk yang tetap berada di kelompok miskin tetap besar, sehingga dampak perkebunan sawit layak dipertanyakan.
"Yang menarik adalah yang tetap berada dalam kemiskinan, ada 81 persen di Langkat kemudian juga di Asahan itu 41 persen," ujarnya.
Warga yang bisa lepas dari kemiskinan setelah menerima manfaat dari perkebunan sawit di Langkat hanya 11 persen sedangkan di Asahan ada 33 persen.
Ada sejumlah faktor mengapa masyarakat tetap miskin di tengah ekspansi sawit.
Menurut penelitian Henry, faktor itu antara lain posisi tawar petani sawit yang rendah, lahan yang kecil dan harga yang tidak menentu.
Jual beli tandan buah segar (TBS) sawit, kata dia, juga dikooptasi oleh elit tertentu.
"Jadi, ada aspek gangster. Ada kepala preman yang menjadi tauke sawit, itu bahasa Medan-nya, seperti itu. Nah, jadi tauke tapi sekaligus juga elit. Faktor itu mempengaruhi ekonomi masyarakat juga," tambah Henry.
Di samping itu, kebanyakan masyarakat hanya menjadi buruh harian lepas (BHL) di perkebunan yang sangat rentan posisinya.
Kata Henry, pekerjaan para BHL dapat hilang sewaktu-waktu ketika perusahaan perkebunan sawit sudah tidak lagi membutuhkan mereka.
"Perusahaan sawit semakin lama juga membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih baik," tegas Henry Sitorus, peneliti USU. (*).
Share
Berita Terkait
Komentar