- Home
- Kilas Global
- Menteri Susi Pertanyakan Kuota Tuna Negara Tak Berpantai
Rabu, 24 Mei 2017 09:36:00
Menteri Susi Pertanyakan Kuota Tuna Negara Tak Berpantai
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mempertanyakan negara-negara tak berpantai yang memiliki konsesi penangkapan ikan tuna di kawasan-kawasan regional.
Hal itu disampaikannya dalam 21st Session of the Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) di Yogyakarta. Melalui siaran pers, Selasa (23/5/2017), Susi berpendapat pembagian kuota penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) harus dilakukan seadil mungkin.
Menurut dia, kuota harus diberikan sesuai dengan panjang garis pantai yang dimiliki masing-masing negara. Dia juga meminta konsekuensi tegas bagi negara-negara yang mencuri di wilayah perairan negara lain.
“Tentang kuota, saya menginginkan keadilan para coastal line, yaitu para pemilik-pemilik ZEE karena banyak di Indian Ocean ini negara yang menangkap ikan, padahal tidak punya wilayah pantai. Tapi mungkin karena itu laut lepas, jadi mereka merasa berhak menangkap di situ. Tapi apa konsesinya bagi negara yang perairannya dicuri?” ujarnya.
Dia memandang praktik yang berlangsung selama puluhan tahun itu semestinya tidak boleh terjadi lagi.
IOTC terdiri atas 31 negara anggota (contracting party) dan empat negara nonanggota (cooperating noncontracting party). Indonesia menjadi anggota regional fisheries management organization (RFMO) itu mulai 2007.
Dalam forum di Yogyakarta, beberapa negara berkumpul untuk membicarakan portofolio kuota masing-masing dan untuk memperbaiki manajemen penangkapan berkaitan dengan keberlanjutan stok tuna yang ada di Samudra Hindia bagian barat.
Ada lima jenis tuna yang ditangkap nelayan Indonesia di Samudra Hindia, yakni albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye tuna), cakalang (skipjack tuna), tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna), dan madidihang (yellowfin tuna). Estimasi rata-rata hasil tangkapan Indonesia untuk 5 jenis tuna itu selama 2005-2015 mencapai 188.661 ton per tahun. Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di samudra itu mencakup WPP 571, 572, dan 573.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Hendra Sugandhi berpendapat pemerintah semestinya tidak hanya memperhatikan perolehan kuota IOTC atau RFMO lainnya. Menurut dia, hal yang lebih penting adalah merealisasikan kuota itu dengan mengoperasikan kapal-kapal yang spesifikasinya sesuai agar bisa beroperasi di laut lepas.
"Jangan seperti di WCPFC (Western and Central Pacific Fisheries Commission), kuota bigeye 5.889 ton, tapi tidak ada realisasinya karena jumlah dan jenis kapal tidak memadai," ungkapnya saat dihubungi.
Kuota, lanjut dia, sama dengan potensi. Jika tidak direalisasikan, tidak bermanfaat bagi negara. (bis/net).
Share
Berita Terkait
Komentar