Minggu, 30 Juli 2017 09:14:00

Siapa Berhak atas Triliunan Dana Kelolaan ASN?

NASIONAL - Regulasi telah menetapkan digelarnya program Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang hanya akan dioperatori oleh dua badan non profit milik pemerintah yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
 
Namun sebuah Peraturan Presiden pada tahun 2015 ditetapkan terkait kewenangan PT Taspen (Persero) ayng diperkenankan menyediakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi aparatur sipil negara (ASN). Sebuah blunder, atau aturan baru ini bisa dijalankan tanpa ada yang 'tersikut'?
 
Setiap penduduk punya harapan besar Negara akan hadir ketika mereka tak lagi dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak ketika terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan pada mereka. Setiap insan masyarakat jelas tak punya gambaran yang bisa diprediksi terkait hari esok yang bakal mereka hadapi.
 
Akankah mereka akan mengalami sakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan. Que sera, sera, Whatever will be, will be. The future's not ours to see, demikian lirik yang dinyanyikan Doris Day dan sempat ngetop di era 1960-an. Intinya, tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan.
 
Hal yang jelas-jelas masyarakat bisa ketahui di masa depan adalah bahwa mereka, kita, akan memasuki usia lanjut, dan berikutnya memasuki periode non produktif ketika memasuki periode pensiun.
 
Lantas apa yang bisa mereka dapat setelah masa pensiun, hal ini masih menjadi problem bagi sebagian besar para pekerja di Tanah Air. Beruntung Negara memang hadir untuk bisa memberikan penjaminan bagi para pekerja, baik itu pekerja swasta, maupun para aparatur sipil negara (ASN) yang mencakup pegawai negeri sipil, anggota angkatan bersenjata dan anggota kepolisian.
 
Setidaknya jaminan ini sudah menjadi komitmen Negara yang telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (3), yang menyebut bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Jaminan secara konstitusional juga termaktub dalam pasal 34 UUD 1945 ayat 2 bahwa
 
Negara akan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
 
Dari bunyi pasal 34 ayat 2 ini mengandung makna bahwa pemerintah atau negara berkewajiban membuat sebuah program yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat miskin untuk berobat, memperoleh pengahasilan dan pekerjaan yang layak, beberapa pragram yang sudah diluncurkan pemerintah antara lain jamiman kesehatan masyarakat (jamkesmas), yang hadir lewat layanan BPJS Kesehatan, BJPS Ketenagakerjaan serta PT Taspen buat para pegawai negeri sipil dan Asabri untuk para anggota angkatan bersenjata dan kepolisian.
 
Komitmen pemerintah yang diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut kini telah diimplementasikan dengan dilansirnya UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
 
Lewat beleid ini negara menyelenggarakan program jaminan sosial yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
 
Lewat program ini setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
 
Sebelum pelaksanaan SJSN, negara telah menjalankan beberapa program jaminan sosial untuk sebagian kecil warga, yakni bagi PNS melalui PT Taspen dan PT Askes, pekerja swasta melalui PT Jamsostek, dan anggota TNI/Polri melalui PT Asabri.
 
Berikutnya berdasarkan UU No 24/2011, SJSN diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Saat ini telah lahir BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes dan BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan tranformasi dari PT Jamsostek.
 
Jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan sudah dimulai tahun 2014, sedangkan jaminan sosial bagi pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan dimulai pada tahun 2015.
 
Terkait jaminan sosial ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan lewat Direktur Utamanya Agus Susanto di Denpasar, Jumat pertengahan Mei lalu, menyatakan bahwa pihaknya menargetkan sebanyak 25,2 pekerja di seluruh Indonesia bisa ikut program BPJS Ketenagakerjaan pada tahun ini.
 
Sejauh ini tercatat sebanyak 48 juta pekerja aktif di Indonesia, dan sebanyak 22,6 juta pekerja baik pekerja di sektor formal maupun informal telah tercatat sebagai peserta.
 
Cakupan kepesertaan di kalangan pekerja informal diakui masih sangat minim, baru mencapai sekitar 1%. Pasalnya di sektor informal ini sebagian besar para pekerjanya bergantung pada musim dengan kompleksitas yang cukup tinggi dalam sistem kerjanya.
 
BPJS Ketenagakerjaan pun menetapkan bakal memperluas cakupan programnya pada para tenaga kerja informal ini. Salah satunya dengan cara memberdayakan kemampuan internal dan eksternal termasuk menggandeng lembaga swasta dan pemerintah untuk menjalin kerjasama.
 
Salah satu kerjasama dilangsungkan dengan perbankan, dan sejauh ini baru dijalin kerja sama dengan Bank Tabungan Negara (BTN). Kerja sama dengan bank-bank lain pun telah dijajaki dan kini masih dalam pembahasan teknis. "Jika (peserta) itu bertambah iuran juga bertambah sehingga dana kelola naik, disamping peningkatan hasil pengembangan (untuk kepentingan pekerja, red)," kata Agus.
 
Saat ini, sektor informal yang akan dicakup penjaminannya atau asuransinya adalah para buruh migran dalam hal ini para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
 
Untuk program yang satu ini, tengah dilangsungkan pembahasan lintas kementerian dan lembaga, yang diikuti BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, KPK, Ototritas Jasa Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
 
Perubahan pengelolaan asuransi TKI dilakukan sesuai rekomendasi KPK yang menyarankan agar skema asuransi TKI dikelola BPJS dengan skema single risk management.
 
Artinya apa pun bentuk perlindungannya harus dilaksanakan oleh BPJS, baik BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Sebelumnya, dana asuransi TKI dikelola oleh tiga konsorsium, Konsorsium Asuransi Jasindo, Konsorsium Asuransi Astindo, Konsorsium Asuransi Mitra TKI.
 
Sejauh ini berdasarkan Permenakertrans No. 07 Tahun 2010, terdapat perlindungan 15 risiko TKI selama penempatan dan purna penempatan.
 
Di antaranya resiko meninggal dunia, kecelakaan kerja, hilangnya akal budi, sakit, tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan atau pelecehan seksual, PHK, pemulangan TKI bermasalah, menghadapi masalah hukum, kerugian atas tindakan pihak lain selama perjalanan pulang, dan TKI dipindahkan tempat kerja lain tidak sesuai perjanjian penempatan.
 
Dalam kesempatan tersebut, BPJS Ketenagakerjaan menyatakan siap untuk melakukan jaminan sosial kepada TKI. Pihak BPJS Ketenagakerjaan sudah melakukan pemetaan dan penanggungjawab perlindungan TKI terhadap risiko yang dilindungi.
 
Saat ini TKI di-cover 13 risiko oleh asuransi konsorsium, nah, kita sandingkan dengan apa yang akan mereka dapat dari BPJS Ketenagakerjaan. Nanti akan kelihatan bagus mana, ujar Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto.
 
Menurut Agus, BPJS Ketenagakerjaan bisa memberi jaminan lebih banyak secara nominal dibanding asuransi konsorsium yang selama ini mengcover TKI.
 
Sementara itu buat para pegawai negeri sipil, telah hadir PT Taspen yang telah 54 tahun berkiprah. Sejauh ini Taspen dinilai telah menjadi sahabat PNS untuk mensejahterakan para abdi negara tersebut.
 
Sejumlah terobosan dilakukan Taspen dalam memaksimalkan perannya. Sejak diterbitkannya PP No 70 tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara, Taspen bergerak cepat menjalankan dua program tersebut.
 
Inovasi dan terobosan juga digulirkan, seperti penyediaan Layanan Klaim Otomatis, yaitu proses pembayaran hak Tunjangan Hari Tua (THT)/Pensiun bagi peserta yang jatuh tempo atau memasuki usia pensiun secara otomatis dan percepatan layanan 1 jam.
 
Layanan Klaim 1 Jam yang diterapkan oleh seluruh kantor cabang Taspen pun disertai pemberian kompensasi berupa souvenir kepada peserta jika pelayanan yang diberikan melebihi 1 jam, dengan catatan klaim tersebut sudah memenuhi syarat.
 
Inovasi lain adalah Aplikasi SIM GAJI yang merupakan salah satu bentuk kepedulian Taspen kepada Pemerintah Daerah dalam hal pengelolaan gaji PNS Daerah.
 
Saat ini Taspen memiliki jumlah peserta sebanyak 6,8 juta orang, yang terdiri dari 4,3 juta orang peserta aktif dan 2,45 juta orang pensiunan yang tersebar diseluruh Tanah Air.
 
Para peserta tersebut dilayani oleh 55 Kantor Cabang dan 14.394 titik layanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk para anggota angkatan bersenjata dan kepolisian, telah hadir ASABRI yang telah berdiri sejak tahun 1971 lewat PP No. 44 Tahun 1971.
 
Berdasarkan PP tersebut, awalnya programnya hanya empat, yaitu Santunan Asuransi, Santunan Nilai Tunai Asuransi, Santunan Risiko Kematian Peserta yang meninggal aktif dan Santunan Biaya Pemakaman untuk peserta yang telah pensiun. Hanya empat program yang ada pada saat itu.
 
Kemudian melihat tugas pokok TNI dan Polri yang mempunyai resiko tinggi, maka dikembangkan program-program khusus.
Program ini antara lain adalah Santunan Resiko Kematian Khusus, untuk peserta yang gugur di daerah operasi, Santunan Cacat Karena Dinas, Santunan Cacat Bukan Karena Dinas dan Santunan Biaya Pemakaman Istri/ Suami dan Anak.
 
Sebelumnya biaya pemakaman hanya untuk peserta, sekarang dikembangkan untuk istri/ suami dan anak peserta. Program khusus yang dikembangkan oleh ASABRI tersebut berlaku hingga kini. Pesertanya terdiri dari Prajurit TNI, anggota Polri, PNS Kemhan/Polri dan bersifat wajib, berdasarkan PP No. 68 Tahun 1991.
 
Setiap Prajurit TNI, anggota Polri, PNS Kemhan/Polri diwajibkan untuk membayar iuran dari gaji pokoknya sebesar 3,25% untuk program tunjangan hari tua, yang dikelola oleh ASABRI dibawah Kementerian BUMN.
 
Yang saat ini telah dikembangkan menjadi 9 Program ASABRI yang terdiri dari Santunan Asuransi, Santunan Nilai Tunai Asuransi, Santunan Risiko Kematian, Santunan Risiko Kematian Khusus, Santunan Cacat Karena Dinas, Santunan Cacat Bukan Karena Dinas, Santunan Biaya Pemakaman, Santunan Biaya Pemakaman Istri/Suami, Santunan Biaya Pemakaman Anak.
 
Komponen kedua, 4,75% adalah iuran dana pensiun dan itu dibawah Kementerian Pertahanan. Belakangan sempat terjadi 'dispute' terkait pengelolaan dana penjaminan bagi para Aparatur Sipil Negara, dalam hal ini pegawai negeri sipil dan anggota angkatan bersenjata dan kepolisian.
 
Hal ini terjadi menyusul diterbitkannya PP No.70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) melaksanakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi aparatur sipil negara (ASN).
 
Perpres yang diterbitkan pada 2015 tersebut dinilai amat bertentangan dengan UU No.40/2004 tentang SJSN dan UU No.24/2011 tentang BPJS.
 
Keberadaaan UU 40/2004 tentang SJSN melatari hadirnya UU No.24/2011 tentang BPJS telah menyatakan secara eksplisit bahwa hanya ada dua badan penyelenggara jaminan sosial secara nasional, yaitu BPJS Kesehatan yang mengelola program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola empat program, yaitu JKK, JKm, JHT dan Jaminan Pensiun.
 
Pengamat Jaminan Sosial, Hotbonar Sinaga, dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) bertema "Evaluasi Regulasi Pendukung Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan" di Jakarta pertengahan April lalu mengungkapkan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan amanat UU No.40/2004 tentang SJSN dan UU No.24/2011 tentang BPJS.
 
Pemerintah menerbitkan PP No.70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) melaksanakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi aparatur sipil negara, yang dinilai telah menabrak tiga undang-undang yang ada.
 
Dikatakan mantan Direktur Utama PT Jamsostek (kini BPJS Ketenagakerjaan), keberadaan PP Nomor 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013.
 
Perpres Nomor 109 tahun 2013 menyebutkan, pekerja penerima upah penyelenggara negara, seperti CPNS, PNS, anggota TNI-Polri, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Prajurit Siswa TNI dan Peserta didik Polri, harus didaftarkan dalam empat program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan.
 
Sementara ketentuan dalam pasal 7 PP Nomor 70/2015 tentang JKK dan JKM yang memberikan kewenangan kepada Taspen tersebut juga bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah ditetapkan sebelumnya.
 
"Pasal 1 angka 6 UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan pasal 1 angka 1 UU Nomor 24/2011 BPJS, bahwa yang berwenang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional yang meliputi Jaminan Kesehatan, JKK, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiub, dan JKm untuk seluruh penduduk Indonesia termasuk di dalamnya ASN adalah BPJS," kata Hotbonar.
 
Hotbonar juga menyebutkan bahwa Pasal 57 huruf f UU Nomor 24/2011 tentang BPJS sendiri sebenarnya hanya memperkenankan PT Taspen (Persero) untuk menambah peserta baru, bukan program baru.
 
Ketentuan dalam pasal 7 PP Nomor 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 92 ayat (2) UU Nomor 5/2014 tentang ASN yang menegaskan perlindungan kepada ASN berupa Jaminan Kesehatan JKK dan JKm mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional (SJSN).
 
Sementara itu terdapat putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 tanggal 31 Agustus 2005 yang menyatakan bahwa PT Taspen bukanlah sebagai BPJS yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional.
 
"Seharusnya tidak ada kepentingan selain melaksanakan tuntutan UU SJSN dan BPJS dalam penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan," paparnya.
 
Terkait 'perselisihan' siapa yang lebih berhak dalam mengelola dana jaminan sosial untuk ASN, Direktur Harmonisasi Perundangan-Undangan Kemenkum Ham Karjono meminta semua pihak terkait, yakni PT Taspen, PT Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan untuk duduk bersama mencari solusi.
 
Pemerintah hendaknya patuh pada UU SJSN dan BPJS yang mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial dilakukan oleh BPJS," kata Karjono.
 
Menanggapi permintaan untuk melebur dalam tubuh BPJS Ketenagakerjaan Direktur Utama PT Asabri Sonny Widjaja, sebagaimana mengutip keterangan media Jumat (21/04/2017) mengatakan, penggabungan antara Asabri dengan BPJS Ketenagakerjaan tidak memungkinkan.
 
Ia beralasan, nilai dan kriteria penjaminan yang dilayani oleh Asabri terhadap anggota TNI dan Polri berbeda dengan kriteria penjaminan yang diberikan kepada masyarakat dan pekerja pada umumnya.
 
Hal ini, menurutnya, akan membuat pelayanan di BPJS Ketenagakerjaan menjadi kompleks bila ada penggabungan. Ia menilai bahwa Asabri tetap lebih baik berdiri sendiri di luar BPJS Ketenagakerjaan.
 
Di lain pihak, walau sejumlah pihak terus mendesak, tampaknya Taspen juga tetap bergeming untuk terus melakukan inovasi & terobosan layanan. Perbedaan segmen pasar serta produk dengan BPJS Ketenagakerjaan menjadi alasan utama Taspen untuk tetap menjalankan kegiatannya. Alasan itu seringkali diungkapkan Direktur Utama Taspen Iqbal Latanro.
 
Menurutnya Taspen hanya akan mengelola dana pensiun untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan jaminan hari tua. Sementara BPJS Ketenagakerjaan berada di sisi non PNS. Sehingga hal itu tidak akan mengganggu kinerja kedua lembaga ini.
 
Sementara itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengingatkan manajemen PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) agar segera menerbitkan roadmap transformasi bisnisnya.
 
Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
 
Anggota DJSN Ahmad Ansyori menjelaskan, Taspen dan Asabri telah sering mendapat peringatan dari DJSN untuk segera membuat roadmap tersebut.
 
Pasalnya, UU BPJS menitahkan kedua perusahaan asuransi pelat merah untuk menyelesaikan roadmap transformasi bisnis paling lambat tahun 2014 lalu.
 
Selain itu, UU BPJS juga mengamanatkan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah yang memuat ketentuan tentang peralihan program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dari Taspen dan Asabri kepada BPJS ketenagakerjaan.
 
"UU SJSN maupun UU BPJS, tidak memerintahkan untuk melebur, hanya mengalihkan program yang sesuai dengan program SJSN, kata Ansyori.
 
Artinya Asabri dan Taspen, wajib mengalihkan program Tunjangan Hari Tua dan Pensiun, termasuk Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian kepada BPJS ketenagakerjaan.
 
Dengan mengalihkan program SJSN yang saat ini masih dikelola Taspen dan Asabri, tidak otomatis membuat kedua badan usaha milik negara (BUMN) tersebut harus dilebur ke dalam BPJS Ketenagakerjaan.
 
Taspen dan Asabri, masih bisa fokus menjalankan aktivitas usahanya dengan menjalankan program-program selain program SJSN tersebut, sesuai permintaan pemegang saham, kata Ansyori seperti dilansir Tribun. (ind/*).
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified