• Home
  • Kilas Global
  • Tekan Perdagangan Manusia, Pemerintah Berdayakan Perekonomian Desa
Minggu, 09 April 2017 06:39:00

Tekan Perdagangan Manusia, Pemerintah Berdayakan Perekonomian Desa

TKI. ilustrasi. F/net
NUSANTARA - Untuk menekan bahkan menghilangkan orang Indonesia,terutama perempuan,menjadi TKI di luar negeri, serta membuat jera pelaku perdagangan manusia bertopeng pengiriman TKI ini pemerintah harus memberdayakan ekonomi masyarakat desa, terutama di daerah-daerah yang selama ini menjadisumber TKI ke luar negeri.
 
Pemberdayaan ekonomi desa ini seperti adanya suntikan modal dari pemerintah untuk masyarakat yang mau berwirausaha seperti menjahit, membuat kerajinan seperti menenun,dan sebagainya.
 
Hal itu dikatakan Edi Hardum, penulis buku “Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI” dalam acara diskusi dan bedah bukunya di Jakarta, Kamis (6/4/2017).
 
Tampil sebagai pembicara dan pembedah buku tersebut adalah Direktur Justice, Peace, Integrity and Creation (JPIC) OFM, Peter Aman; Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo; Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kemnaker, Maruli A Hasoloan; Ketua Umum Asosiasi Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Ayub Basalah.
 
Menurut Edi, pemerintah juga harus giat melakukan pelatihan dan pendidikan wirausaha untuk masyarakat,seperti melatih dan mendidik untuk menjahit, menenun, membuat bakso, dan lain sebagainya. “Yang lain lagi adalah mendidik dan melatih masyarakat untuk membangun koperasi,” kata wartawan senior Harian Umum Suara Pembaruan ini.
 
Sejak awal Mei 2015, kata Edi, pemerintahmenghentikan pengiriman TKI pekerja rumah tangga (PRT) ke 21 negara di Timur Tengah (Timteng). Alasannya, banyak TKI menjadi korban kekerasan di ke-21 negaratersebut. Ke-21 negara ituadalah Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, UEA, Yaman, dan Yordania. Namun, kata dia, kebijakan tersebut tidak menyelesaikan masalah bangsa kalau tidak diikuti dengan usaha membangkitkanperekonomian masyarakat terutama di kantong-kantong TKI.
 
Edi menegaskan, setiap bulan sebanyak minimal 10.000 TKI pekerja rumah tangga (PRT) ilegal dikirim ke luar negeri melalui jalur perorangan. Kebijakan penghentian pengiriman TKI ke-21 negara itu justru menyuburkan pengiriman TKI PRT ilegal.
 
Selain itu, mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM ini memintapemerintah terus berkampanye soal pentingnyamasyarakat,terutama perempuan,untuk tidak menikah di usia muda.
 
Paling tidak, perempuan menikah minimal 24 tahun dan lelaki minimal 27 tahun. Dan, yang terpenting adalah aparat penegak hukum harus menghukum orang tua yang mengijonkan anak perempuannnya untuk dinikahkan kepada pria berduit. Orang tua seperti ini harus dijerat dengan UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak.
 
“Ada daerah tertentu di Indonesia ini yang mengijonkan anak perempuannya kepada pria hidup belang atau pelaku perdagangan perempuan,” kata Edi.
 
Selanjut, kata Edi, agar perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI hilang maka penegakkan hukum harus tegas.Polri harus tegas menerapkan UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU 39 / 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri atau UU Pengganti UU ini yang tengah dibahas dalam revisi di DPR.
 
 Sanksi yang diatur dalam UU UU 21 / 2007  cukup tegas. Pasal ayat (1) menegaskan, “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjarapaling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah.”
 
Pasal 3 UU 21/2007 menyatakan, “Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negaralain dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun danpidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah.”
 
Menurut Edi, UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah UU yang progresif. Pasalnya, pertama, UU inimenggunakan asas minimal yakni dihukum minimal tiga tahun penjara. Kedua, UU ini mengatur soal keterlibatan masyarakat dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang (Pasal 60). (3) UU ini juga membicarakan soal kerjasama internasional dalam memberantas tindak pidana perdangan orang (Pasal 59).
 
Menurut Edi, selain menerapkan UU UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, polisi juga harus menerapkan UU terkait lainnya seperti UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri, UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak, UU 39 / 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 7 / 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrinasi terhadap Wanita.
 
Selanjutnya, Edi memintaKementerian Kenegakerjaan (Kemnaker) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) harus terus bersikap tegas terhadap Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) nakal. Kalau izin operasional perusahaan sudah dicabut, jangan diberikan izin lagi.
 
Nama-nama PPTKIS yang sudah dicabut izinnya jugaharus diumumkan di media massa, bila perlu diiklankan.Selama ini,kata dia, nama-nama PPTKIS yang nakal dan dicabut izinnya cuma ditulis inisialnya saja. “Hal itu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada PPTKIS yang bersangkuatan untuk “nego” dengan pihak tertentu di Kemnaker,” kata dia. 
 
Selanjutnya, Edi meminta agar melayani calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) dan TKI yang masih berada di luar negeri secaraonline. Pelayanan seperti ini dapat mencegah penipuan CTKI ke luar negeri,baik sebagai TKI yang bekerja di sektor formal maupun TKI yang bekerja di sektordomestic worker(pekerja rumah tangga – PRT).
 
Untuk mencegah penipuan CTKI ke luar negeri baik sebagai TKI yang bekerja di sektor formal maupun TKI yang bekerja di sektordomestic worker(pekerja rumah tangga – PRT), pemerintah akan segera melakukan perekrutan melalui sistemonline. Dengan sistemonline maka seluruh masyarakat Indonesia bisa mengetahui secara pasti di negara mana butuh tenaga kerja apa, persyaratannya seperti apa, dan sebagainya.
 
Pada awal Februari 2016, Kemnaker melakukan uji coba sistem online untuk melayani penempatan dan perlindungan tenaga kerja untuk menyukseskan program perbaikan tata kelola penempatan TKI di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Program ini merupakan embrio layanan satu atap (LSA) yang terintegrasi antar satuan kerja perangkat daerah di Provinsi NTT.
 
Layanan satu atap TKI ini dibutuhkan karena NTT merupakan salah satu kantong TKI yang memiliki TKI dalam jumlah besar dan tersebar di berbagai negara.
 
Selanjutnya, Edi memin semua lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Polri harus giat dan tegas memberantas korupsi.
 
Edi mengatakan, sebagian besar pengiriman TKI selama ini terutama sejak tahun 2010 sampai tahun 2015 diwarnai sejumlah pelanggaran hukum yang masuk dalam tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana dilakukan secara terselubungan dengan label atau pengiriman calon TKI atau TKI.
 
Pelaku tindak pidana perdagangan orang ialah orang-orang yang berdiri sendiri, seperti calo yang mempunyai jaringan dengan PJTKIS, orang-orang yangmerupakan pengurusataubahkan pimpinan dari PJTKIS,oknum birokrat dan oknum aparat keamanan seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan hakim (secara tidak langsung).
 
Pimpinan atau pemilik PJTKI ini biasanya mempunyai hubungan erat dengan pejabat di lembaga pemerintah terkait seperti Kemnakertrans, BNP2TKI,dan Polri. Sehingga tindakan kejahatan mereka selalu “terlindungi”. Hal ini dilakukan pelaku semata-mata untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
 
Tindak pidana perdagangan orang yang bertopeng pengiriman TKI ini terjadi karena tidak berfungsinya negara. Tidak berfungsinya negaraberarti jugatidak berfungsinya hukum. Padahal dalam teorinya (das sein),Indonesia adalah negara demokrasi.Sebagai negara demokrasi, Indonesia adalah negarahukum. Artinya Indonesia menjujung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Konsekwensinya,dalam kehidupan bernegara, pemerintah wajib melindungi seluruh warga negara Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan ancaman.
 
Secara teori, tujuan negara hukum adalah menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat, serta melaksanakan kesejahteraan umum.
 
Karena lemahnya penegakan hukum maka banyak pejabat dari instansi pemerintah serta oknum aparat keamanan ikut terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang. Padahal,perangkat undang-undang sudahsangatlengkap seperti KUHP, UU 39 / 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, UU 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,sertabeberapaUU lainnya. Namun, semua UU itu kurang maksimal diterapkan.
 
Pada zaman reformasi, pemerintah sepertinya terhegomoni oleh partai-partai politik. Hal ini terlihat selama dua periode pemerintah Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono( 2004- 2009dan 2009-2014). Hal yang sama sepertinya terjadi pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Betapa tidak, ketika Jokowi memilih menteri-menteri sejak awal tidak terlepas dari tekanan sejumlah Parpol.
 
Begitu berkuasanya Parpol di zaman reformasi ini, maka lembaga negara seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dipimpin oleh politisi dari Parpol. Ketika SBY menjadi Presiden RI selama dua periode, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemnakertrans) dipimpin oleh politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
 
Menurut penulis,ketika politisi PKB memimpin Kemnakertrans, yang sekarang bernama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sama sekali tidak membawa perubahan. Pengiriman TKI ilegal tidak berhenti. Kekerasan dan perlakuantidakmanusiawi terhadap calon TKI di penampungan dan TKI di negara-negara penempatan tak kunjung berakhir.
 
Pada pemerintah Jokowi ini, Kemnaker kembali dipimpin politisi PKB, Muhammad Hanif Dhakiri. Demikian juga BNP2TKI juga dipimpin oleh politisi dari Parpol yakni dari Golkar, Nusron Wahid. Menurut penulis, yang dilakukan Nusron di lembaga yang dipimpinnya lebih banyak pecintraan. Bahkan, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), Ayub Basalamah mengatakan, sampai saat ini setiap bulan adasekitar10.000 orang TKI ilegal dikirim ke sejumlah negara, termasuk ke negara-negara Timur Tengah (Timteng).
 
Begitu berkuasanya parpol di zaman reformasi ini, maka banyak pelaku tindak pidana perdagangan orang terutama yang bertopeng TKI menyusup ke sejumlah Parpol. Mereka ini memberi “upeti” kepada parpol-parpolnyadan aparat penegak hukum. Akibatnya mereka tidak bisa ditindak secara hukum.Dalam konteks seperti inilah dikatakan negara terhegemoni oleh partai politiksebagaimana dijelaskan Antonio Gramsci.
 
Tragedi
 
Sementara Peter Aman mengatakan, pemperdagangkan manusia Indonesia, adalah tragedy, merupakan penistaan terhadap perjuangan para pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hasil tumpahan darah dan pengorbanan, agar setiap manusia Indonesia menjadi manusia bebas dan bermartabat, serta hidup sejahtera di atas bumi yang kaya raya ini, “yang bukan lautan hanya kolam susu”. Tanah air ini menjadi “lost paradise” – karena yang mereguk kekayaannya adalah orang-orang asing, sedangkan anak-anak bangsa menjadi komoditi perdagangan.
 
“Mengapa? Karena kita masih belum berhasil membangun kesadaran dan tanggungjawab berbangsa, di mana komitmen terhadap kebaikan bersama, solidaritas, subsidiaritas dan pengorbanan demi kesejahteraan umum belum nyantol dalam kesadaran dan nurani kita. Ini PR bagi pendidikan berbangsa dan bernegara kita,” kata Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
 
Ia mengatakan, Indonesia tidak kekurangan nilai-nilai adiluhung yang menjadi pilar kokoh bagi bangunan kebangsaan Indonesia, pemerintah mengelak dan tidak peduli, dan karena ingin menutup kegagalan itu menjadi kreatif mengemas kegagalan dalam kemasan topeng-topeng sosial, politik dan ekonomi bahkan agama. Ibarat kuburan yang dilabur indah, padahal di dalamnya penuh kebusukan.”Menjual manusia Indonesia, saudara-saudari sebangsa, kita kemas dengan kedok pengiriman tenaga kerja,” kata dia.
 
“Siapa yang harus bertanggungjawab ? Kita semua. Karena kita diam, malas tahu, tidak peduli, atau bahkan menjadi kolaborator, memfasilitasi atau sekurang-kurangnya tidak mempersoalkan atau permisif. Yang paling bertanggungjawab tentu saja penyelenggara Negara: gagal mewujudkan kesejahteraan umum, atau membiarkan kekayaan alam bangsa ini dinikmati segelintir orang, dengan akibat massa rakyat menjadi miskin, menjual apa saja, termasuk menjual diri; tidak optimal dalam menegakkan aturan dan hukum, bahkan turut serta memperbanyak kedok atau topeng. Rakyat yang tidak kecipratan kesejahteraan ini, tidak menjadi betah di tanah airnya sendiri,” kata dia.
 
Menurut Peter, kepergiaan mereka untuk menyerah diri pada calo TKI dalam jumlah yang besar mestinya menjadi suatu bahan refleksi bagi penyelenggara Negara: mengapa begitu banyak rakyat meninggalkan Negara ini? Jelas saja, banyak petani kita tidak punya cukup lahan untuk bertani, sementara korporasi difasilitasi untuk mendapatkan ribuan ha tanah.
 
Peter mengatakan, ia pernah bertemu dengan seorang bupati yang bahkan dengan bangga mengatakan bahwa rakyatnya banyak keluar negeri, menjadi pekerja asing, padahal mereka menjadi obyek eksploitasi dan perdagangan manusia. dia tidak menyadari bahwa sesungguhnya dia gagal, banyak rakyatnya pergi meninggalkan kabupatennya.
 
Pihak lain yang bertanggungjawab menurut Peter adalah pemimpin masyarakat, terutama para pemimpin agama. Di Negara ini, kata dia, agama paling sibuk dan paling banyak kerjanya, sayangnya yang banyak disibuki dan diurus adalah surga dan bukan dunia. Agama yang mengurus surga juga merupakan “kedok” menutup kegagalan untuk menjadi kekuatan dan energy spiritual yang transformative serta mendorong manusia beragama mengabdikan diri dan hidup demi kebaikan sesama. dilansir industryco.
 
Di salah satu daerah di negeri ini saya pernah mendengar selentingan tentang keterlibatan tokoh agama dalam “pengiriman TKI sebagai kedok bagi perdagangan manusia”. Para politisi juga sama saja (buku halaman, 66), malah para politisi ikut-ikutan mengurus surga. Kita sepertinya tersesat atau sengaja tersesat, sebagai kedok, keserakahan dan kejahatan, entah pribadi entah bersama. (*/net/roc).
Share
Berita Terkait
  • 8 tahun lalu

    Buka ASEAN Seminar, Kabareskrim : Satu Korban Perdagangan Manusia Sudah Terlalu Banyak

    JAKARTA, - Sebagai satu bentuk kejahatan yang membutuhkan fokus dan konsistensi pemberantasannya, perdagangan manusia telah menjadi salah satu momok tindak pidana bagi selu
  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified