- Home
- Kilas Global
- Ya Sudah... Putusan MA bebaskan perusahaan dalam kasus karhutla 'preseden buruk', kata aktivis lingkungan
Kamis, 11 November 2021 07:47:00
Ya Sudah... Putusan MA bebaskan perusahaan dalam kasus karhutla 'preseden buruk', kata aktivis lingkungan
NASIONAL, - Putusan bebas bagi perusahaan yang dituduh membakar lahan dan hutan di Kalimantan Tengah oleh hakim kasasi di Mahkamah Agung dikhawatirkan bakal menjadi preseden buruk dalam memutus perkara karhutla di masa mendatang.
Kasus yang digugat pada tahun 2019 itu mendakwa PT Kumai Sentosa membayar ganti rugi kebakaran lahan sebesar Rp935 miliar.
Beberapa aktivis lingkungan mendesak jaksa penuntut mengajukan Peninjauan Kembali atas vonis tersebut karena putusan itu dianggap janggal lantaran hakim tidak jeli dalam menggali fakta di lapangan.
Adapun catatan LSM lingkungan Walhi, gugatan karhutla yang menang di pengadilan sebesar Rp18 triliun tak kunjung dieksekusi oleh pemerintah.
Pengkampanye Walhi Nasional, Uli Artha Siagian, mengaku khawatir gugatan banding mereka di Pengadilan Tinggi Jambi terhadap dua perusahaan atas kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di konsesi mereka bakal bernasib sama seperti PT Kumai Sentosa yang lepas dari jerat hukum.
Pasalnya pada 28 Oktober lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam putusan sela, menolak gugatan mereka dengan alasan tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara. Bahkan hakim menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp4,5 juta.
"[Khawatir] pasti ada. Karena mereka mencoba tunjukkan di putusan sela dan kita melihat ada upaya menggagalkan untuk bisa menagih pemulihan lingkungan kepada tergugat," imbuh Uli kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (10/11).
Uli menilai keputusan itu merupakan upaya untuk menghambat dalam menagih atau mendesak perusahaan bertanggung jawab atas konsesinya yang terbakar di tahun 2015 dan 2019.
" Kami curiga ada sesuatu yang tidak beres dari putusan PN Jambi dan kita sedang melakukan upaya banding dalam minggu ini," imbuhnya.
Dua perusahaan yang diseret ke pengadilan itu yakni PT Pesona Belantara Persada yang luas arealnya mencapai 18 hektar dan PT Putra Duta Indah seluas 16 hektar.
Walhi dalam gugatannya meminta dua perusahaan membayar ganti rugi pemulihan lingkungan sebesar Rp200 miliar.
'Putusan MA jadi preseden buruk'
Apa yang dikhawatirkan Uli, kata Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana, bisa saja terjadi menyusul putusan bebas PT Kumai Sentosa oleh hakim kasasi Mahkamah Agung.
Dalam putusannya hakim kasasi MA membebaskan perusahaan sawit itu dari tuntutan ganti rugi sebesar Rp935 miliar dengan alasan perusahaan telah memasang papan peringatan dilarang membakar lahan.
Selain itu, pekerja juga telah diberi arahan untuk tidak melakukan pembakaran lahan dan melakukan pemadaman apabila melihat ada api menyala.
" Hal terburuk ke depan jadi preseden. Kalau pasang papan peringatan bisa lolos, nanti semua perusahaan cukup pasang plang saja. Itu kenapa kerusakan lingkungan hidup yang berdampak strategis harusnya hakim menggunakan pendekatan pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2009 soal pertanggung jawaban mutlak," jelas Wahyu Perdana kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (10/11).
" Siapapun yang usahanya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dia bertanggung jawab mutlak tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Selama [kebakaran] ada dalam konsesi, harusnya [perusahaan] bertanggung jawab."
Wahyu juga menilai putusan itu janggal. Sebab jika merujuk pada aturan yang ada, tanggung jawab perusahaan pemilik konsesi tidak hanya berupa papan peringatan.
Tapi ada tim pemadam, menara pemantau, serta petugas penjaga jika ada lahan gambut yang terbakar.
Baginya vonis bebas itu menjadi potret suram penanganan kejahatan lingkungan hidup di Indonesia.
Apalagi sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terang-terangan mengatakan "pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi".
" Tentu [putusan MA] jadi catatan kalau kemudian itu menjadi yurisprudensi tentu jadi ancaman kasus karhutla mudah sekali dilepaskan."
Jaksa harus ajukan Peninjauan Kembali
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, mendesak jaksa mengajukan Peninjauan Kembali atas vonis bebas Mahkamah Agung terhadap PT Kumai Sentosa agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.
Dia juga mengatakan dalam memutus perkara itu, hakim tidak jeli dalam menggali fakta-fakta di lapangan.
"Hakim melihat kasus ini sangat sempit pada lahan yang terbakar dan seolah-olah lahan yang terbakar tidak mungkin dilakukan korporasi dan ketika sudah pasang papan peringatan dianggap punya niat baik."
"Padahal kalau melihat kasus-kasus yang sudah inkrah, kita lihat korporasi sering melakukan pembakaran untuk menghemat biaya dan meski ada papan tidak serta merta menunjukkan korporasi tidak akan membakar lahannya."
"Fakta di kasus-kasus lain menunjukkan [papan peringatan] itu syarat pelengkap. Bahkan enggak dipakai. Itu pengetahuan umum."
Raynaldo menilai jika jaksa mengajukan Peninjauan Kembali maka besar kemungkinan putusan itu bisa dikoreksi. Sebab dari tiga hakim yang mengadili, satu di antaranya mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Selain itu, dalam gugatan perdatanya PT Kumai Sentosa diputus bersalah dan harus membayar Rp175 miliar. Meskipun belakangan perusahaan pemilik konsesi 2.688 hektar ini melakukan banding.
Apa kata KLHK?
Menanggapi putusan tersebut, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan akan mempelajari putusan MA atas PT Kumai Sentosa.
Dan, akan segera berkonsultasi dengan kejaksaan untuk langkah hukum selanjutnya.
Dia pun menegaskan KLHK tidak akan berhenti menegakkan keadilan lingkungan dan menindak pelaku kejahatan lingkungan hidup termasuk karhutla.
"Kami akan menyiapkan langkah-langkah hukum selanjutnya. Kejahatan LHK harus sama-sama kita hentikan, Indonesia harus bebas bencana asap. Tidak ada komproni untuk pelaku penyebab karhutla. Sudah seharusnya mereka dihukum dan didenda seberat-beratnya," kata Rasio seperti dilansir detik.com, Selasa (9/11). (*).