- Home
- Kilas Global
- Bisnis Dunia, Pluktuasi Dolar vs Rupiah, Dolar AS Tembus di Rp15.600, Pengusaha Mulai Ketar-Ketir
Senin, 09 Oktober 2023 15:17:00
Bisnis Dunia, Pluktuasi Dolar vs Rupiah, Dolar AS Tembus di Rp15.600, Pengusaha Mulai Ketar-Ketir
DUNIA, BISNIS, - Kalangan pengusaha mulai ketar-ketir menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi beberapa hari terakhir. Saat ini, mata uang Garuda masih tertahan di level Rp 15.600 per dolar AS.
Kalangan ekonom pun melihat, pelemahan rupiah ini akan dirasakan terutama bagi pelaku usaha yang bahan baku produksinya didominasi produk impor, seperti sektor industri manufaktur, makanan dan minuman, elektronika, tekstil, hingga petrokimia.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk, Vidjongtius, mengakui kondisi tersebut tentu akan memberi tantangan pada produksi industri. Sebab, dia mengatakan harga bahan baku impor saja kini masih mahal akibat pelemahan kurs rupiah.
"Tantangan nya lebih harga bahan baku impor yang masih mahal dalam mata uang asingnya. Sudah pasti rupiah yang stabil akan sangat membantu industri secara umum," kata Vidjongtius kepada CNBC Indonesia, seperti dikutip Senin (9/10/2023).
Kendati begitu, Vidjongtius menganggap, pelamahan rupiah terhadap dolar AS saat ini masih terbilang terkendali karena masih sedikit di bawah kondisi pada saat akhir tahun lalu yang pergerakannya hingga ke level Rp 15.700 per dolar AS.
"Kalau lihat pergerakan rupiah akhir tahun lalu di tutup di Rp 15.700 dan sekarang di Rp 15.600 rasanya range fluktuasinya masih tipis sehingga dampak perubahan kurs masih terkendali," ucapnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman juga mengungkapkan tidak sedikit produsen di industri makanan-minuman yang mengandalkan bahan baku impor. Alhasil ketika kurs dolar AS naik, maka harga bahan baku pun ikutan naik.
"Memang ini pasti akan berpengaruh terhadap bahan baku impor, baik bahan baku maupun barang modal seperti mesin-mesin dalam proses pemasangan baru. Yang agak mengkhawatirkan ada kenaikan harga pokok karena bahan baku kita banyak impor," kata Adhi.
Dia melanjutkan, kenaikan kurs dolar AS juga berdampak pada biaya logistik, sewa kapal hingga kontainer. Beban peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu akan menjadi tambahan ke biara produksi, sementara kondisi dalam negeri tidak memungkinkan naik harga karena daya beli sedang minim.
Mau tidak mau perusahaan mengorbankan margin agar tidak terlalu berpengaruh berat terhadap penjualan. Selain itu, mengurangi berat atau resizing juga menjadi opsi bagi industri makanan dan minuman.
"Opsi ke sana selalu ada (resizing), kita berupaya bagaimana supaya enggak rugi, tentunya efisiensi, pencarian alternatif bahan baku dan resizing ukuran menjadi alternatif juga. Ya (resizing) seperti Chiki dan sebagainya," sebut Adhi.
Wakil Ketua Umum Koordinator IV Kadin Indonesia Carmelita Hartoto, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Perhubungan dan Logistik APINDO, turut menegaskan bagi manufaktur yang berorientasi ekspor tentu penguatan dola ini akan berdampak positif.
Tapi, bagi pelaku usaha yang memiliki utang dalam dolar dan pendapatannya dalam bentuk rupiah tentu pelemahan rupiah akan menjadi tantangan tersendiri. Begitu pula dengan pelaku usaha yang memang banyak menggunakan barang impor sebagai bahan baku produksinya.
"Tentu pelemahan rupiah akan menambah cost perusahaan. Maka di situasi seperti ini perlu kecermatan dalam mengurangi pos-pos beban usaha, penundaan investasi dan berbagai langkah strategy lainnya," tutur Carmelita.
"Tapi tidak juga harus disikapi secara berlebihan karena ini memang dinamika usaha. Ketar ketir ya pasti lah," tegasnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno membenarkan, penguatan dolar AS terhadap rupiah merupakan Wind Fall atau durian runth untuk eksportir yang komponen produksi dan bahan baku nya mayoritas Rupiah.
Namun, dia menegaskan tak semua eksportir bisa menikmatinya karena banyak juga eksportir di Indonesia yang bahan baku produksinya masih memanfaatkan barang-barang dari impor.
"Tapu kalau yang bahan baku nya banyak USD, tidak dapat Windfall , hanya paar saja. Manufactur memang bahan baku dan penolong masih ada komponen dolar AS tapi produksi cost nya atau manufacturing cost kan dalam rupiah seperti untuk energi dan tenaga kerja," tegas Benny.
Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia Banjaran Surya Indrastomo menambahkan tekanan pelemahan rupiah sejauh ini juga berpotensi tak hanya menekan biaya produksi industri tersebut, namun juga bisa mengerek harga barang impor dua komoditas utama Indonesia, yaitu minyak mentah dan harga beras yang berpotensi menekan inflasi yang langsung dirasakan masyarakat umu.
"Padahal, kebutuhan impor beras sedang tinggi karena berkurangnya produksi nasional. Menjadi krusial bagi pemerintah untuk segera memitigasi risiko kenaikan harga beras tersebut dengan penguatan peran Bulog serta memberi insentif finansial untuk substitusi beras dengan pangan karbohidrat lainnya, yang bukan hanya sekedar imbauan," tegas Banjaran.
Dia juga mengingatkan bahwa kondisi pelemahan rupiah terhadap dolar masih berpotensi berlanjut mengingat kondisi eksternal khususnya di Amerika Serikat masih penuh ketidakpastian.
Di antaranya disebabkan arah kebijakan The Fed yang masih hawkish serta terdapat risiko government shutdown AS apabila masih belum dapat menyepakati anggaran deadline pada 17 November mendatang.
Apabila government shutdown terjadi, maka rilis data inflasi AS akan dihentikan. Padahal, menurutnya, selama ini Gubernur The Fed Jerome Powell selalu mengatakan akan menentukan kebijakan moneternya berdasarkan perkembangan data.
Tanpa rilis data krusial tersebut, arah kebijakan The Fed akan lebih sulit untuk ditebak. Dengan begitu, dia memprediksi nilai tukar Rupiah masih akan tertekan, sampai dengan rapat dewan gubernur The Fed atau Federal Open Market Commitee (FOMC) Meeting 1 November 2023 serta 17 November deadline kesepakatan anggaran tersebut.
"Kami melihat kondisi pelemahan Rupiah masih akan mengkhawatirkan hingga akhir tahun, dan diperlukan penguatan dari intervensi bank sentral," kata Banjaran.
Salah satunya adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang saat ini sudah mencatatkan progress positif, tetapi masih belum cukup untuk meredam dampak tertekannya nilai tukar yang disebabkan karena masih minimnya minat investor asing untuk instrumen tersebut.
"Dibutuhkan intervensi lebih kuat untuk menarik modal asing masuk kembali ke Indonesia," tuturnya.
Sebagai informasi, nilai tukar rupiah cenderung tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) selama pekan kemarin. Menurut data Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.605/US$ atau menguat 0,03% terhadap dolar AS pada Jumat (6/10/2023).
Posisi ini berkebalikan dengan penutupan perdagangan Kamis (5/10) yang menguat 0,10%. Namun, secara mingguan, rupiah terpantau melemah sebesar 1% atau melemah dalam lima pekan berturut-turut. sc:cnbc