• Home
  • Kilas Global
  • Dampak Kerja Paksa terhadap para pekerja, AS Boikot Perusahaan Sawit yang Punya Kebun di RI
Minggu, 04 Oktober 2020 10:20:00

Dampak Kerja Paksa terhadap para pekerja, AS Boikot Perusahaan Sawit yang Punya Kebun di RI

Pipa loading CPO ke tanker di Dermaga Dumai/F-riauone

DUNIA, -  Amerika Serikat memblokir impor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya yang diproduksi oleh FGV Holding Bhd Malaysia. Pemblokiran ini terkait dengan kerja paksa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut terhadap para pekerjanya.

Departemen Perlindungan Bea dan Perbatasan Amerika Serikat mengatakan pemblokiran ini dilakukan dengan penahanan kiriman perusahaan dan anak perusahaan FGV di semua pelabuhan masuk AS.

"Perintah tersebut merupakan hasil dari penyelidikan selama setahun yang mengungkapkan adanya penipuan, pembatasan pergerakan, isolasi, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual terhadap tenaga kerja," dikutip, Sabtu (3/10).

investigasi yang mengklaim jutaan pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia, yang bekerja untuk memproduksi minyak sawit, mengalami berbagai bentuk eksploitasi. Media ini menuding ada pekerja anak di bawah umur, perbudakan, dan tuduhan pemerkosaan.

AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.

Laporan tersebut menyebut perusahaan seperti Unilever, L'Oreal, Nestle, Procter & Gamble (P&G), Colgate-Palmolive, dan Ikea, serta beberapa nama bank raksasa, seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC, dan Vanguard Group, dan Maybank, terlibat dalam masalah pelanggaran ini.

Hasil Laporan

Laporan tersebut juga mengklaim bahwa jutaan pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia, yang bekerja untuk memproduksi minyak sawit, mengalami berbagai bentuk eksploitasi. Dengan yang paling parah adalah adanya pekerja anak di bawah umur, perbudakan, dan tuduhan pemerkosaan.

AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di kedua negara. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.

Reporter AP News dalam laporan itu, bahkan mengklaim telah menyaksikan beberapa dugaan pelanggaran secara langsung. Bahkan melakukan tinjauan laporan polisi dan pengaduan yang dibuat untuk serikat pekerja.

Media itu juga mengaku mendapatkan rekaman dan foto yang diselundupkan dari perkebunan, juga menggunakan cerita media lokal untuk menguatkan laporan tersebut. Malaysia dan Indonesia sendiri memproduksi sekitar 85% dari perkiraan pasokan minyak sawit senilai US$ 65 miliar di dunia.

Hal ini merupakan serangan baru ke kelapa sawit dan CPO dari Malaysia-RI. Sebelumnya diskriminasi juga dilancarkan Eropa dengan regulasi "Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa" beserta aturan teknisnya (delegated act).

Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi pada lingkungan akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC.

Punya Lahan di Indonesia

Situs resmi perusahaan mencatat FGV adalah salah satu produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, menyumbang sekitar 15% dari total produksi CPO tahunan Malaysia. FGV beroperasi di 9 negara di Asia, Timur Tengah, Amerika Utara dan Eropa.

FGV adalah perusahaan agribisnis berbasis di Malaysia yang terdaftar di Bursa Malaysia pada 28 Juni 2012. Penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) FGV tercatat menjadi salah satu yang terbesar di dunia dengan meraih dana IPO mencapai RM10,4 miliar atau setara dengan Rp 37 triliun (Rp 3.580/RM).

Perusahaan ini awalnya didirikan sebagai kepanjangan tangan bisnis komersial dari BUMN Malaysia, Federal Land Development Authority (Felda) pada tahun 2007 guna mengawasi investasi di bisnis minyak sawit hulu dan hilir serta agribisnis lainnya. BUMN Malaysia Felda dibentuk pada 1 Juli 1956 di bawah Land Development Ordinance (Land Development Ordinance) tahun 1956, seperti terungkap dalam sejarah perusahaan di situs Felda.

"FGV didukung oleh tenaga kerja yang kuat lebih dari 45.000 orang. Fokus utama kami adalah pada tiga sektor bisnis inti: Perkebunan, Gula, dan Logistik," tulis manajemen FGV dalam situs resminya.

Bisnis hulu minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), perusahaan mengelola total cadangan lahan seluas 439.725 hektare di Malaysia dan Indonesia, dan menghasilkan sekitar 3 juta metrik ton (MT) CPO setiap tahun. Di Malaysia, perseroan memiliki 197 perkebunan yang berlokasi di Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan, Johor, Sabah dan Sarawak.

Sedangkan di Indonesia, kegiatan perkebunan difokuskan di 5 perkebunan yang terletak di Kalimantan Tengah dan Barat. Saat ini, FGV memiliki 68 pabrik di seluruh Malaysia, memproses lebih dari 14 juta MT Tandan Buah Segar (TBS) setiap tahun, di mana dua pertiga TBS bersumber dari petani FELDA dan petani swadaya.

Beberapa anak usaha di bisnis hulu dari FGV yakni FGV Plantations (Malaysia) Sdn. Bhd, FGV Palm Industries Sdn. Bhd, Pontian United Plantations Berhad, FGV Agri Services Sdn. Bhd, dan PT Citra Niaga Perkasa. Lainnya adalah PT Temila Agro Abadi, Asian Plantations Limited, dan FGV Kalimantan Sdn. Bhd.

Di Indonesia, salah satu perusahaan terafiliasi FGV karena sama-sama dipegang sahamnya oleh Felda yakni PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT), lewat FIC Properties Sdn Bhd. Felda masuk ke BWPT bermitra dengan Grup Rajawali milik Peter Sondakh.

Laporan keuangan BWPT per Juni 2020 mencatat saham Felda melalui FIC Properties mencapai 37%, sementara saham PT Rajawali Capital International sebesar 37,70% dan sisanya investor publik 25,30%.

Felda, melalui anak usahanya FIC Properties Sdn Bhd mengakuisisi 37% saham Rajawali di Eagle High Plantations pada April 2017. Proses akuisisi tercatat memakan waktu sekitar 4 bulan setelah sale purchase agreement(SPA) yang ditandatangani kedua belah pihak pada 23 Desember 2016.

Nilai akuisisi diperkirakan mencapai US$ 500 juta, atau sekitar Rp 580/saham. FIC, yang sepenuhnya dimiliki oleh Felda, didirikan sebagai cabang investasi Felda, guna menjalankan kegiatan usaha yang tidak terkait dengan perkebunan.

Saat ini FIC fokus pada pengembangan properti, perhotelan, dan investasi strategis lainnya sebagaimana ditulis dalam situs resminya. (CNBC/net/roc/*).

Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified