- Home
- Kilas Global
- Di Yerusalem, Kelompok Yahudi Radikal Serang Gereja Jelang Natal, Uskup Agung Yerusalem: Upaya Pengusiran
Kamis, 23 Desember 2021 12:34:00
Di Yerusalem, Kelompok Yahudi Radikal Serang Gereja Jelang Natal, Uskup Agung Yerusalem: Upaya Pengusiran
DUNIA, - Kelompok Yahudi radikal di Israel kembali melakukan serangan di gereja-gereja Yerusalem. Serangan ini sebagai bentuk intimidasi terhadap kaum minoritas di sana.
Perlakuaan Yahudi Radikal ini langsung mendapatkan balasan daripara pemimpin gereja di Yerusalem.
Para pemimpin gereja menilai pihak berwenang gagal menahan serangan terhadap umat Kristen di Israel.
Hal itu membuat kekhawatiran bagi umat Kristen di sana yang akan merayakan Natal.
Uskup Agung Canterbury mengatakan konflik yang terjadi di Israel telah merambat ke komunitas Kristen.
Akibatnya, populasi umat Kristen yang tinggal Tepi Barat menurun selama bertahun-tahun.
Para pemimpin Gereja di Yerusalem memperingatkan dalam pernyataan mereka bahwa sejak 2012 telah terjadi "tak terhitung banyaknya serangan fisik dan verbal terhadap para imam dan pendeta lainnya yang dilakukan kelompok Yahudi radikal.
Para ektremis Yahudi menyerang gereja-gereja Kristen dan menodai situs-situs mereka.
Tak hanya itu, kelompok Yahudi radikal juga mengintimidasi orang-orang Kristen lokal yang hanya berusaha untuk beribadah dengan bebas dan menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
"Taktik ini digunakan oleh kelompok radikal seperti itu dalam upaya sistematis untuk mengusir komunitas Kristen keluar dari Yerusalem dan bagian lain dari Tanah Suci." kata Uskup Agung Canterbury seperti dilansir dari BBC.
Uskup Agung Canterbury mengatakan, mengakui komitmen pemerintah Israel untuk melindungi masyarakat, tetapi itu "dikhianati oleh kegagalan politisi lokal, pejabat dan lembaga penegak hukum".
Uskup Agung Canterbury dan pemimpin spiritual dari 85 juta persekutuan global Anglikan, Justin Welby, dan Uskup Agung Anglikan di Yerusalem, Hosam Naoum, mendukung pernyataan itu dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Sunday Times yang memperingatkan "tragedi bersejarah yang sedang berlangsung di waktu sebenarnya".
Mereka mengatakan pelecehan fisik dan verbal terhadap pendeta Kristen, dan perusakan tempat-tempat suci oleh kelompok pinggiran, kelompok radikal adalah upaya bersama untuk mengintimidasi dan mengusir mereka.
Mereka juga mengatakan, komunitas pemukim Yahudi telah membuat umat Kristen di Tepi Barat terisolir.
"Tidak harus seperti ini. Tren ini dapat dibalik - tetapi tindakan harus diambil dengan cepat. Kami mendorong pemerintah dan otoritas di wilayah tersebut untuk mendengarkan para pemimpin gereja di tengah-tengah mereka." dalam artikel tersebut.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Senin malam, pemerintah Israel mengatakan komentar para pemimpin Gereja Yerusalem tidak berdasar dan "mendistorsi realitas komunitas Kristen di Israel".
"Para pemimpin agama memiliki peran penting dalam pendidikan untuk toleransi dan koeksistensi, dan para pemimpin Gereja diharapkan memahami tanggung jawab mereka dan konsekuensi dari apa yang telah mereka terbitkan, yang dapat mengarah pada kekerasan dan membahayakan orang-orang yang tidak bersalah," demikian peringatan itu.
Pernyataan itu juga menuduh mereka diam "menjengkelkan" atas penderitaan banyak komunitas Kristen di tempat lain di Timur Tengah.
Tidak ada tanggapan segera dari para pemimpin Gereja Yerusalem, tetapi juru bicara Uskup Agung Canterbury mengatakan dia telah "berulang kali berbicara tentang penganiayaan orang Kristen di Timur Tengah dan bagian lain dunia".
Upaya mengusir Kristen dari Yerusalem
Pemimpin gereja di Tanah Suci,Yerusalem, mengatakan bahwa kelompok radikalIsraelberupaya mengusir umat Kristen dari wilayah itu.
Kustodian Gereja Katolik Tanah Suci, Francesco Patton, dan penjaga tempat suci Kristen di lokasi itu, mengungkap ancaman itu melalui tulisan diDaily Telegraphpada akhir pekan lalu.
"Kehadiran kami genting dan masa depan kami terancam," tulis Patton.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Patton, kehidupan umat Kristen dibuat tak nyaman oleh kelompok ekstremis.
"Tampaknya tujuan mereka untuk menghilangkan umat Kristen dari Kota Yerusalem, bahkan seperempat penganut Kristen," ujar Patton.
Patton menuding kelompok ekstremis itu merusak dan menodai situs-situs suci di kota itu, termasuk gereja-gereja.
Sementara itu, mereka juga disebut melakukan berbagai pelanggaran terhadap biarawan dan pendeta.
"Kelompok-kelompok radikal ini tak merepresentasikan pemerintah atau orang Israel. Namun, seperti faksi ekstremis, kehadiran kelompok radikal lokal membebani hidup banyak orang, terutama jika aktivitas mereka tak dikendalikan dan tak dihukum," tutur Patton.
Menurut Patton, sebelumnya umat Kristen menyumbang 20 persen populasi di Yerusalem, tapi kini hanya kurang dari 2 persen. Dia meminta agar komunitas internasional mendukung umat Kristen di wilayah itu.
"Sehingga kami bisa terus melestarikan keragaman yang kaya di Tanah Suci ini," katanya.
Peringatan lain juga muncul dari Uskup Agung Canterbury di Inggris, Justin Welby, dalam artikel yang ditulis bersama Uskup Agung Yerusalem, Hosam Naoum, dan diterbitkan di Sunday Times. Welby juga menyampaikan keresahan di akun Twitter.
"Ini pernyataan yang tidak terduga dari Uskup Agung dan Pemimpin Gereja di Yerusalem soal masa depan umat Kristen di Tanah Suci," tulis Welby.
Para uskup agung mengatakan, desa-desa Kristen juga kian terisolasi karena peningkatan komunitas pemukim Israel di Yerusalem.
Selain itu, umat Kristen juga semakin terisolasi karena pergerakan mereka terhambat usai Israel membangun tembok penghalang untuk mencegah serangan dari Tepi Barat.
"(Dampaknya) ada perpindahan orang-orang Kristen Palestina yang meninggalkan Tanah Suci untuk mencari kehidupan dan mata pencaharian di tempat lain," katanya.
Kelompok ekstremis Yahudi dilaporkan sudah empat tahun melakukan vandalisme terhadap situs-situs Kristen di Yerusalem dan area lain di Israel.
Mereka juga menargetkan warga Palestina.
Israel menguasai Yerusalem Timur dari Yordania pada 1967 melalui dalam Perang Enam Hari.
Mereka kemudian memperluas kedaulatan atas wilayah tersebut. Namun, komunitas internasional tak mengakui pencaplokan itu. (*)