• Home
  • Kilas Global
  • Kisah Supriyanto, Nelayan Indonesia yang Tewas akibat Disiksa di Kapal Taiwan
Sabtu, 20 Agustus 2016 12:22:00

Kisah Supriyanto, Nelayan Indonesia yang Tewas akibat Disiksa di Kapal Taiwan

Wartawan BBC Temukan Video Nelayan Indonesia dipukuli di sebuah Kapal Ikan Taiwan
Kakak Supriyanto, Rusmiati, bersama kedua anak Supriyanto: Dimas (12 tahun), dan Makmun (10 tahun)
NUSANTARA, - Seorang nelayan asal Tegal, Jawa Tengah, menjadi korban penyiksaan di kapal ikan asing, dan akhirnya tewas mengenaskan..
 
Sebuah video yang diperoleh wartawan BBC di Taiwan, Cindy Sui, memperlihatkan seorang nelayan Indonesia, Supriyanto, mengalami luka-luka akibat dipukuli di sebuah kapal ikan Taiwan.
 
Video yang direkam dengan ponsel oleh kawan Supriyanto di kapal ikan asing itu memperlihatkan kondisinya yang menyedihkan: kepalanya bocor, matanya merah akibat berdarah, kakinnya lebam hingga susah berjalan.
 
Dalam Bahasa Jawa, kawannya berkata, "Nasibnya Supriyanto, jalan saja dia sudah tidak bisa, hanya bisa meratapi nasib. Saya tidak bisa bantu apa-apa, hanya bisa bantu secara spiritual… Inilah hasil dari kekerasan di kapal."
 
Tak lama, Supriyanto pun tewas di kapal.
 
Meski demikian, jaksa penuntut Taiwan berkata ke BBC bahwa Supriyanto meninggal akibat infeksi lutut dan tidak ada yang mencurigakan dalam kasus ini.
 
Memang industri kapal ikan Taiwan sedang mendapat sorotan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang belakangan terjadi terhadap para tenaga kerjanya.
 
Video lain menggambarkan lima orang yang ditembaki awak kapal Vietnam. Namun Kapten kapal terdengar berbicara Bahasa Mandarin. Dan ada kapal lain yang terlihat di tempatkejadianmenggunakanbenderaTaiwan.'Ingin kumpul'
Itu merupakan pelayaran kedua Supriyanto di kapal ikan Taiwan.
 
Pelayaran pertama berlangsung selama setahun, namun tidak pernah ada keluhan dari Supriyanto. Berselang tiga bulan, dia pun kembali berlayar.
 
Sebelumnya, Supriyanto bekerja sebagai kernet bus. Dia mendaftar menjadi awak kapal lewat sebuah agen di kotanya.
 
Kakaknya, Rusmiati, berkata Supriyanto ingin mengubah nasib dengan bekerja di kapal asing.
 
"Pengen kembali lagi sama istrinya. Pengen kumpul gitu katanya sebelum berangkat," kata Rusmiati.
 
Supriyanto meninggalkan tiga anak yang masih kecil-kecil: Moh Dimas Aman Hakim (12 tahun); Moh Subur Makmun (10 tahun); Linda Cintia Praba (7 tahun).
 
Dua putranya sekarang tinggal bersama Rusmiati. Sedang putri bungsunya tinggal bersama kakak mantan istrinya di Indramayu.
 
Rusmiati sendiri memiliki tiga anak. Dia hanya membantu suaminya yang bekerja menjual bubur ayam.
 
Ia berkisah tentang anak-anak Supriyanto.
 
"Yang sering nangis itu yang besar. Kalau inget bapaknya pasti nangis. Kalau yang kecil masih belum tahu."
 
Dimas memang berkata masih selalu rindu dengan bapaknya, rindu ditegur jika berbuat kesalahan. Ketika ditanyakan cita-citanya, dia tidak mau menjadi nelayan karena menurutnya berbahaya.
 
Tuntutan keluarga
Selama berlayar Supriyanto tidak pernah menghubungi keluarga.
 
Pertama kali keluarganya mendengar kabar dari Supriyanto adalah ketika petugas dari agen yang menempatkannya memberitahukan kematian Supriyanto pada 25 Agustus 2015. Dua hari kemudian jasadnya tiba.
 
Rusmiati yang juga menjadi ahli waris Supriyanto telah mendapat santunan sebesar Rp 4 juta dari agen, asuransi jiwa sebesar Rp 41 juta dan gaji enam bulan Supriyanto sebesar Rp 19 juta.
 
Gaji awak kapal berkisar $250 (Rp 3 juta) per bulan, biasanya ditahan selama setahun, kemudian dibayarkan setelah masa pelayaran berakhir setelah dikurangi biaya agen.
 
Namun sebetulnya, berdasarkan asuransi pekerja Taiwan, asuransi yang diterima keluarganya seharusnya lebih dari tiga kali lipat yang mereka terima.
 
Betapa pun bukan kompensasi benar yang diinginkan keluarga Supriyanto.
 
Setiawan, adik sepupu Supriyanto, berkata mereka menuntut pelaku penganiayaan diadili.
 
"Kakak kami kan mungkin meninggalnya secara tidak wajar. Kami ini orang yang tidak mampu, tidak mengerti prosedur hukum. Saya mau yah orang namanya bertindak kesalahan yah ditindak hukum seadil-adilnya", kata Setiawan.
 
Perbudakan manusia
Menurut Kepala Federasi Nelayan Indonesia, John Albert, kasus seperti Supriyanto kerap terjadi, namun baru kali ini ditermukan bukti.
 
"Telah terjadi perbudakan manusia. Banyak nelayan-nelayan yang dibuang ke laut oleh kapten. Untung Supriyanto ketahuan. Saya banyak dapat informasi bahwa mayat ini dibuang ke laut tapi tidak ada bukti", kata John Albert.
 
Namun, beberapa agen penyalur yang didatangi tim BBC Indonesia di Pemalang, Jawa Tengah, selalu penuh dengan calon pekerja.
 
Mereka lebih baik menempuh resiko di negeri asing ketimbang tidak melakukan apa-apa di kampung halaman. (dtc/*).
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified