- Home
- Kilas Global
- Kritisnya Kebijakan Perdagangan Ikan Napoleon di Laut Natuna
Sabtu, 18 Mei 2019 05:45:00
Kritisnya Kebijakan Perdagangan Ikan Napoleon di Laut Natuna
KEPRI, NATUNA, - Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Data Badan Pusat statistik (2017) mencatat bahwa Indonesia memiliki 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 104.000 km, luas laut hampir dua kali luas daratan.Selain itu, wilayah laut Indonesia menyimpan beragam keanekaragaman hayatis ehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas.
Terdapat satu pulau di Kepulauan Riau, yaitu pulau Natuna yang sangat menarik untuk ditelaah karena potensi sumberdaya laut nya yaitu i kan Napoleon.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkan bahwa ikan Napoleon merupakan salah satu ikan yang masuk ke dalamThe IUCN Red List of Threat ened Species Kategori Endagerd (EN).
Selain dengan hal tersebut CITES telah menetapkan status Appendix II terhadap ikan Napoleon, sertaKementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 37 Tahun 2013 menetapkan status perlindungan ikan Napoleon (Cheilinus undulates) dan perdagangannya dibatasi oleh kuota tertentu.
Namun demikian, ikan inilah yang hingga sekarang masih dicari oleh sebagian masyarakat di sekitar pulau Natuna untuk dijual ke negara-negara asing melalui para pengusaha yang sering berlabuh di perairan tersebut.
Jika aktifitas penangkapan terus dilakukan secara berlebihan (overfishing) akan mengalami penurunan populasi ikan Napoleon. Ikan Napoleon yang diperdagangkan dalam aktifitas perdagangan tersebut. Hal ini jelas merugikan negara dan nelayan itu sendiri.
Negara dirugikan karena cadangan sumber daya ikan tereksploitasi dan secara khusus nelayan dirugikan karena harga ikan hasil tangkapan nelayan ternyata ditentukan dan dihargai rendah oleh negara asing.
Nelayan mengambil pilihan tersebut karena adanya kemudahan yang ditawarkan oleh nelayan asing daripada harus menjual ke pasar tradisional yang jarak tempuhnya jauh dengan biaya yang lebih mahal.
Inilah salah satu fakta di lapangan seharusnya menjadi focus dalampenentuan kebijakan perikanan di Indonesia. (*).
Oleh : Tewi Resiana
Universitas: Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang