- Home
- Kilas Global
- Kisah Gempa Bumi di Masa Rasulullah dan Umar, "Wahai bumi, apakah aku berbuat tidak adil?"
Sabtu, 03 Agustus 2019 06:36:00
Kisah Gempa Bumi di Masa Rasulullah dan Umar, "Wahai bumi, apakah aku berbuat tidak adil?"
JAZIRAH, - Gempa bumi termasuk bencana alam yang tidak bisa dicegah. Bahkan menurut BMKG, gempa bumi tak bisa diprediksi.
Lalu mengapa Rasulullah dan Umar bisa "menghentikan" gempa yang pernah terjadi di Madinah? Tentu semuanya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Karena tak bisa dicegah oleh teknologi secanggih apa pun, yang Kuasa mencegah dan menghentikannya hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu menunjukkan pola yang sama untuk "menghentikan" gempa agar tidak berlanjut ke level yang lebih parah.
Bagaimana caranya?
Suatu ketika, Rasulullah bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman naik ke bukit Uhud. Tiba-tiba bukit itu berguncang. Maka beliau menghentakkan kakinya ke Uhud dan bersabda:
"Tenanglah wahai Uhud, tidak ada di atasmu kecuali seorang Nabi, Ash Shiddiq dan asy Syahid," (HR. Bukhari)
Di masa kekhalifahan Umar, tiba-tiba Madinah berguncang. Umar kemudian mengetukkan tongkatnya ke bumi dan mengatakan: "Wahai bumi, apakah aku berbuat tidak adil?"
Lalu beliau melanjutkan dengan lantang, "Wahai penduduk Madinah, apakah kalian berbuat dosa? Tinggalkan perbuatan itu atau aku yang akan meninggalkan kalian."
Rasulullah dan Umar mengerti bahwa bumi pun bisa diajak komunikasi, dengan izin Allah. Dan bumi itu tunduk pada ketentuan Allah. Akan memberikan keberkahan jika pemimpin dan penduduknya bertaqwa.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya," (Qs. Al-A'raf: 96)
Maka untuk "menghentikan" dan "mencegah" gempa bumi dan berbagai bencana alam karena peringatan atau hukuman Allah, pemimpin dan penduduknya diajak untuk meningkatkan ketaqwaan. Sebagaimana seruan Umar yang diabadikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari tersebut. (*).