- Home
- Opini-Tokoh
- "Kita Harus Segera Bersepaham Bahwa Indonesia Bangkrut?!"
Sabtu, 01 Agustus 2015 14:44:00
"Kita Harus Segera Bersepaham Bahwa Indonesia Bangkrut?!"

Oleh : Setiawan, S.Si
Pasca reformasi adalah era bagi tumbuh suburnya kebebasan pada segala aspek. Era ini memberikan ruang yang tak terbatas terhadap kebebasan dalam segala hal, terlebih lagi kebebasan dalam meyampaikan pendapat dan berserikat.
Era ini juga dipahami sebagai sebuah era dimana kemerdekaan untuk berekspresi. Dan entah mengapa pada masa itu juga seluruh rakyat Indonesia merasa begitu yakin bahwa era ini seolah olah menjadi tumpuan harapan kemakmuran dan kesejahteraan sudah diambang pintu keberhasilan, sehingga semua elemen masyarakat mengalami euphoria yang luar biasa.
Hal ini wajar saja terjadi karena pasca lengsernya Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun rakyat Indonesia seolah olah begitu yakinnya menganggap bahwa Soeharto telah gagal membawa Bangsa ini kepada cita-cita founding father bangsa. Semua rakyat sepakat untuk mencaci dan menghakimi Soeharto sebagai sumber dari segala sumber kegagalan pencapaian Indonesia yang adil makmur loh jinawi.
Semangat baru itupun sudah kita jalani bersama, tujuh belas tahun telah berlalu sudah kita rasakan sebuah era yang pernah kita anggap sebagai sebuah harapan menatap masa depan bangsa kearah yang lebih baik. Kita pun telah melewati dan merasakan pahit dan manisnya. Pro kontra sudah mulai bermunculan terhadap indikator apa yang bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan era ini dalam membawa Indonesia lebih.
Banyak yang sepakat bahwa Indonesia semakin dekat dengan cita cita fouding father walaupun bisa dikatakan indikator keberhasilan masih sangat absurd, pun juga tidak sedikit yang mengatakan bahwa era ini tidak lebih baik dari era orde baru. Fakta ini menunjukkan sudah mulai munculnya perbedaan pandangan terhadap indikator keberhasilan era yang dimaksud setelah melewati tujuh belas tahun menunggu asa dan harapan yang sama-sama dinantikan itu.
Perbedaan pandangan terhadap kondisi kekinian itu muncul tidak hanya dikalangan para elit politik dan mahasiswa yang menjadi roda penggerak lahirnya reformasi, namun ternyata rakyat juga sudah mulai pandai dalam menimbang nimbang indikator mana yang menurut mereka sesuai untuk digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan diantara dua era terakhir yang telah dijalani. Rakyat ternyata mulai kehilangan harapan dan kepercayaan untuk membawa mereka mendekat kepada cita cita yang diharapkan.
Mungkin ada benarnya jika apa yang dirasakan rakyat selama tujuh belas tahun berlalu menjalani bahtera era reformasi ini belum dirasakan sebagai sebuah masa yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Rakyat lah sesungguhnya yang menjadi sisi terdepan untuk paling pertama bisa merasakan perbedaan diantara kedua era itu? Mungkin kita telah sepakat untuk mengatakan bahwa hari ini jumlah lahan pertanian di negeri ini semakin berkurang secara drastis, karena lebih memilih mengalihfungsikan lahan pertaniannya.
Dan memilih untuk mengadu nasib pergi ke kota, karena Negara tidak pernah lagi dirasa hadir untuk membela nasib mereka sebagai petani, Negara diisi oleh orang yang terlalu latah mencontek arah pembangunan Negara Negara industri seperti di barat, atau diisi orang orang yang kurang kompeten? Bagaimana bisa negeri tersubur di dunia ini tidak memiliki kemerdekaan pangan?.
Kita tidak akan pernah lupa kita pernah berswasembada pangan, dan tragis sekali kondisinya ternyata hari ini menggantungkan hajat hidup rakyatnya dari bangsa lain, dampaknya adalah sembilan bahan pokok makanan (sembako) yang Negara wajib menyediakan ketersediaannya semakin tak berpihak kepada rakyat dengan harga yang begitu tinggi, dengan begitu kita tidak bisa membantah bahwa Negara telah gagal mewujudkan harapan rakyat yang selama ini telah mereka tunggu dan nantikan.
Kita terlalu larut dalam euphoria dengan sebuah era baru yang kita anggap mampu menyelesaikan segala macam perbaikan disegala lini bisa terwujud dengan sendirinya. Negara ini masuk dalam era penjajahan baru jika kita tidak bersepakat untuk mengatakan bahwa antara kondisi hari ini dan cita cita bangsa Indonesia yang sejahtera adil dan makmur justru semakin jauh panggang dari api. Fakta ini harus sama sama disepakati bahwa Negara ini terancam bangkrut.
Kondisi hari ini menunjukkan bahwa kita masih jauh dari kata sepakat terhadap kesimpulan bahwa Negara ini hampir bangkrut selama menjalani masa bulan madu yang begitu panjang diera reformasi selama tujuh belas tahun. Kenapa ‘bulan madu’? ya, karena selama tujuh belas tahun belakangan ternyata kita tidaklah punya konsepsi skala prioritas pembangunan yang jelas.
Selama tujuh belas tahun pula para elit yang diberikan mandat untuk menjalankan reformasi di negeri ini seperti kehilangan ingatan dan kesadarannya, bak harimau yang terbiasa terkungkung di dalam kandang selama masa orde baru dan tiba tiba dilepas di padang rumput yang penuh dengan kijang dan rusa diera reformasi, yang terjadi adalah era ini dijadikan kesempatan untuk makan sepuas dan sekenyang kenyangnya, begitulah analogi yang mungkin tepat terhadap fakta dan kondisi terkini yang kita rasakan bersama.
Bagaimana tidak, era ini justru melahirkan keserakahan yang tak terkendali. Era ini justru melahirkan sumber masalah baru, terjadinya perampokan besar besar an. Eksekutif dan Legislatif tidak seiring sejalan, Yudikatif sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat. Tak sampai hanya disitu saja, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pun seolah begitu mudahnya diutak atik oleh kelompok yang memiliki akses kekuasaan untuk dijarah sebanyak mungkin.
Sumber daya alam migas maupun non migas tidak kalah seksinya sebagai incaran untuk dieksplorasi sebisa mungkin seluruhnya oleh oknum oknum yang bersergam baik dari eksekutif, legislative maupun yudikatif, semuanya seolah begitu menjadi kesempatan yang tak akan pernah datang dua kali, semua menjarah, semua terkesima dengan karunia sumber daya alam yang begitu melimpah, seolah hanya mereka yang berhak menikmati tanpa harus memikirkan generasi mendatang.
Tidak cukup sampai disini saja penjarahan ini berhenti, yang terjadi kemudian lahan lahan konsesi sumber daya alam yang sudah sah secara hukum dimiliki oleh oknum oknum tersebut tidak serta merta dieksplorasi oleh pengusaha pengusaha pribumi, izin izin konsesi justru dijual kepada asing, ironis dan sangat menyedihkan. Era yang menjadi harapan bagi rakyat untuk hidup lebih baik tenyata dihianati oleh para pemegang mandat rakyat. Amanat reformasi yang diharapkan kemudian muncul hanya sebagai harapan kosong.
Amanat reformasi ternyata hanya sakral digunakan untuk menjatuhkan orde baru, hari ini kesakralan itu tidak lebih hanya sekedar bumbu bumbu pemanis janji janji politik para penghianat mandat rakyat.
Dengan kondisi penjarahan kekayaan yang dikarunia oleh Tuhan secara massif dan terus menurus selama tujuh belas tahun era ini kita jalani, mestinya kita sebagai warga Negara kelas satu yang tidak pernah diragukan rasa nasionalisme dan integritasnya sepakat untuk satu jawaban menjawab pertanyaan pertanyaan yang sudah seharusnya kita jawab dengan segera berikut ini, sudahkah kita bersepaham terhadap kondisi yang terjadi pada hari ini adalah justru sesungguhnya jauh dari cita cita reformasi?.
Sudahkah kita bersepaham untuk segera sadar dan memperbaiki keadaan yang akan mengundang bencana ini? Kemanakah perginya para agent of change yang kita banggakan para mahasiswa/mahasiswi yang dengan gagah berani bermodalkan idealisme sampai mati, karena mestinya harus paham terhadap konsekuensi gerakan perubahan yang anda lahirkan ini menuntut untuk anda kawal dan kritisi, bukan hanya sekedar berani melahirkan, karena sesungguhnya harapan besar rakyat berada dipunggung kalian? Wallahua’lambissawab. (*).
Penulis adalah Sekretaris DPD KNPI Indragiri Hulu
Share
Komentar