- Home
- Opini-Tokoh
- Bank Harus Taati Putusan Pengadilan
Kamis, 19 November 2015 08:03:00
Bank Harus Taati Putusan Pengadilan

oleh : titin triana
Awal November 2014 sidang perkaran yang dimohonkan seorang pedagang emas di Pasar Mayestik Jakarta Selatan, Suhaemi Zakir mengajukan pengujian terhadap Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan beserta penjelasannya. Pemohon menguggat Pasar Mayetik yang telah membongkar tokohnya pada malam hari yang menyebabkan emas sebanyak 10 kg yang berada di toko hilang.
Pasar Mayestik pun diperintahkan membayar ganti rugi atas hilangnya emas tersebut. Proses pembayaran tsb diperintahkan melalui rekening milik Paar Jaya yang ada di Bank DKI. Pada 7 Maret 2014 PN Jakarta Pusa akhirnya melakaksanakan eksekusi pencairan tertanggal 3 Maret 2014. Namun eksekui pencairan pembayaran 10 kg emas tsb tidak berhasil dilakukan.
Sebab Bank DKI beralasan pihaknya dapat mencairkan dana tsb sepanjang pihak juri sta pengadilan membawa surat perintah pemindahbukaan atau cek/bilyet giro dari PD Pasar Jaya selaku pemilik rekening. Bank DKI memastikan pencairan dana tsb belum sesuai ketentuan hokum perbankan.
Pihak Bank DKI berasalasan diperintahkan oleh UU Perbankan, tepatnya oleh Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan. Paal a quo sendiri menyatakan bahwa pegawai bank yang tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaataan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank akan diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar rupiah dan palling banyak 100 miliar rupiah.
Pada penjelasan pasal a quo dinyatakan yang dimasud pegawau bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-jal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan. Dengan kata lain pihak Bank DKI takut melakukan pencairan dana milik Pemohon karena pasal quo memerintakan pegawai bank untuk taat terhadap ketentuan dalam UU perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila tidak para pegawai Bank DKI takut dikenai ancaman pidadan yang disebutkan dalam pasal a quo.
Dalam petitum permohonannya Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal a quo dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Syarat yang diminta Pemohon yakni pegawai bank dalam pasal a quo harus dimaknai sebagai pihak yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.
Pemohon juga meminta makna ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank dalam pasal a quo dimaknai sebagai peraturan perundang-undangan termasuk KUHP. Pada sidang kedua Rinaldi kuasa hokum Pemohon menyampaikan argument tambahan terkait Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang didalilkan tidak memiliki kejelasan makna sehingga tidak memberikan kepastian hokum, jaminan hukum dan perlindungan hokum yang adil. Pemohon yakin bahwa ia berpotensi mengalami kerugian konstitusisonal akibat tidak dapat dituntutnya Bank DKI secara pidana maupun dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Padahal Bank DKI menurut Pemohon dianggap tidak taat atau tidak patuh terhadap perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemohon berpotensi tidak dapat menikmati hasil eksekusi tsb. Dengan demikian Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan.
Maka Pemohon berhak mengajukan permohonan ini dan Pemohon mempunyai kedudukan hokum atau legal standing dalam perkara ini agar Pemohon mendapatkan hak konsntitusional kembali yaitu hak atas kepastian hokum yang adil sesuai dengan UUD 1945.
Sesuai hokum acara Pemerintah kemudian menyampaikan jawabannya terhadap permohonan Pemohon. Diwakili Dirjen Peraturan Perundang-undangan Wicipto Setiadi, Pemerintah menyatakan bahwa tuntutan pemohon bukanlah kewenangan MK.
Keinginan pemohon untuk memperluas isi dan makna ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Perbankan dan Pasal 231 ayat (3) KUHP menurut Pemerintah adalah lebih merupakan saran kepada pembuat undang-undang di mana hal tsb tidak dapat diuji konstitusionalitasnya di MK karena hal demikian menjadi lingkup kompetensi legislative. Pemerintah menilai Pemohon telah salah alamat.
Menurut Pemerintah persoalan yang dialami Pemohon merupakan persoalan perdata sebab permohonan Pemohon tsb dilatarbelakangi gagalnya sita eksekusi di Bank DKI. Pemerintah juga menganggap Pemohon sebenarnya tidak memiliki legal standing atau kedudukan hokum untuk mengajukan permohonan ini.
Pemerintah menganggap tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat khusus dan actual maupun potensi yang dialami Pemohon akibat berlakunya ketentuan pada Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan. Pemerintah dalam jawaban resminya juga menyatakn pasal a quo semata-mata bertujuan untuk melindungi nasabah dan masyarakat. Menurut Pemerintah sanksi pidana dalam pasal a quo merupakan jaminan kepastian hokum dan perlindungan bagi para nasabah perbankan.
Selain sanksi pidana pihak-pihak yang melakukan tindak pidana juga dikenakan sanksi tambahan berupa saki administrasi sesuai Pasal 52 UU Perbankan. Sanksi administrative umumnya diterapkan pada pegawai bank dan atau pada bank yang melanggar ketentuan di bidang perbankan yang sifatnya teguran/pembinaan yang bobotnya ringan dan tidak terkait dengan kerugian bank.
Akhirnya Mahkamah menyatakan mengabulkan seluruh permohonan Pemohon dimana Mahkamah menyatakan bank harus taat pada putusan pengadilan. Mahkamah berpendapat ketentuan yang menyatakan pengurus bank hanya tunduk pada peraturan tertentu yang berlaku hanya pada sector perbankan merupakan bentuk pengabaiian terhadap suatu putusan pengadilan.
Mahkamah mempertimbangkan banyak hal terlebih dahulu salah satu yang menjadi pertimbangan Mahkamah yakni sifat putusan yang telah memiliki kekuataan hokum mengikat sehingga harus dilaksanakan. Putusan yang demikian termasuk putusan pengadilan yang memiliki sifat kekuataan mengikat, kekuataan bukti dan kekuataan untuk dilaksanakan. Suatu putusan yang mempunyai kekuataan untuk dilaksanakan merupakan tindak lanjut dari putusan yang berasal dari proses hokum melalui peradilan penyelesaian sengketa yang mengikat.
Putusan yang demikian pun telah dianggap menjadi hokum bagi para pihak. Putusan yang mempunyai kekuataan hukum tetap harus dilaksanakan serta tidak dapat diubah oleh siapapun. Terlebih dengan menimbang perinsip adagium that judgment was that of God maka putuan pengadilan juga menempatkan putusan hakim sbg kebenaran terakhir dalam upaya penegakan hokum kebenaraan dan keadilaan.
Hal lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah yakni bunyi ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. Pasal tsb menegaskan bank harus tunduk kepada kepentingan peradilan. Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan juga menyatakan “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan BI dapat memberikan izizn kepada Polisi, Jaksa, Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank”.
Mahkamah menyatakan bahwa suatu putusan termasuk putusan pengadilan akan tidak ada artinya bila dilaksanakan. Bila tidak dilaksanakan maka telah terjadi pelanggaraan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara RI. Mahkamah berpendapat bahwa suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan dan merupakan pelanggaran terhadap hokum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara RI yang merupakan Negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dan pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung harus menghormati putusan pengadilan, serta pengabaian pengurus bank terhadap putusan pengadilan karena berlindung di bawah ketentuan frasa ‘bagi bank’.
Menurut Mahkamah bertentang dengan Pasal 28D UUD 1945. Dalam amar putusannya Mahkamah menyatakan mengabulkan permohoan Pemohon untuk seluruhnya, Mahkamah juga menyatakan frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuataan hokum mengikat.
‘Konklusi. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hokum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a guo, Pemohon memiliki kedudukan hokum untuk mengajukan permohonan a quo, pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hokum. “Amar Putuan Mengadili, menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Frasa ‘bagi bank’ dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bertentangan dengan UUD 1945. Frasa ‘bang bank’ idalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor 10 Tahun 1998 tentnag Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak mempunyai kekuataan hokum mengikat. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara RI.
Dengan demikian Bank DKI haru melaksanakan perintah PN Jakarta Pusat untuk melakukan pembayaran atas ganti rugi hilangnya emas milik Pemohon dengan menggunakan rekening milik Pasar Jaya selaku penanggung jawab pengelolaan Pasar Mayestik. Bank DKI maupun bank lainnya tidak dapat lagi beralaan tidak dapat melaksanakan perintah pengadilan karena diamanatkan oleh UU Perbankan. (*).
Sumber : Yusti Nurul Agustin, Konstitusi nomor 101, Juli 2015
Share
Berita Terkait
Komentar