- Home
- Opini-Tokoh
- Guru Kontrak Tuntut Sertifikasi
Rabu, 18 November 2015 06:56:00
Guru Kontrak Tuntut Sertifikasi

oleh : titin triana.
RIAUONE.COM, ROC, - Pengaturan hak memperoleh sertifikai tenaga pendidik yang diatur dalam UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diuji ke MK yang terdaftar dengan nomor 10/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Sanusi Afandi, Saji dkk yang merupakan guru non PNS.
Menurut kuasa hokum Pemohon Fathul Hadie Utsman, ketentuan Pasal 1 butir 11, Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Guru dan Dosen telah membedakan status guru sebagai guru tetap, guru negeri dan guru swasta.
Menurutnya pembedaan ini dapat diketahui karena Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru menyatakan bahwa yang berhak memperoleh sertifikasi guru hanya guru yang berstatus negeri maupun swasta sedangkan guru tidak tetap atau guru kontrak tidak mempunyai hak untuk memperoleh sertifikasi.
Menggabung pemeriksaan perkara, Mahkamah juga menguji perkara nomor 11/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Sumilatun, Hadi Suwoto dkk yang merupakan guru kontrak. Para pemohon menguji ketentuan Pasal 14 dan Pasal 49 ayat (2) UU Sisidiknas yang menyatakan.
“Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dan Belanja Negara (APBN)” diwakili kuasa hukumnya, Fathul Hadie Utsman, Pemohon mengganggap terdapat kevakuman hokum terhadap status guru kontrak, di mana sebelumnya MK pernah menyatakan bahwa guru kontrak sudah tidak diperbolehkan, sehingga gaji para Pemohon tidak dialokasikan dari APBN. “Di sini ada kevakuman hukum dimana guru kontrak ini sudah tidak diangkat, tidak digaji tapi melaksanakan tugas. Kami mohon pasal ini juga dimaknai bahwa konstitusional secara bersyarat apabila dimaknai termasuk gaji guru kontrak atau guru bantu.
Dalam sidang lanjutan, Presiden diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ainun Na’im menyampaikan keterangannya. Menurutnya proses sertifikasi merupakan sertifikat kompetensi sesuai standar yang berlaku. Sertifikat merupakan bukti pengakuan atas kompetensi guru yang memenuhi standar untuk melakukan pekerjaan profesi guru.
Ainun menyatakan bahwa isilah guru tidak tetap tidak terdapat dalam UU Guru dan Dosen baik secara definisi maupun subbstansi. Kemudian terkait dengan anggapan adanya diskriminasi dalam keikutsertaan program sertifikasi antara guru tetap dengan guru tidak tetap adalah tidak beralasan.
Menurutnya kondisi dan keadaan guru tetap dan guru tidak tetap jelas berbeda, sehingga perlakukan yang berbeda terhadap keadaan yang berbeda bukanlah diskriminasi. Hal ini didasarkan pada suatu teori yang menyatakan bahwa perlakuan yang berbeda dapat dilakukan pada suatu ketentuan yang berbeda.
Ainun juga menyatakan bahwa permintaan Pemohon agar Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas dimaknai berlaku konstitusional sepanjang dimaknai bahwa gaji guru kontrak/guru bantu tetap dialokasikan dalam APBN dan guru kontrak/guru bantu segera ditetapkan sebagai CPNS adalah tidak beralasan hokum.
Ainun menyatakan bahwa pengaturan gaji PNS dalam UU APBN bukan sebagai bentuk diskriminasi hokum, tetapi sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan pelayanan public. Sehingga menurutnya permohonan Pemohon tidak terkait dengan norma, namun lebih berkaitan dengan tuntutan “Permohonan Pemohon tidak berkaitan dengan norma dalam Pasal 49 ayat (2) tetapi lebih berkaitan dengan tuntutan agar guru kontrak/guru bantu dijadikan CPNS.
DPR diwakili Didik Mukrianto menyatakan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa hanya guru berstatus PNS saja yang berhal mengikuti sertifikasi pendidik adalah bersifat subyektif. Hal ini dikarenakan bahwa UU Guru dan Dosen tidak mengklasifikasikan guru menjadi guru tetap dan guru tidak tetap sehingga pengertian guru bermakna secara umum.
Didik juga menepis dalil Pemohon yang menyatakan bahwa guru yang memperoleh gaji, tunjangan profesi dan fungsional hanyalah guru yang berstatus sebagai guru tetap. Menurut Didik hal ini tidaklah tepat, karena berdasar ketentuan UU Guru dan Dosen maka setiap guru yang melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak menerima penghasilan, yakni gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional dan tunjangan khusus.
Dalam sidang ke-4, Pemohon menghadirkan saksi, Nurbaiti selaku perwakilan dari forum honorer guru kategori dua (K2) Indonesia. Menurutnya dalam kenyataannya banyak guru honorer yang menerima gaji di bawah UMP. Di Banjarnegara ada seorang guru honorer yang menerima gaji 1 bulan sebesar 100 ribu. Menurutnya meskipun tenaga honorer mendapatkan beban kerja yang sama dengan PNS, namun masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dan layak. Saksi lain Joko Sungkowo juga menyatakan bahwa hanya mendapakan penghailan satu juta dua ratus dengan beban kerja yang lebih.
Dalam sidang berikutnya Presiden menghadirkan dua orang ahli yakni Udin. S Winataputra dan Muchlas Samani. Menurut Udin sesuai dengan konsep filosofis dan akademik guru professional, peraturan perundang-undangan telah dirancang secara holistic sistematis untuk mengatur guru dan dosen. Setiap orang yang menjadi guru harus terdidik, terlatih dan bertugas dengan baik.
Jika seseorang guru telah memenuhi persyaratan itu maka guru yang bersangkutan memperoleh penghargaan yang baik, yakni mendapatkan tunjangan sertifikasi. Udin juga menyatakan bahwa guru yang telah memenuhi persyaratan harus mendapatkan perindungan dengan baik.
Perlindungan terhadap guru ini harus dipenuhi oleh pemerintah, pemda dan masyarakat. Menurut Udin guru professional akan mau dan mampu bekerja untuk mendidik anak bangsa, menurutnya keseluruhan penangangan terhadap guru memerlukan tata kelola yang baik karena sangat menentukan terpenuhinya penghargaan dan perlindunan bagi guru. Udin berkesimpulan bahwa yang menjadi permasalahan Pemohon bukanlah permasalahan norma melainkan lebih kepada tata kelola. (*).
sumber : TRIYA IR (Konstitui No.99-Mei 2015)
Share
Berita Terkait
Komentar