• Home
  • Opini-Tokoh
  • Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri tidak diakui sebagai identitas Pelaut
Kamis, 27 Agustus 2015 08:51:00

opini

Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri tidak diakui sebagai identitas Pelaut

foto : titin
 
oleh : Titin Triana.
 
RIAUONE.COM, ROC, - Sebanyak 29 ABK mengajukan gugatan terhadap ketentuan yang mewajibkan pelaut memiliki Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (UU PPTKILN).
 
Dalam permohonannya maupun lewat keterangan yang disampaikan para ahli pemohon, ke 29 ABK tsb menganggap KTKLN tidak bisa disamakan dengan identitas pelaut yang seharusnya dimiliki ABK KTKLN juga dianggap tidak dapat memberikan jaminan maupun perlidnugan apa pun bagi ABK yang tersangkut masalah imigrasi di Negara lain.
     
Pada sidang perdana perkara No. 6/PUU-XIII/2015 para pemohon yang bekerja di kapal berbendera berbagai Negara diwakili Iskandar Zulkarnain selaku kuasa hokum menyampaikan ketentuan pasal 26 ayat 2 huruf f dan pasal 28 berserta penjelaan UU UPPTKILN telah merugikan hak kontituional para pemohon atas jaminan perlindungan, kepastian hokum dan perlakuan yang sama di hadapan hokum.
 
Ketentuan pasal 26 ayat (2) huruf UU PPTKILN mengatur bahwa penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri harus memenuhi persyratan wajib memiliki KTKLN. Pasal 28 UU a quo menyatakan penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Dalam penjelasan Pasal 28 UU a quo dinyatakan bahwa pekerjaan yang dimaksud antara lain adalah pelaut.
   
Dengan adanya ketentuan tsb pemohon mengatkan menteri yang dimaksud dalam seluruh pasal pada UU PPTKILN adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yaitu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Padahal selama ini KI yang bekerja di sector Perikanan seperti ABK yang lapangan kerjanya berada di atas dan didalam kapal laut di tengah lautan samudera yang luas terikat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentan Angkutan di Perikanan dengan Kementeian Perhubungan sebagai penanggung jawabnya.
 
Adanya dua kementerian atau lebih yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja pada sector Perikanan sebagai pelaut atau ABK tsb menurut pemohon telah menyebabkan tiadanya jaminan, perlindungan dan kepastian hokum. Sebab ketika adanya perselisihan yang timbul antara ABK dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasa (PPTKIS), kedua kementerian tsb saling lempar tanggung jawab. Hal serupa juga terjadi ketika ABK mengurus permohonan memiliki KTKLN.
    
Haryanto selaku kuasa hokum Para pemohon dan Tim Pembela Pekerja Indonesia mengatakan saling lempar tanggung jawab tb menyebabkan para pemohon tidak mengetahui pihak yang berkewajiban memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hokum. Hal ini juga berdampak ketika terjadi perseliishan yang timbul dari akibat adanya hubungan kerja ABK dengan perusahaan PPTKIS.
 
Pihak pemerintah yang saling lempar tanggung jawab antara Kemanker dan Kemnhub, sehingga para pemohon tidak mengetahui siapa yang seharusnya berkewajiban memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hokum. Selain itu dengan adanya dua Kementerian atau lebih yang mengatur penempatan ABK Pemohon khawatir tidak mendapat jaminan dan kepastian hukum.
 
Menurut pemohon tidak adanya kepastian hokum yang dimaksud terjadi karena timbul permasalahan antara TKI dengan perusahaan antara TKI dengan perusahaan penyalur TKI. Kedua kementerian yakni Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja serta di ambah Kementerian Perikanan akan saling lempar tanggung jawab guna menyelesaikan konflik yang terjadi.
 
Sebaliknya dalam hal pemberian izin dan pengaturan penempatan ABK, ketiga Kementerian yang dimaksud akan saling berebut hak dan kekuasaan, karena hal ini terkait dengan penerimaan iuran perizinan ungkap Iskandar Zulkarnain selaku kuasa hokum para pemohon.
    
Selain menggugat ketentuan terkait adanya dualism penanggung jawab sekaligus pemberi perlidnungan kepada ABK di luar negeri, para Pemohon juga menggugat ketentuan wajib miliki KTKLN bagi pelaut. Menurut para pemohon KTKLN juga tidak dapat menggantikan buku pelaut yang merupakan identitas pelaut.
 
Dalil tersebut dipertegas oleh pemohon dengan menghadirkan ahli yang menyatakan KTKLN tidak diperlukan sebagai identitas diri TKI yang bekerja   di luar negeri. Fatkhul Muin selaku dosen di Fakultas HUkum Universitas Ageng Tirtayasa menyampaikan bahwa sebagai Negara hokum, Indonesia harus memiliki perlindungan dan jaminan hokum terhadap setiap warga negaranya.
 
Menurut Muin kewajiban memiliki KTKLN bagi pelaut justru jauh dari substansi perlidungan dan jaminan hokum. Sebab kebijakan wajib memiliki KTKLN tidak berorientasi kepada perlidungan terhadap setiap warga Negara dalam membangun system yang terintegrasi.
 
Kebijakan pemerintah tsb menurut Muin jutru menunjukkan lemahnya system administrasi kependudukan di Indonesia. Kedua hal tsb (KTP elektronik dan paspor) seharusnya menjadi instrumun pokok dalam setiap perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia, sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan instrument-instrumen lainnya (seprti KTKLN) yang dapat mengakibatkan ketidak jelasan terhadap perlindungan WNI, baik yang bekerja di dalam negeri ataupun di luar negeri.
     
Hal serupa juga disampaikan kapten pelaut Rudy Agus Kumesan dan Samuel Bonaparte Hutapea pada sidang kelima perkara a quo. Keduanya menegaskan bahwa KTKLN tidak dapat dijadikan buku pelaut atau Seafarers identity Document (SID) sebagai identitas pelaut yang berlaku secara internasional.
 
Rudy Agus Kumesan menyampaikan Indonesia merupakan salah satu Negara yang tergabung dalam Internasional Maritime Oranization. Dengan bergabungnya Indonesia dengan IMO Indonesia harus melakukan kesepakatan bersama termasuk soal buku pelaut. Indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi tsb melalui Permen Perhubungan Nomor 70 tahun 2013 tentan Pendidikan dan pelatihan. Sertifikasi serta Dinas Jaga Laut.
 
Pemerintah juga telah mengatur dan menetapkan persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh TKI yang ingin bekerja di atas kapal sebagai pelaut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi TKI yang ingin menjadi pelaut, yaitu memiliki Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN). Menurut Kumesan ketentuan tsb justru bertolak belakang dengan fakta dalam dunia kelautan.
 
KTKLN tidak tepat dijadikan sbg identitas pelaut atau seaman book/Seafarer Identity Document. Sebab KTKLN tidak dapat mendeteksi keberadaan pelaut yang berada di atas kapal laut yang berpindah secara dinamis dari satu Negara ke Negara lain terlebih saat perganian kru kapal saat sandar di pelabuhan Indonesia justru tidak pernah dimintai KTKLN meski kappa tsb merupakan kapal berbendera asing.
 
Samuel menjelaskan bahwa berdasarkan hokum Internasional dan hokum Indonesia, pelaut seharusnya memiliki satu dokumen yang terintegrasi. Dokumen tsb berisikan tentang nama pelaut, tempat bekerja, asal kapal, tempat turun dari kapal dsb. Kewajiban pelaut untuk memiliki satu  buku identitas juga dimaksudkan sebagai pengamanan bagi diri pelaut maupun bagi Negara yang disinggahi agar terhindar dari kemungkinan disusupi teroris.
     
Keterangan para ahli yang dihadirkan pemohon semakin diperkuat dengan kesaksian mantan ABK yang juga dihadirkan pemohon. Rai Ahmad Salim salah satu saksi pemohon mengungkapkan pengalamannya saat ditangkap pihak keimigrasian Trindad dan Tobago. Saat salami hendak pergi ke daratan untuk mencari pekerjaan lain, ia ditangkap pihak imigrasi Negara kepuauan yang terletak di laut Karabia tsb.
 
Salami pun kemudian menunjukkan KTKLN yang dimilikinya sebagai identitas diri. Namun pihak keimigrasian Trinidad dan Tobago tidak menerima KTKLN milik Salimi sbg identitas yang berlaku. Salimi mengaku tidak dapat memberikan paspornya karena ditahan oleh kapten kapal tempatnya bekerja. Namun ternyata KTKLN yang dimiliki Salmi dan diyakininya sbg identitas diri yang cukup jutru tidak berguna sama sekali.
     
Terkait permohonan pemohon, pemerintah dan DPR menyarankan dalil pemohon bukanlah persoalan kontitusionalitas norma, melainkan permasalahan tehnis penerapan norma.
 
Anggota Komisi III DPR, Junimart Girsang mewakili DPR menyampaikan sesunguhnya KTKLN yang dipermasalahkan oleh para pemohon berfungsi sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan di Negara tujuan. Selain itu KTKLN juga menjadi bukti bahwa TKI yang bersangkutan telah memenuhi prosedur untuk bekerja di luar negeri dan berfungsi sbg instrument perlindungan.
     
Reyna Usman Dirjen Bena Penta dari Kementerian Tenaga Kerja menyampaikan keterangan selaku wakil pemerintah. Salah satuu bentuk perlindungan yang dilakukan pemerintah terhadap TKI yakni dengan mewajibkan KTKLN. Agar pelaksanaan teknis operasional KTKLN lancar dan cepat. Reyna mengungkapkan bahwa penerbitan KTKLN dilimpahkan kepada BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan danPerlidnungan TKI. (*).
Sumber : Yusti Nurul Agustin (Konstitusi N0.99 – Mei 2015).
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified