- Home
- Opini-Tokoh
- Lagu Bagimu Negeri yang Mendadak Musyrik Setelah 75 Tahun
Minggu, 29 Januari 2017 23:01:00
Lagu Bagimu Negeri yang Mendadak Musyrik Setelah 75 Tahun
Net
RIAUONE.COM - Taufiq Ismail jadi berita lagi. Bukan lantaran menangis tersedu-sedu di atas panggung saat membacakan puisi atau berpidato sebagaimana biasanya. Ini kali dia marah. Dan marahnya sungguh dahsyat.
"Saya dan teman-teman menolak lagu Bagimu Negeri," katanya saat berbicara satu podium di Jakarta, dua hari lalu.
Kenapa dia menolak? "Lagu itu musyrik," ujarnya pula.
Musyrik lantaran bait akhirnya yang berbunyi: "bagimu negeri jiwa raga kami." Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata 'musyrik' sudah dicatat sebagai serapan dari Bahasa Arab. Ada dua arti. Pertama, "orang yang menyekutukan (menyerikatkan) Allah Swt. Kedua, "orang yang memuja berhala".
Bagimu Negeri bukanlah lagu yang asing bagi kita warga negara Republik Indonesia. Bagimu Negeri adalah lagu nasional dan boleh dibilang merupakan lagu nasional yang paling sering dilantunkan setelah Indonesia Raya. Kusbini menciptakannya di tahun 1942 dan selama 75 tahun baik-baik saja sampai Taufik Ismail mendadak mempersoalkannya.
Menurut Taufik, kemusyrikan lagu Bagimu Negeri terletak pada kata 'jiwa', 'raga', dan 'kami'. Menurut Taufik, jiwa dan raga tidak semestinya diberikan kepada 'negeri'. Melainkan semata- mata kepada Allah Swt, kepada Tuhan pencipta semesta dan segenap kehidupan. Dan Taufik, juga teman-temannya, menolak menjadi bagian dari 'kami'.
"Jiwa raga ini diberi karunia oleh Allah, yang Maha Pencipta, dan jiwa ini kembali kepada Allah. Tidak pada yang lain," kata Taufik pula.
Taufik Ismail bertahun-tahun menjadi penyair, dan sebagai penyair yang sudah berumur tentunya dia memahami betul mana yang metafora dan mana yang harfiah. Paparannya sedikit banyak mengedepankan gambaran bahwa dia menganggap kalimat 'bagimu negeri jiwa raga kami', adalah harfiah. Adalah kalimat yang memiliki makna sebenarnya dan karena itu jadi musyrik.
Pertanyaannya, apakah kalimat ini harfiah? Atau sebaliknya, merupakan metafora? Sebenarnya tidak kedua-duanya. Kusbini barangkali memang memaksudkannya sebagai metafora. 'Jiwa' dan 'raga' untuk 'negeri' adalah perwujudan dari rasa cinta tanah air. Akan tetapi dalam praktiknya metafora ini justru bergeser jadi harfiah. Jutaan orang yang gugur di era perang pra kemerdekaan maupun pascakemerdekaan, adalah bukti tak terbantahkan dari pengejawantahan kalimat tadi.
Apakah menurut Taufik jutaan orang yang gugur demi kemerdekaan bangsa ini merupakan orang-orang yang terjerumus ke dalam kemusyrikan?
Taufik pernah menulis dalam puisinya bahwa dia malu menjadi orang Indonesia. Apakah bisa disimpulkan bahwa dia tidak nasionalis? Apakah dia benar-benar malu menjadi orang Indonesia? Tentu saja tidak, karena puisi ini dimaksudkannya untuk menyindir berbagai silang sengkarut dan kecentangprenangan negeri ini di era kepemimpinan Soeharto.
Puisi Muak dan Bosan juga menyuarakan protes serupa. Kini negeri ini berubah jadi negeri copet, maling dan rampok/Bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu/Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan/Ketika dominasi materi menggantikan Tuhan.
Sejak menulis puisi-puisi dalam kumpulan Tirani di tahun 1965-1966, ideologi politik Taufik Ismail pada dasarnya terang belaka. Politik "kanan", nasionalisme "kanan" yang cenderung lebih dekat dengan kalangan agama dan sangat membenci komunis. Taufik Ismail adalah pembenci PKI nomor wahid di Indonesia.
Sikap ini sah belaka dan sudah lama dimaklumi pula. Tidak ada masalah. Semua orang sudah tahu siapa Taufik Ismail dan seperti apa ideologi politik yang dia mainkan di balik kerja-kerja sastra yang dilakukannya.
Sekali lagi tak ada masalah. Sampai kemudian Taufik yang sudah agak lama tidak muncul di depan publik tiba-tiba saja menggugat lagu Bagimu Negeri. Menganggapnya sebagai lagu yang menyekutukan Tuhan dan lantaran itu menyebutnya sesat.
Taufik Ismail tahun ini akan berusia 82. Lebih tua tujuh tahun dibanding lagu Bagimu Negeri. Usia yang bukan lagi muda. "Tentu saja saya tidak ingin bilang bahwa pertambahan usia yang semakin larut senja ikut mempengaruhi perubahan ideologi politik dan pola pikir dan nalarnya. Saya hanya berharap beliau sehat-sehat dan tidak terseret ke rimba-rimba menyesatkan yang makin tumbuh dan berkembang di internet.
Saya berharap beliau tidak melahirkan kekonyolan-kekonyolan yang lain. Sebab memang jadi sangat-sangat menyedihkan apabila suatu ketika kelak seorang Taufik Ismail akan menggugat teori bumi bulat dan menyesatkan orang-orang yang memercayai teori itu, lantaran bentuk bumi yang benar menurutnya adalah datar sedikit bergelombang seperti seloyang pizza." (t agus khaidir)**/tribun medan
Share
Komentar