- Home
- Opini-Tokoh
- Membangun Pilkada Berintegritas
Selasa, 03 Juli 2018 05:05:00
Membangun Pilkada Berintegritas
Perhelatan demokrasi baru saja usai dilakoni oleh actor, sutradara, para bitang politik, atau para pelaku yang selalu siap siaga berada dibalik gemerlapnya panggung politik daerah yang tensi politiknya berpariatif ada yang panas, ada yang dingin ada juga dengan iklim tropis alias adem ayem semata.
Adu siaat dilaga pilkada sudah barang tentu untuk meraup simpati rakyat guna mendulang suara sebagai legitimasi kekuasaan di tingkat daerah. Pilkada rasa pilpres juga bertebaran di berbagai daerah mengingat bahwa hasil pilkada yang baru saja berlangsung juga cerminan pilihan masyarakat untuk tahun mendatang.
Kampanye yang sejatinya merupakan momentum untuk mensosialisasikan visi-misi untuk membangun daerah yang lebih baik tercoreng karena perilaku kotor dan culas para tim suskes yang yang mengkangkangi berbagai aturan kampanye yang sudah ditata sedemikian rupa oleh Komisi Pemilihan Umum.
Isu pembagian sembako, politik uang dan politik identitas menyeruak di ruang-ruang public sehingga pada akhirnya juga akan menentukan aroma pilkada yang baru saja berlangsung, semakin tinggi angka politik uang maka semakin mencederai masa depan demokrasi kita di tanah air dan juga akan menghasilkan para pemimpin yang tidak berkualitas dan jauh dari kata amanah.
Selain kampanye yang sudah menjadi rutinitas disetiap perhelatan demokrasi di tanah air, kehadiran social media juga menjadi public spare yang akan berpengaruh kepada hasil pilkada yang sudah diselenggarakan.
Boleh saja kampanye secara konvensional sunyi pada masa tenang, tapi tidak untuk di social media. Sosial media tidak mengenali masa tenang dalam berkampanye karna masing-masing orang bebas mengutarakan apa yang ia pikirkan terhadap sesuatu termasuk juga pilihan dalam pilkada.
Sehingga penyelenggaraan pilkada pada zaman now ini harus juga memperhatikan perkembangan teknologi dan new media sebagai medium untuk bersosialisasi tentang gagasan, pikiran dan strategi untuk mensejahterakan rakyat yang dibungkus dalam bahasa “visi-misi” dari masing-masing kandidat.
Membangun Pilkada Berintegritas
Dalam upaya membangun tata ruang pilkada yang berintegritas, berkualitas dan jauh dari perilaku koruptif maka sudah barang tentu ini bukanlah perkara mudah dan tidak cukup hanya sekedar kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara dan pengawas pesta demokrasi yang terkesan sebatas “seremonial” belaka dan syarat hanya mengerjakan proyek semata. Pemangku kekuasaan seharusnya sudah berpikir bagaimana mendisain system pilkada berbiaya rendah dan menutup mati celah-celah yang memungkinkan calon melakukan maoney politic dan kecurangan dalam bentuk lainnya. Dengan demikian akan lahir para pemimpin yang berhati rakyat dan akan sensitive dengan isu-isu keumatan yang sangat konplek di berbagai daerah.
Bicara mengenai pilda berintegritas, alangkah baiknya kira merujuk kepada pendapar Reza Syawawi (2015) tentang langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam mewujudkan pilkada yang berintegritas, yaitu : Pertama, bagaimana memastikan penyelenggaraan pilkada berjalan sesuai tahapan yang telah ditetapkan berdasarkan UU.
Dengan kata lain, secara prosedural seluruh tahapan pilkada dilalui dan dipatuhi, baik oleh penyelenggara, peserta pemilu, maupun pemangku kepentingan lain. Tahapan inilah yang paling mudah dilalui sebab hanya berkaitan dengan syarat-syarat formal dan sangat prosedural dalam setiap tahapan pilkada. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada yang lalu, sesungguhnya kita cukup berpengalaman menuntaskan seluruh tahapan pilkada hingga dilantiknya kepala daerah terpilih
Kedua, membangun integritas pemilih. Inilah tahapan paling krusial dalam penyelenggaraan pilkada. Harus diakui, penyelenggaraan pemilu tidak memberikan porsi yang cukup bagi publik, khususnya pemilih, untuk memberikan pilihan politiknya berdasarkan nilai-nilai integritas.
Penyelenggara dan peserta pemilu lebih sibuk mempersiapkan hal-hal yang berbau teknis penyelenggaraan pilkada. Lalu, bagaimana dengan nasib pemilih agar pilihannya diberikan kepada calon tertentu yang memiliki integritas baik?
Selama ini, yang terjadi adalah pendangkalan pendidikan politik yang berintegritas bagi pemilih. Penyelenggara sibuk menyosialisasikan dan mengawal tiap tahapan pilkada, sementara peserta pemilu (calon kepala daerah) sibuk mengumbar janji-janji politik yang dikemas manis dalam balutan visi misi. Bagi sebagian besar pemilih, apa yang sudah dilakukan ini sangatlah tidak cukup dan tidak memadai untuk bisa memandu dan menentukan pilihan politiknya secara baik.
Kebiasaan kita dengan mengatakan ”biarkan pemilih yang menghukum partai yang korup” lebih terlihat sebagai ungkapan emosional, tetapi tidak meyakinkan. Sebab, pada kenyataannya integritas calon tidaklah menjadi acuan utama pemilih dalam menentukan pilihan politiknya.
Alasannya cukup sederhana. Selama ini, kampanye mengenai nilai-nilai integritas, termasuk soal antikorupsi, jauh dari bahasa yang dipahami masyarakat pada umumnya. Bagi sebagian publik, persoalan korupsi hanya dipandang sebagai urusan penegak hukum dan penyelenggara negara.
Adapun urusan soal pelanggaran terhadap pasal-pasal korupsi dianggap tidak ada hubungannya dengan keseharian publik.
Ketiga, integritas setelah penyelenggaraan pilkada. Tahapan ini menjadi sangat penting bagaimana mengawal dan mengawasi proses penyelenggaraan pemerintahan setelah penyelenggaraan pilkada. Pilkada akan dianggap gagal jika tidak menghasilkan kepala daerah yang berhasil menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Tahap ini akan jauh lebih mudah untuk dilakukan jika tahapan kedua telah terkonsolidasi secara baik, di mana seluruh pemilih akan mengawal dan mengawasi kepala daerah terpilih hingga berakhir masa jabatannya.
Pemilih tidak lagi terpecah menjadi kelompok yang memilih dan tidak memilih calon tertentu, tetapi menjadi gerakan pemilih kritis yang terkonsolidasi. Pemilih tidak lagi terfragmentasi sebagai ”haters” dan ”lovers” yang justru mencerminkan rendahnya integritas pemilih.
Sistem demokrasi yang telah disepakati dan kita jalankan ini hanya akan jadi seremonial lima tahunan jika warga pemilih tidak terdidik secara politik. Takaran integritas pilkada pada akhirnya hanya kesepakatan di atas kertas, yang kemudian dibicarakan dalam ruang-ruang seminar.
Tantangan Pilkada Berintegritas
Setidaknya ada lima tantangan utama yang harus ditangani untuk menyelenggarakan pemilu berintegritas kalau kita merujuk kepada Global Commission on Elections, Democracy & Security (2012), diantaranya adalah Pertama, membangun peraturan hukum untuk membenarkan klaim terhadap hak asasi manusia dan keadilan pemilu; Kedua,
Membangun badan penyelenggaraan pemilu yang kompeten dengan kebebasan penuh dalam bertindak untuk menyelenggarakan pemilu yang transparan dan mendapatkan kepercayaan publik yang layak; Ketiga, Menciptakan institusi dan norma persaingan multi-partai serta pembagian kekuasaan yang menunjang demokrasi sebagai sistem keamanan bersama di antara para pesaing politik;
Keempat, Menghilangkan hambatan—hukum, administratif, politik, ekonomi dan sosial—terhadap partisipasi politik yang setara dan universal; dan; Kelima, Mengatur keuangan politik yang tak dapat dikendalikan, tertutup dan samar
Yoserizal, S.Sos.
Peminat Masalah politik dan pedesaan.
Share
Komentar