- Home
- Opini-Tokoh
- Membedah Para Pemberi Jaminan Sosial Nasional
Senin, 31 Juli 2017 16:35:00
Membedah Para Pemberi Jaminan Sosial Nasional
Jakarta - Negara wajib hadir untuk memberikan penjaminan bagi para pekerja, baik itu pekerja swasta, maupun para aparatur sipil negara (ASN) yang mencakup pegawai negeri sipil, anggota angkatan bersenjata dan anggota kepolisian.
Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (3), yang menyebut bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Jaminan secara konstitusional juga termaktub dalam pasal 34 UUD 1945 ayat 2 bahwa Negara akan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pemerintah pun memperkuat peran Negara dengan menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Lewat sejumlah badan dan lembaga usaha pelayanan jaminan sosial, para pekerja pun kini mendapatkan jaminan sosial lebih baik jika terjadi kecelakaan, kematian, atau memasuki usia pensiun.
Para punggawa layanan sosial nasional, BPJS Kesehatan, BJPS Ketenagakerjaan serta PT Taspen buat para pegawai negeri sipil dan Asabri untuk para anggota angkatan bersenjata dan kepolisian, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak untuk para pekerja apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Belakangan terjadi perselisihan terkait pengelolaan dana penjaminan bagi para Aparatur Sipil Negara, dalam hal ini pegawai negeri sipil dan anggota angkatan bersenjata dan kepolisian. Hal ini terjadi menyusul diterbitkannya PP No.70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) melaksanakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi aparatur sipil negara (ASN).
Perpres yang diterbitkan pada 2015 tersebut dinilai amat bertentangan dengan UU No.40/2004 tentang SJSN dan UU No.24/2011 tentang BPJS.
Keberadaaan UU 40/2004 tentang SJSN melatari hadirnya UU No.24/2011 tentang BPJS telah menyatakan secara eksplisit bahwa hanya ada dua badan penyelenggara jaminan sosial secara nasional, yaitu BPJS Kesehatan yang mengelola program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola empat program, yaitu JKK, JKm, JHT dan Jaminan Pensiun.
Terkait 'perselisihan' siapa yang lebih berhak dalam mengelola dana jaminan sosial untuk ASN, Direktur Harmonisasi Perundangan-Undangan Kemenkum Ham Karjono meminta semua pihak terkait, yakni PT Taspen, PT Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan untuk duduk bersama mencari solusi.
Menurutnya, Pemerintah hendaknya patuh pada UU SJSN dan BPJS yang mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial dilakukan oleh BPJS, kata Karjono kepada media April lalu.
Menanggapi permintaan untuk melebur dalam tubuh BPJS Ketenagakerjaan Direktur Utama PT Asabri Sonny Widjaja, sebagaimana mengutip keterangan media Jumat (21/04/2017) mengatakan, penggabungan antara Asabri dengan BPJS Ketenagakerjaan tidak memungkinkan.
Ia beralasan, nilai dan kriteria penjaminan yang dilayani oleh Asabri terhadap anggota TNI dan Polri berbeda dengan kriteria penjaminan yang diberikan kepada masyarakat dan pekerja pada umumnya.
Hal ini, menurutnya, akan membuat pelayanan di BPJS Ketenagakerjaan menjadi kompleks bila ada penggabungan. Ia menilai bahwa Asabri tetap lebih baik berdiri sendiri di luar BPJS Ketenagakerjaan.
Di lain pihak, walau sejumlah pihak terus mendesak, tampaknya Taspen juga tetap bergeming untuk terus melakukan inovasi & terobosan layanan.
Perbedaan segmen pasar serta produk dengan BPJS Ketenagakerjaan menjadi alasan utama Taspen untuk tetap menjalankan kegiatannya.
Alasan itu seringkali diungkapkan Direktur Utama Taspen Iqbal Latanro. Menurutnya Taspen hanya akan mengelola dana pensiun untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan jaminan hari tua.
Sementara BPJS Ketenagakerjaan berada di sisi non PNS. Sehingga hal itu tidak akan mengganggu kinerja kedua lembaga ini.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) juga tidak tinggal diam sebenarnya dalam persoalan ini. DJSN kerap mengingatkan manajemen PT Da
Chodijah Febriyani, [31.07.17 10:17]
na Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) agar segera menerbitkan roadmap transformasi bisnisnya.
Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Di berbagai kesempatan, Ahmad Ansyori anggota DJSN menjelaskan, Taspen dan Asabri telah sering mendapat peringatan dari DJSN untuk segera membuat roadmap tersebut.
Pasalnya, UU BPJS menitahkan kedua perusahaan asuransi pelat merah tersebut untuk menyelesaikan roadmap transformasi bisnis paling lambat tahun 2014 lalu.
Selain itu, UU BPJS juga mengamanatkan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah yang memuat ketentuan tentang peralihan program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dari Taspen dan Asabri kepada BPJS ketenagakerjaan.
"UU SJSN maupun UU BPJS, tidak memerintahkan untuk melebur, hanya mengalihkan program yang sesuai dengan program SJSN,” tandas Ansyori.
Artinya disini, Asabri dan Taspen, wajib mengalihkan program Tunjangan Hari Tua dan Pensiun, termasuk Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian kepada BPJS ketenagakerjaan.
Dengan mengalihkan program SJSN yang saat ini masih dikelola Taspen dan Asabri, tidak otomatis membuat kedua badan usaha milik negara (BUMN) tersebut harus dilebur ke dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Menurutnya, Taspen dan Asabri, masih bisa fokus menjalankan aktivitas usahanya dengan menjalankan program-program selain program SJSN tersebut, sesuai permintaan pemegang saham,” jelasnya.
Bagaimanapun juga peliknya persoalan siapa yang berhak mengelola dana Jaminan sosial ASN harus lah diakhiri dengan baik dan Negara harus hadir. Hadir guna memberikan kepastian jaminan yang merupakan hak para pekerja sesuai amanah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (3) dan pasal 34 UUD 1945 ayat 2 yang poin nya adalah Negara akan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (ind/*).
sumber : Nandi Nanti, CEO Industryco.
Share
Berita Terkait
Komentar