• Home
  • Opini-Tokoh
  • Mendefinisikan Organisasi Papua Merdeka dan kelompok kriminal bersenjata
Kamis, 06 Desember 2018 06:16:00

Mendefinisikan Organisasi Papua Merdeka dan kelompok kriminal bersenjata

Oleh: Fahmi Alfansi P Pane, Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia

Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya tapi terlampau umum.

Pembantaian puluhan pekerja Jalan Trans-Papua pada 2 Desember dan penyerangan pos TNI di Kabupaten Nduga, Papua, harus didefinisikan secara tepat. Terlebih, Juni 2018, kelompok serupa menembaki pesawat pengangkut personel Brimob dan warga sipil.

Beberapa pekerja Trans-Papua dan personel aparat keamanan juga diserang sepanjang tahun 2016-2017. Bahkan, tahun 2017, seribu orang lebih di Kampung Kimbely dan Banti, Mimika, pernah disandera kemudian dibebaskan aparat TNI dan Polri.

Kelompok bersenjata di Papua mengaku dirinya dengan berbagai nama, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB), dan sebagainya. Selama ini kelompok bersenjata di Papua atau OPM disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Istilah tersebut merefleksikan strategi komunikasi publik dari pemerintah dan polisi, sekaligus pendefinisian masalah keamanan di Papua disebabkan adanya organisasi yang melanggar hukum pidana (kriminal) dengan memiliki dan menggunakan senjata secara ilegal.

Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum. Begal motor, perampok bank dan rumah misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api (tajam) dalam aksi kriminalnya. Sebagian pihak menilai OPM, TPNPB, atau apa pun namanya adalah separatis.

Dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia atau mengerat sebagian keutuhan wilayah Indonesia, separatis tergolong makar yang dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Definisi lain terhadap OPM adalah pemberontak terhadap negara atau pemerintahan yang sah. Mirip dengan makar, dalam KUHP Pasal 108 pelakunya terancam pidana penjara maksimal 15 atau 20 tahun.

Masalahnya, yang dapat dipidanakan dengan penyebutan istilah separatis, makar, atau pemberontak ini hanya perorangan. Padahal, OPM dan sejenisnya bukan sekadar kumpulan orang per orang seperti begal motor.

OPM adalah organisasi yang mempunyai tujuan tertentu yang mengikat semua orang yang bergabung di dalamnya dan tidak bergantung pada individu tertentu. Saat seorang pemimpin sebuah distrik tertangkap atau bertobat, dia digantikan yang lain.

Roda aktivitas organisasi berjalan kembali, yang berarti serangan kepada TNI, Polri, dan warga sipil dapat dilakukan lagi. Risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka dan anasirnya di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).

Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional. Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata noninternasional atau di dalam sebuah negara.

Di dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando … sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus  dan teratur,” yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa.

Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa.

Walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.

Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif. Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang. Mereka yang tertangkap dipidanakan dengan perbuatan makar. Pemerintah juga perlu mendefinisikan OPM sebagai organisasi teroris sesuai UU Nomor 5/2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme.

Pemerintah dan polisi dapat mengajukan OPM sebagai organisasi ke pengadilan untuk ditetapkan sebagai organisasi (korporasi) teroris, seperti yang dilakukan terhadap Jemaat Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (Daulah). Manfaat nyata yang diperoleh adalah ketiadaan serangan teroris sama sekali, termasuk saat penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games.

Hal tersebut karena saat kelompok bersenjata ditetapkan pengadilan sebagai organisasi teroris, maka sesuai Pasal 12A terdapat ancaman pidana kepada pendiri, pemimpin, pengurus atau pengendali korporasi, para anggota dan perekrut anggota, termasuk mereka yang berada di luar negeri.

Aparat juga dapat menangkap semua yang terlibat dalam organisasi tersebut tanpa menunggu munculnya serangan dan jatuhnya korban warga sipil.

Di samping itu, penetapannya sebagai korporasi teroris akan membantu ikhtiar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai UU Nomor 8/2013 tentang Pendanaan Terorisme. PPATK dapat bekerja sama dengan badan intelijen finansial luar negeri untuk melacak aliran dana dan pencucian uang terkait terorisme, termasuk pencegahannya. Bagaimanapun, aliran dana adalah oksigen OPM dan sejenisnya, selain publikasi di media massa dan media sosial.

Begitu OPM, TNPPB, dan sejenisnya ditetapkan sebagai organisasi teroris, pemerintah juga dapat meminta kerja sama internasional. Bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), teroris adalah musuh bersama.

Peluang itu membesar saat Indonesia memulai tugasnya selaku anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada 1 Januari 2019.

Peluang lainnya adalah saat ini merupakan masa kelam separatisme setelah Uni Eropa menolak mendukung gerakan Katalonia memisahkan diri dari Spanyol. Apalagi, gerakan separatis juga eksis di negara kunci Eropa, seperti Prancis, Jerman, Belgia, dan Italia. (rep/net/*).

Share
Berita Terkait
  • 6 tahun lalu

    OPM Papua yang menuntut pemisahan Papua dari Indonesia, apa dan siapa mereka?

    DUNIA, - Kelompok bersenjata yang mengaku membunuh sejumlah pekerja proyek jembatan di Nduga, Papua, awal bulan ini, telah menolak seruan pemerintah untuk menyerah. Alih-alih, k

  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified