• Home
  • Opini-Tokoh
  • Negeri Penghasil Minyak tu Tak Dapat Jatah Mentri...Oh Riau..?
Minggu, 26 Oktober 2014 19:38:00

Negeri Penghasil Minyak tu Tak Dapat Jatah Mentri...Oh Riau..?

pompa angguk duri riau. ilustrasi
riauonecom, Pekanbaru, - Seorang putra Riau menulis di media Kompasiana yang kami tuangkan kembali ke Riauone. Di saat Jokowi Jk umumkan Kabinet.  Kalaulah boleh sedikit bercerita, Dulu (1998), ketika Presiden BJ Habibie menunjuk Letjend TNI (Purn) Syarwan Hamid sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), ada semacam kebanggaan dan kebahagiaan yang membuncah di hati mayoritas masyarakat Riau.
 
Perasaan yang sama juga muncul ketika HM Lukman Edy, politisi muda asal Riau ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).
 
Terlepas dari perdebatan ada tidaknya, signifikan atau tidaknya kontribusi kedua menteri tersebut terhadap percepatan pembangunan Riau. Namun yang pasti, dengan dipercayanya kedua anak jati Riau itu sebagai petinggi di negeri ini, ada semacam anggapan, persepsi seolah Riau telah diakui eksistensinya. Riau benar-benar dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari NKRI ini.
 
Mungkin bagi masyarakat dari provinsi lain (ya misalnya saja dalam persepsi saudara-saudara kita dari Jawa atau Sumbar), anggapan atau persepsi orang Riau itu dianggap lebay. Masak diangkat jadi menteri saja begitu bangga dan gembiranya. Tapi demikianlah adanya, karena bagi orang Riau peristiwa itu termasuk peristiwa yang langka.
 
Bayangkan saja, sudah 68 tahun Indonesia merdeka, baru ada dua orang putra Riau yang berhasil duduk di kursi kementerian. Kalau bagi saudara-saudara kita dari Jawa atau Sumbar misalnya, tentu ini hanyalah peristiwa biasa saja, karena mungkin sudah puluhan bahkan ratusan putra daerah mereka berhasil menjadi petinggi di negeri ini.
 
Selain merasa tidak dianggap, puluhan tahun, sejak orde lama (orla) hingga orde baru (orba), mayoritas orang Riau juga merasa bahwa tanah kelahiran mereka setakat hanya dijadikan “sapi perahan” saja oleh Pemerintah Pusat. Seantoro dunia tahu kekayaan alam Riau yang berlimpah-ruah. Hutannya, lautnya, tambangnya, migasnya, bahkan ada julukan Riau sebagai “negeri di atas minyak di bawah minyak.” Bertahun-tahun Riau menjadi daerah penyumbang devisa terbesar bagi negeri ini, terutama dari minyak buminya. Sudah miliaran barrel minyak disedot dari Bumi Riau. Namun, di era orla dan orba, tidak setetespun kembali ke Riau. Semua diambil kontraktor dan “dihisap” Pemerintah Pusat. Orang Riau hanya gigit jari. Jadi penonton di rumah sendiri. Negeri kaya, tapi masyarakatnya miskin. Pembangunannya tertinggal dalam berbagai bidang. Mayoritas masyarakatnya hanya tamat dan tidak tamat SD. Sengaja dibuat miskin dan bodoh. Sungguh, penjajahan oleh bangsa
sendiri..!
 
Barulah di era reformasi, melalui perjuangan yang panjang dan tuntutan yang tak pernah lelah dari berbagai komponen masyarakat Riau, akhirnya melalui UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Riau mulai mengecap sedikit dana bagi hasil (DBH) minyak. Riau sebagai daerah penghasil diberi jatah 15 persen dan Pemerintah Pusat 85 persen (15 persen yang diterima Riau dihitung dari jatah Pemerintah Pusat)
 
Sebelumnya antara Pemerintah Pusat (negara) dan Kontraktor dibagi masing-masing mendapat jatah 85 persen (Pemerintah Pusat) dan 15 persen (Kontraktor). Dari jatah yang 85 persen itulah dibagi lagi oleh Pemerintah Pusat dengan daerah penghasil seperti Riau. Kendati negara mendapat jatah 85 persen dan kontraktor hanya 15 persen, namun seluruh biaya produksi ditanggung oleh negara dalam bentuk cost recovery. Jadi, angka 15 persen yang diterima kontraktor adalah penerimaan bersih.
 
Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, negara tidak bisa sepenuhnya mengetahui atau mengontrol berapa sebenarnya hasil lifting minyak dari kontraktor. Jadi, bisa saja pihak kontraktor memberikan angka yang salah karena mau untung besar. Sungguh aneh tapi nyata...! Makanya, ada benarnya juga apa yang disampaikan capres Prabowo Subianto tentang kebocoran kekayaan alam negara ini yang begitu banyak mengalir ke luar.
 
Sayangnya selama ini, negara seakan tidak bisa berkutik. Mudah-mudahan saja, siapapun nanti presiden kita, dia punya keberanian untuk mengontrol itu, termasuk merenegosiasi ulang semua kontrak-kontrak yang ada.
 
Kembali ke soal nasib orang Riau, siapapun nanti presiden terpilih, Prabowo atau Jokowi, pastinya masyarakat Riau akan bangga bila salah seorang putra terbaiknya dipercaya sebagai salah seorang menteri di kabinet. Jujur kita akui, melihat fakta yang ada saat ini, memang belum nampak ada anak jati Riau yang masuk dalam ring satu tim sukses Prabowo maupun tim sukses Jokowi.
 
Kalau dari sudut itu, Riau memang mungkin kurang “investasi”-nya. Namun mungkin sekali lagi, baik Pak Prabowo maupun Pak Jokowi sebaiknya melihat Riau dari sisi lain, yakni sisi kontribusinya kepada negara ini.
 
Hingga saat ini, sekitar 42 persen produksi minyak nasional masih berasal dari Bumi Riau. Kebun kelapa sawit terluas ada di Riau (sekitar 2,3 juta ha, dimana bea keluar CPO dari Riau setiap tahun memberikan kontribusi hingga Rp13 triliun untuk negara, Riau sama sekali tidak kebagian).
 
Dua perusahaan raksasa pulp and paper terbesar di Asia (IKPP dan RAPP) juga ada di Riau. Selain itu, masih begitu banyak kekayaan Riau yang sangat berarti bagi negeri ini. Jadi, rasanya sangat wajar bila salah seorang putra terbaik Riau diberi kepercayaan untuk duduk di kabinet, baik nanti di kabinet Prabowo ataupun kabinet Jokowi.
 
Soal kewajaran ini, baru-baru ini ketika wapres Jusuf Kalla berkunjung ke Riau, ia juga mengakuinya. Bahkan, ia sempat menyebut pentingnya anak jati Riau ditunjuk sebagai menteri. Ya, mudah-mudahan itu tidak sekedar lips service belaka...!
 
Jika itu dianggap berlebihan alias lebay, maka siapapun nanti presiden terpilih, berikanlah kepada Riau dana bagi hasil dari SDA alam Riau dalam angka yang berkeadilan. Sebab, DBH yang diterima Riau masih jauh dari rasa keadilan. Memang sesuai UU 33/2004, DBH minyak yang diterima Riau sudah naik jadi 15,5 persen (sebelumnya 15 persen), namun tentu saja masih jauh dari mencukupi. Mungkin Riau tidak menuntut DBH sebesar apa yang diterima Aceh atau Papua (70 persen). Namun sekali lagi, mengingat ketertinggalan pembangunan Riau yang begitu lama tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat, Riau tentu saja memerlukan dana pembangunan yang tidak sedikit.
 
Memang, sejak era otonomi daerah bergulir, pembangunan Riau sudah mulai bergeliat. Namun masih sangat perlu percepatan mengingat ketertinggalannya dalam berbagai bidang. Keberpihakan Pemerintah Pusat terhadap Riau harus diakui masih jauh dari harapan. Contoh yang paling aktual saja, hingga saat ini, Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan (Menhut) belum juga menandatangani Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau. Padahal, sudah dibahas sejak 2007..! Seandainya ada niat baik dan komitmen yang kuat, tentu saja sudah lama tuntas. Padahal, ketiadaan RTRW ini sangat menggangu dan menghalangi roda pembangunan di Provinsi Riau.
 
Saya adalah anak jati Riau. Saya lahir di sebuah desa yang masuk dalam daftar IDT (daerah tertinggal). Saya masih ingat betul, dulu desa saya dan beberapa desa tetangga sama sekali tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Jangankan roda empat, roda dua pun sulit untuk lewat, karena jalanan yang sempit, berlubang dan bahkan banyak lumpur. Setiap hari kalau ke sekolah kami hanya jalan kaki. Bisa punya sepeda pun sudah termasuk mewah ketika itu.
 
Baru beberapa tahun terakhir ini kampung saya bisa dimasuki kendaraan roda empat. Itu pun jalanannya masih tanah dan berdebu. Tentu saja kondisi ini sangat kontras dengan sebagian besar daerah-daerah di Pulau Jawa, yang jalanannya sudah mulus dan beraspal.
 
Indonesia memang sudah lama merdeka, tapi bagi masyarakat di kampung saya, dan Riau umumnya, arti kemerdekaan itu belum sepenuhnya bisa dinikmati. Oleh karena itu, sekali lagi, harapan terbesar masyarakat Riau kepada siapapun nanti presiden terpilih, kiranya jangan lagi menjadikan Riau setakat “sapi perahan” saja. Riau adalah bagian integral dari NKRI ini. Riau telah memberikan kontribusi dalam bentuk devisa yang tak terkira bagi negeri ini. Sangat wajar jika Riau diberikan DBH yang berkeadilan karena dampak negatif langsung dari eksploitasi alam Riau adalah juga masyarakat Riau. Membangun Riau adalah juga membangun Indonesia. Bahkan Riau adalah halaman depan Indonesia karena letaknya yang berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga. Wallahu’alam. (erisman Y/net)
Share
Berita Terkait
Komentar
Copyright © 2012 - 2025 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified