- Home
- Opini-Tokoh
- Nyiur Tak Lagi Melambai
Minggu, 18 November 2018 02:07:00
Nyiur Tak Lagi Melambai
Oleh: Yosi Novrinda,S.Pd
Hamparan luas pohon-pohon kelapa menjadi pemandangan yang akrab bagi siapa saja yang berkunjung di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Luasnya perkebunan kelapa milik masyarakat yang dikembangkan secara turun temurun menjadi salah satu lokomotif utama perekonomian masyarakat.
Faktanya hasil dari produksi pertanian kelapa mampu mengubah berbagai aspek kehidupan masyarakat mulai dari urusan memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai dengan mengupayakan pendidikan bagi generasi muda. Fakta menarik lainnya yaitu melalui hasil panen kelapa banyak masyarakat yang mampu menunaikan rukun Islam ke lima yaitu menyelenggarakan ibadah haji.
Selain itu, bertumpu pada hasil pertanian kelapa juga mampu mengantarkan generasi muda untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus-kampus ternama di Sumatera dan Jawa.
Sayangnya, hari ini keadaan seperti itu sudah berubah secara perlahan-lahan. Harga jual buah kelapa tidak lagi menjanjikan. Jangan tanyakan berapa harga jual kelapa saat ini, yang jelas per/kg kelapa tidak lebih seharga 2 butir permen yang hanya cukup untuk pemanis lidah. Perusahan-perusahan pemasok bahan kelapa tidak dapat berbuat banyak, sekalipun produksi masih tetap berjalan.
Peran pemerintah daerah dan legislatif dalam mengupayakan stabilnya harga jual kelapa belum dapat dirasakan, jadi wajar jika masyarakat sedikit kecewa dan tidak jarang paradigma masyarakat terhadap politik perlahan mulai berubah. Tentunya bukan suatu yang mustahil ke depan kemungkinan semakin rendah partisipasi masyarakat terhadap pemilu benar-benar akan terbukti.
Boro-boro bicara politik, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja pada saat ini terasa sangat sulit. Dibeberapa desa misalnya didapati masyarakat mulai melaksanakan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan pokok. Misalnya kelapa ditukar dengan beras. Miris bukan? Ibarat perumpamaan yang tepat untuk kondisi saat ini ialah, nyiur yang tak lagi melambai. Entah apa faktor utama penyebabnya, semua tak mampu menjelaskan melainkan lebih memilih untuk mengubah topik pembicaraan atau diam seribu bahasa.
Kepada siapa hari ini masyarakat harus menyampaikan kegetiran dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mungkin, bertanya pada rumput yang bergoyang jauh lebih memuaskan. (*).