Senin, 01 April 2019 09:48:00

Orkestra Pragmatisme Politik

PENULIS : Suhardi (Pemerhati Sosial)

Gendang politik menjelang beberapa hari kedepan kian ditabuh kencang. Terkadang bunyinya tidak lagi mengikuti alur gendang yang biasa didengar telinga rakyat. Bunyi dan iramanya kadang memekakkan telinga dan juga merusak kedamaian jiwa. Tabuhan gendang itu berbalut orkestra pragmatisme politik.

Saking dahsyatnya irama pragmatisme politik, orang tidak lagi menghiraukan nyanyian-nyanyian yang menenangkan jiwa. Orang seakan asyik dengan rentak pragmatisme.  

Benarkah pragmatisme menjadi ajaran utama yang harus hadir dalam setiap kontestasi politik?, atau tidak adakah ruang untuk hadirnya politik yang mengedepankan etik?, atau memang pelaku politik dan publik memang menginginkan lantunan pragmatisme dalam politik?.

Sungguh mudah menguraikannya dengan kata, namun sulit menjangkaunya dengan tindakan nyata. Adagium klasik, tidak ada makan siang yang gratis (there is no free lunch) yang sering dijadikan sandaran oleh sebagian politikus, seakan menasbihkan bahwa dunia politik terkadang tak ubahnya seperti dunia barter yang tidak dibalut oleh nilai-nilai etik. 

Alhasil, banyak yang melihat politik adalah cara untuk meraih kekuasaan dan apa saja yang ‘sebangsa’ dengannya melalui jalan apa saja, asal semua yang diinginkan tercapai.

Bahkan dalam tampilan yang lain politik pragmatisme juga melahirkan politik pencitraan. Ini terlihat dari laku dan gerak politikus jelang pemilihan. Seperti tampilan gambar politikus yang menawarkan diri menjadi wakil rakyat penuh dengan slogan-slogan yang menawan hati rakyat. 

Tidak cukup dengan senyuman manis dibaliho, para calon juga rajin turun dan menyapa rakyat serta menawarkan janji bila terpilih. Bahkan ada yang menampilkan citra diri yang kian religius. Diperjelas lagi oleh koalisi parpol yang tidak dibangun karena persamaan ideologi, tapi lebih kepada pendekatan kekuasaan semata

Cara pandang inilah yang menyeruak di tengah kontestasi politik. Ideologi politik sebagai deposit of knowledge hanyalah panduan yang tercatat indah dalam lembaran AD/ART garis politik. Garis panduan  ditanggalkan, namun tetap disandang dalam bungkus gerak dan keputusan politik yang berbaju idealisme. Padahal sejatinya keputusan yang diambil lebih kepada orientasi kepentingan kekuasaan (pragmatisme), bukan keputusan yang lebih besar. Sehingga publik tersentak dan terkadang mengeryitkan dahi, dan mengelus dada sambil melontarkan kata melihat laku politik yang tidak edukatif

Kondisi ini tidak hanya bergelayut di pundak sebagian politisi, namun sudah menyebar bak virus di tengah-tengah masyarakat. Ungkapan, “ saya dapat apa jika memilih bapak?”, sudah menjadi ungkapan biasa dan bukan lagi menjadi sesuatu hal yang tabu, kendati UU tentang larangan money politics sudah termaktub dengan jelas.

Sebagian rakyat menilai visi dan misi hanyalah janji kosong yang tidak akan tertunai oleh politisi. Baginya apa yang didapatnya menjelang pemilihan, itulah keuntungan setiap helat politik. Sebab sudah berulangkali pesta demokrasi, janji hanyalah tinggal janji, empuk kursi kekuasaan membuat mereka lupa jalan pulang ke rumah rakyat.

Potret ini memang bukan potret utuh tentang laku politisi dalam meraih kursi. Tapi setidaknya, laku ini sudah menjadi perbincangan rakyat dan narasi politik di mata rakyat. Orang memandang politik sebagai ruang yang tidak lagi menyertakan nurani. Padahal politik sejatinya bukanlah wadah untuk menanggalkan etika, tapi sarana untuk mengejewantahkan etika dalam membangun bangsa. 

Semua ini lahir akibat aktivitas politik yang hanya ingin menilai pemilih sebagai lumbung suara, bukan sebagai jantung perjuangan. Akibatnya segala untaian janji, citra diri ditampilkan dalam balutan orkestra yang membuai pemilih agar menjatuhkan pilihannya.

Melihat paham pragmatisme politik ini telah membanjiri ruang-ruang perbincangan rakyat, sudah saatnya politisi untuk merenung diri. Menyadarkan diri bagaimana seharusnya membangun politik profetik dalam bingkai kebangsaan.

Tentu tidak semudah membincangkannya, aktualisasinya memerlukan kesadaran penuh dan dukungan segenap elemen bangsa. Mana mungkin politisi berjalan lurus diatas etika dan moralitas, serta budaya bangsa yang tinggi, kalau rakyatnya menggoda dengan pilihan yang berkaitan dengan imbalan.

Keseriusan politisi dan rakyat untuk tidak saling goda, harus diikat dengan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang adil. Keadilan hukum menjadi muara untuk menutup lahirnya bibit pragmatisme dalam politik, kendati tidak serta merta menjamin tertutupnya peluang pragmatisme politik. Sebab sebaik apapun pintu untuk menutup lahirnya pragmatisme, tapi kalau politisi dan rakyat berkolaborasi dalam mutualisme yang dilarang, akhirnya akan ada saja celah untuk mereka melakukannya.

Untuk itu, sudah saatnya bangsa besar ini mengedepankan keteladan dalam berpolitik. Menjadikan politik sebagai sebagai alat untuk memajukan bangsa lewat pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan kepada rakyat. Bukan hanya mengakali rakyat dengan janji, apalagi mengaburkan mata rakyat dengan taburan materi yang dibungkus dengan embel-embel bantuan, tapi sejatinya sogokan untuk rakyat menjatuhkan pilihan. 

Hanya dengan politik yang penuh keadaban dan keteladananlah yang akan melahirkan pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang bertanggungjawab dan berintegritas. Pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang lahir dari rahim orkestra pragamatisme politik hanya akan  melahirkan kekacauan dan kegundahan hidup rakyat yang tidak akan berkesudahan. Wallahu’alam

Share
Komentar
Copyright © 2012 - 2025 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified