Senin, 27 November 2017 09:33:00

Rhenald Kasali: Jangan mudah termakan hoaks

Rhenald Kasali
NASIONAL, - Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali kali ini menyoroti fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia yang digempur oleh berita hoaks. Masyarakat kini dengan mudahnya menyerap berbagai informasi tersebar di media digital dari berbagai sumber, baik yang tervalidasi maupun yang tak jelas kebenarannya.   
 
Dia mencontohkan lewat sebuah iklan yang belakangan tengah ditayangkan oleh sebuah media, muncul buah apel. “Ini adalah apel,” begitu narasinya. “Tetapi, beberapa gelintir orang akan berkata: itu pisang!”
 
Lalu teman-temannya akan berteriak, “Ya betul. Itu pisang. Pisang! Pisang! Pisang!” Terus menerus berulang-ulang.
 
Pikiran saya mengatakan, cara bicara orang yang "memaksa" kita menerima bahwa apel itu adalah pisang  bisa berbeda-beda, “Benar itu pisang!” “Salah yang bilang itu apel.” “Berani taruhan berapa?  Itu apel!” “Kalau warnanya kemerah-merahan begitu, ya itu pisang.”
 
Iklan layanan masyarakat buatan jaringan televisi berita terkenal itu lalu ditutup dengan kalimat, “Mereka terus mengatakan sampai Anda akhirnya mulai percaya: jangan-jangan itu benar pisang. Tetapi bukan! Itu adalah apel.”
 
Akhirnya media itu menulis dalam teks iklannya: Dahulukanlah fakta!
 
Hari-hari ini saya dan Anda terus dibombardir oleh pesan-pesan seperti itu. Seakan kita tengah dipaksa untuk mengakui segala yang benar itu salah, berkorban itu tidak perlu, pembangunan itu jahat, bangsa kita bodoh, dan sebaliknya segala yang salah itu benar. Dan lama-lama kita pikir benar semua hoaks itu...
 
Sebagai akademisi, pekerjaan saya dari dulu ya menguji validitas dan reliabilitas. Dan kini orang-orang yang kurang kuat mentalnya pun, sekalipun berpendidikan tinggi, bisa saja ketakutan dan mulai meracau bahwa apel itu adalah pisang.
 
Kita lihat saja kasus-kasusnya. Tahun lalu,  "pisang"-nya adalah PKI, tapi tahun ini akan ditutup dengan isu BUMN.
 
Anda masih ingat, bukan? Tahun lalu itu uang rupiah cetakan baru yang akan keluar (dan kini pasti sudah ada di saku para penyebar hoaks), diisukan mengandung logo "palu-arit," simbolnya partai komunis. Lalu presiden pun dituding PKI. Bahkan pertemuan biasa pun diisukan sebagai rapatnya PKI. Isu itu lalu meredup.
 
Nah, bersiap-siap menyambut akhir tahun sepertinya para penyebar hoaks sudah punya daftar amunisi baru.
 
Mulanya digulirkan BUMN terlalu kuat, swasta tak punya tempat. Setelah direspon, lalu muncul lagi bahwa jumlah anak-cucu BUMN sudah kebanyakan. Presiden pun lalu merespon. Dikatakan jumlahnya akan dirampingkan.
 
Tetapi begitu satu persatu infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat  selesai dibangun, mulailah serangan-serangan berat berdatangan. Diberitakan bahwa Bandara Soeta dan 8 bandara lainnya akan dijual karena pemerintah nyaris bangkrut. Padahal kebandaraan kita baru saja bangkit.
 
Skytrax baru saja mengumumkan Bandara Soeta sebagai The Wold's Most Improve Airport. Lalu kereta bandara yang bergerak dari tengah-tengah kota Jakarta akan segera memasuki fase uji coba.
 
Di Soeta, sky train yang menghubungukan T1-T2-T3 pun sudah dioperasikan. Lalu Bandara Silangit yang berskala internasional minggu ini dibuka presiden. Pertumbuhan penumpangnya pun sebagai  yang tertinggi di dunia. Bagaimana mungkin mau dijual?
 
Tetapi, baiklah itu belum selesai!
 
Setelah isu bandara gagal, lalu isu jalan tol dan kini  lebih seram lagi: holding buat dijual. Bak pesan iklan CNN tadi, sejumlah orang bersama-sama berteriak: "Itu buah apel (maaf, mungkin maksudnya: kemajuan yang telah dicapai  tidak menyenangkan)."
 
Akses baru bagi masyarakat itu sumber kemiskinan. Segala yang diperbarui itu adalah untuk dijual. Bandara kita adalah yang terburuk, bukan menjadi lebih baik. Infrastruktur yang dibangun besar-besaran adalah penyebab kemiskinan dan merosotnya daya beli. Dan seterusnya.
 
Sayang kalau negara mendiamkan hal-hal begitu. Informasi harus dihadapi dengan infornasi yang sama deras dan jauh lebih berkualitas. Dan angka-angka saja tak pernah cukup. Sebab pangkalnya adalah paradigma, yaitu bagaimana manusia suatu bangsa melihat dan mempercayai angka. Jangan didiamkan.
 
Akhirnya, buah apel yang dibilang pisang itu adalah soal holding. Kita maklum, karena akhir tahun ini BUMN mulai menunjukkan hasil dari  kerja gesit dan keberaniannya mengambil alih proyek-proyek berisiko.  BUMN banyak membuka  akses  tersumbat dan proyek  yang mangkrak.
 
Setelah memenangkan gugatannya tentang holding BUMN di Mahkamah Agung, maka Kementrian BUMN mulai merampungkan holding pertambangan.
 
Model holding ini pun, dokumen-dokumen rencana strategi tertulisnya sudah beredar luas sejak setahun yang lalu. Jadi para pakar bisa mengkajinya secara terbuka. Sayapun sering membahasnya dalam berbagai kelas yang saya asuh di kampus.
 
Lagi pula holding BUMN bukan hal yang baru, baik di dunia maupun di Indonesia. Di Singapura, BUMN-BUMN kecil itu di-holding-kan di bawah bendera Temasek. Di Malaysia namanya Khazanah Nasional.
 
Sedangkan di tanah air kita semua sudah lama melihat Astra dan Sinarmas sebagai holding.
 
Di BUMN sudah lama ada holding semen (Semen Indonesia yang membawahi Semen Gresik, Semen Padang, Semen Tonasa).
 
Lalu juga sudah  ada holding pupuk (PT Pupuk Indonesia Holding Company yang membawahi Pupuk Sriwidjaja, Petrokimia, Pupuk Kujang, Pupuk Kalimantan Timur, Pupuk Iskandar Muda, Rekayasa Industri, Mega Eltra, Asean Aceh Fertilizier, Hengam Petrochemical Company).
 
Holding itu, secara teoretis tujuannya adalah untuk membuat bangsa ini sejahtera melalui BUMN. Supaya kita tidak perlu belanja modal dan beli software-software mahal (untuk membentuk digital company) sendiri-sendiri. Belinya satu saja, lalu di-bagi beramai-ramai.
 
Holding itu juga kita perlukan untuk “menghadapi” lawan-lawan dari dunia global  yang sudah terlalu kuat di sini. Di zaman ini, suatu bangsa haram "mengusir" dominasi asing  dengan senjata atau nasionalisasi yang sempit. 
 
Dominasi itu hanya bisa diatasi dengan cara-cara baru dan terhormat, yaitu keunggulan daya saing.
 
Kita tentu punya keinginan menguasai lumbung-lumbung emas besar yang dikuasai asing. Tapi kalau masing-masing perusahaan nasional bergerak sendiri-sendiri, mana mampu kita? Ini tentu beda kalau holding.
 
Kita juga tahu dari 70-an izin pengembangan smelter untuk mengolah tambang kekayaan nusantara di dalam negeri, baru tujuh yang sudah mulai dibangun. Selama ini bahan-bahan mentah itu benar-benar mentah-mentah diangkut ke luar negeri. Indonesia dapat apa kalau BUMN-nya dibiarkan kecil-kecil dan tidak bersatu?
 
Dikabarkan pula BUMN itu di-holding-kan untuk memudahkan para oknum menjual anak-anak perusahaan kepada asing dan aseng tanpa pengawasan DPR.
 
Masya Allah, seperti itukah prasangka yang ditanamkan? Buah berwarna kemerah-merahan itu adalah apel, bukan pisang! Tak cukupkah kita melihat bahwa terbentuknya holding-holding terdahulu telah memperkuat industri kita?
 
Tak cukupkah kita menyaksikan bahwa tak ada satupun anak-anak perusahaan di lingkungan holding terdahulu (Semen dan Pupuk) yang dijual?
 
Kita perlu persatuan. Mempersatukan kekuatan BUMN-BUMN yang awalnya kecil-kecil sendiri-sendiri untuk membeli, bukan untuk menjual.  Untuk menguasai, bukan untuk dikuasai.
 
Sekali lagi, dahulukan fakta. Kalau ada yang salah, minta diperbaiki. Bukan ditertawakan atau dijadikan bahan kampanye bisnis atau politik. Kalau mereka melanggar,  tuntutlah lewat jalur hukum. (kontan).
Share
Berita Terkait
  • 7 tahun lalu

    Rhenald Kasali: Daya Beli Bukan Kambing Hitam Banyaknya Ritel Tutup

    RITEL, INDONESIA, -  Beberapa waktu ini masyarakat kembali di gegerkan dengan penutupan gerai usaha ritel ternama di Jakarta yakni, Lotus Departemen Store. Bisnis rite
  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified