- Home
- Opini-Tokoh
- Tragedi Rohingya
Senin, 04 September 2017 10:57:00
Tragedi Rohingya
KEMULIAAN dan keluhuran sukma hari raya Idul Adha dicemarkan oleh Tragedi Rohingnya yang kembali membara pada bulan Agustus 2017.
PBB mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap kaum Rohingya di Rakhine, Myanmar serta mengimbau pemerintah Myanmar segera berkenan menghentikan pelanggaran hak asasi manusia.
Memuncak
Kekerasan yang terjadi di Rakhine makin memuncak sehingga memaksa kaum Rohingya berupaya menyelamatkan diri dengan berduyun-duyung menyeberang perbatasan Myanmar-Bangladesh demi masuk ke wilayah Bangladesh. Sementara pemerintah Myanmar tetap bersikeras meningkatkan kekerasan demi membasmi habis kaum Rohingnya, pemerintah Bangladesh menegaskan bahwa mereka tidak bisa menerima lebih banyak kaum Rohingnya masuk ke Bangladesh.
PBB mengimbau para pimpinan politik Myanmar menghentikan retorika mengobarkan kebencian pemicu kekerasan yang menyebabkan ratusan ribu kaum Rohingnya mengungsi ke mancanegara termasuk Indonesia.
Akibat angkara murka kekerasan mutakhir Agustus 2017 saja , lebih dari 18 ribu kaum Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Myanmar terhadap kaum Rohingnya memang terstruktur, sistematis dan masif maka dapat dipraduga sebelumnya sehingga sebenarnya memungkinkan langkah-langkah preventif dan promotif yang sayang sekali tidak dilakukan.
Imigran Gelap
Para petugas penjaga perbatasan Bangladesh sibuk mencegah kaum Rohingnya masuk ke wilayah Bangladesh sambil juga sibuk menangkap mereka yang berhasil menyelinap masuk Bangladesh untuk dipaksa kembali ke Myanmar. Minimal 109 nyawa telah melayang akibat kekerasan Agustus 2017 di Rakhine, Myanmar. Ratusan kaum Rohingnya jatuh sakit dan minimal tujuh warga tewas ketika melarikan diri ke Bangladesh. Ketakutan dikirim kembali ke Myanmar menyebabkan banyak kaum Rohingnya menolak bantuan kemanusiaan para relawan kemanusiaan.
Pemerintah Myanmar termasuk sang penerima anugerah Perdamaian Nobel, Aung San Suu Kyi, secara resmi memang tega hati menstigmasisasi status 1,1 juta kaum Rohingnya sebagai imigran gelap meski mereka telah ratusan tahun bermukim di bumi Myanmar. Tidak jauh beda dengan pemerintah DKI Jakarta yang menstigmasisasi status para rakyat tergusur sebagai penduduk ilegal meski telah turun-menurun bermukim di atas tanah yang kini digusur atas nama pembangunan.
Kekuasaan
Tragedi Rohingnya merupakan tambahan fakta tak terbantahkan yang membuktikan bahwa rakyat pada hakikatnya tidak berdaya apa pun dalam menghadapi angkara murka kekerasan lahir-batin yang diumbar oleh para penguasa.
Kembali terbukti bahwa rakyat sama sekali bukan subyek namun sekedar obyek yang selalu harus senantiasa siap untuk bukan saja diabaikan namun bahkan dikorbankan atas nama kepentingan kekuasaan para penguasa yang memang lebih sibuk memperebutkan kekuasaan ketimbang menjunjung tinggi kepentingan serta harkat-martabat rakyat selaras dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat yang tersurat di dalam Pancasila; dan sama sekali tidak sesuai dengan sukma luhur dan mulia yang terkandung di dalam hari raya Idul Adha.
JAYA SUPRANA Penulis adalah Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
Share
Berita Terkait
Jaya Suprana pun Menangis Saksikan Jalan Kaki Ciamis ke Jakarta
Pendiri Museum Rekor Indonesia, Jaya Suprana menyampaikan pandangannya menyikapi aksi Bela Islam III yang digelar, Jumat (2/12).
Komentar