Jumat, 09 Desember 2016 12:02:00
Catatan Noprizon Burman
HAKI dan Derajat Kekorupsian Riau
PROVINSI Riau telah ditetapkan sebagai tuan rumah penyelenggara peringatan Hari Anti Korupsi Internasional tahun 2016. Sepanjang sejarah, inilah untuk kali pertama penyelenggaraan peringatan HAKI dipusatkan di luar Pulau Jawa (baca: Jakarta), dan status ''yang pertama'' itu disandangkan ke Provinsi Riau.
Terlepas dari kebanggaan karena dipercaya sebagai ''yang pertama,'' sejatinya status tuan rumah penyelenggara yang disandang Riau menyimpan pesan moral yang sangat besar. Terutama bagaimana para penyelenggara negara yang bertugas di sejumlah lembaga pemerintahan di Provinsi Riau, baik otonom maupun vertikal, senantiasa mengingat tentang bahaya laten korupsi, untuk kemudian menjauhkan diri dari perbuatan yang tergolong tercela itu.
Pesan moral ini terasa makin mengental bila dihubungkan dengan realitas empiris yang ada, terutama bila dikaitkan dengan penempatan Riau sebagai salah satu daerah di Indonesia yang termasuk dalam ''radar'' Komisi Pemberantasan Korupsi, menyusul setelah terungkapnya sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para pejabat Riau.
Suka atau tidak suka, kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat Riau mencengangkan banyak pihak. Riau lah, mungkin, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menempatkan sebanyak tiga gubernurnya berstatus sebagai terpidana kasus korupsi-- sebutlah: Saleh Djasit, M Rusli Zainal, dan Annas Maamun. Sejumlah kepala daerah selevel bupati/walikota di Riau juga sudah menjalani pemeriksaan dalam kasus korupsi, bahkan sudah tidak sedikit pula di antaranya yang menyandang status sebagai terpidana. Belum lagi yang berasal dari lembaga legislaif, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Apa yang telah dan sedang terjadi dengan pejabat Riau, terutama yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi? Apakah urat malu yang sejatinya ada pada setiap anak manusia, yang menjadi pembeda yang nyata antara manusia dan makhluk-makhluk lain, tidak berfungsi lagi di diri para pejabat itu sehingga menggelapkan mata untuk memakan yang sebenarnya bukan hak mereka?
Apakah pituah-pituah Melayu, termasuk juga tuntutan ajaran Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh penduduk daerah ini, hanya dibiarkan teronggok anggun pada tataran teori tanpa mencoba mengimplementasikannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari? Apakah pemimpin, yang seyogianya menjadi panutan dalam banyak hal, sudah berubah fungsi menjadi ''tongkat yang membawa rebah''?
Terlalu banyak pertanyaan --semuanya bernada ''gugatan''-- terhadap perilaku koruptif yang dipertontonkan oleh pejabat Riau, baik yang masih aktif ataupun yang sudah purna-tugas. Semua itu terasa sebagai sesuatu yang wajar, karena di balik perbuatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat diniscayakan ada yang dikorbankan.
Hampir bisa dipastikan, yang dikorbankan adalah kepentingan rakyat banyak. Apa yang seharusnya menjadi hak dan milik masyarakat, menjadi tidak sampai ke alamat lantaran disimpangkan oleh si pelaku tindak pidana korupsi. Daerah Riau yang kaya, yang gemah ripah loh jinawi, jadinya hanya dinikmati oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan, atau yang dekat dengan kekuasaan, sementara rakyat jelata apa daya dan kekuatan mereka bila yang seharusnya menjadi hak tak jadi mereka nikmati?
Maka, terjadilah kesenjangan sosial yang amat lebar, yaitu antara mereka yang memiliki kompetensi untuk mendapatkan harta-benda dan finansial yang sebanyak-banyaknya (baik dengan cara benar atau sebaliknya) dengan mereka yang terpaksa melata di mana-mana lantaran tidak memiliki sumber-sumber ekonomi untuk memutar roda kehidupan, apalagi untuk menguasai apa yang sejatinya bukan milik mereka.
Penyelenggaraan peringatan HAKI tahun ini yang dipusatkan di Riau boleh jadi hanya akan larut dalam muatan seremoni. Itu dengan catatan: selagi para penyelenggara pemerintahan di Riau, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik otonom maupun vertikal, tidak bertekad menjauhkan diri dari perilaku dan perbuatan koruptif. Termasuk juga tidak memiliki kesadaran yang penuh dan utuh bahwa perilaku koruptif tidak hanya merusak tatanan yang ada di masyarakat, tapi bukan tidak mungkin berpotensi meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.***(R1)
Share
Komentar