• Home
  • Riau Raya
  • Menuju Praktek Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Secara Ekologis, Ekonomi dan Sosial”
Jumat, 05 Mei 2017 15:14:00

Menuju Praktek Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Secara Ekologis, Ekonomi dan Sosial”

Menuju Praktek Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Secara Ekologis, Ekonomi dan Sosial” ! 
 
Kebijakan  Pemerintah  Indonesia  terhadap  keberlanjutan  dan  perbaikan  tata  kelola kelapa  sawit  dimulai  dengan  sejak  diterbitkannya  Sistem  Sertifikasi  Kelapa  Sawit Berkelanjutan Indonesia atau dikenal dengan (Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada Tahun  2011  yang  kemudian  direveisi  pada  Tahun  2015.  Ini  tidak  terlepas  dari  dorongan berbagai  pihak  agar  Indonesia  sebagai  negara  produsen  CPO  terbesar  untuk  lebih memperhatikan  aspek  ekologi.   
 
Dorongan  ini  tidak  terlepas  dari  fakta  yang  ditunjukan berbagai laporan maupun penelitian bahwa rantai pasok industry kelapa sawit di Indonesia masih  meninggalkan  tumpukan  persoalan.
 
Sejak  diberlakukannya  ISPO  pada  Maret  2011 sampai  dengan  periode  Februari  2016,  Sertifikat  ISPO  yang  telah  diberikan  adalah sebanyak  225  sertifikat  dengan  luas  area  sebesar  1.4  juta  Ha  (s/d  Februari  2017)  dan Certified CPO sebesar 5.9 juta ton/tahun.   Dalam  kurun  waktu  1  (satu)  tahun  sejak  Februari  2016  terjadi  kenaikan  signifikan dalam penerbitan sertifikasi ISPO yang mencapai 290% dari total sertifikat yang diterbitkan rata-rata  pertahun  sejak  pemberlakuan  sertifikasi  ISPO  pada  Tahun  2011. 
 
 
Meningkatnya jumlah  perusahaan  yang  menerima  sertifikat  ISPO  tidak  diikuti  oleh  perbaikan  tata  kelola industri kelapa sawit, yang ditandai dengan masih banyaknya persoalan seperti : 
 
 a.  Persoalan  legalitas  yang  menyangkut  izin  Hak  Guna  Usaha  (HGU)/  Izin  Usaha Perkebunan (IUP) di dalam kawasan hutan dalam kaitannya dengan Rencana Tata Ruang  Wilayah  Provinsi  (RTRWP),  termasuk  terbitnya  izin  melalui  praktek-praktek non-prosedural;
 
 b.  Izin limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3);
 
 c.  Penanaman di sempadan sungai; 
d.  Penerapan kebijakan perlindungan eksosistem lahan gambut; 
e.  Perlindungan wilayah bernilai konservasi tinggi (HCV), dan wilayah bernilai stok karbon tinggi (HCS).   
 
Ini menunjukan tingginya penerbitan sertifikasi ISPO yang tidak diikuti perbaikan tata kelola  industri  kelapa  sawit  berkelanjutan  menegaskan  rendahnya  kredibilitas  dan akuntabilitas  sistem  ISPO.  Buruknya  kredibilitas  dan  akuntabilitas  dalam  implementasi sertifikasi  ISPO,  ditambah  dengan  lemahnya  penegakan  hukum  terhadap  berbagai pelanggaran  menyebabkan  rendahnya  keberterimaan  pasar  atas  ISPO.  Momentum  untuk melakukan  pembenahan  industri  kelapa  sawit  berkelanjutan  di  Indonesia  cukup  terbuka, terutama  setelah  pada  14 April  2016  Presiden  mengutarakan  komitmen  untuk  melakukan moratorium sawit1
 
Ini merupakan momentum bagi Indonesia melakukan reformasi industri kelapa  sawit  untuk  menjadi  lebih  kompetitif  dan  mengedepankan  aspek  keberlanjutan lingkungan dan sosial.   
 
Pada Bulan Juni 2016 Kementerian Koordinator Bidang  Perekonomian  membentuk Tim  Penguatan  ISPO  melalui Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian  Nomor  54  Tahun  2016  tentang  Tim  Penguatan  Sistem  Sertifikasi  Kelapa Sawit  Berkelanjutan  Indonesia  (ISPO  Certification  System)  dengan  kegiatan  utama menyusun sistem ISPO yang lebih memiliki kredibilitas.!! Peraturan  Presiden  tentang  Perkebunan  Kelapa  Sawit  Berkelanjutan  Indonesia (Perpres  ISPO).   
 
Secara  garis  besar,  tim   ini  bertujuan  untuk  melakukan  pembenahan mendasar  terhadap  sistem  sertifikasi  dan  standarisasi  dari  industri  kelapa  sawit berkelanjutan  Indonesia.   Sampai  dengan  akhir  Desember  2016,  tim  ini  telah menyelenggarakan serangkaian diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan untuk mendorong  dan  merumuskan  fokus  rancang  ulang  ISPO.  Pada  tanggal  9  Mei  2017,  Tim 
!!Penguatan  ISPO  akan  memulai  rangkaian  konsultasi  public  di  5  regio  di  Indonesia. Konsultasi pertama akan dilakukan untuk region Sumatera dan mengambil tempat di Kota Pekanbaru.  
 
Dengan  mempertimbangkan  proses  rancang  ulang  ISPO  dan  tentang  Perkebunan Kelapa  Sawit  Berkelanjutan  Indonesia  (Perpres  ISPO),  Kami  perwakilan  Organisasi Masyarakat  Sipil  dan  Petani  Kelapa  Sawit  di  Regio  Sumatera  memandang  penting  untuk memberikan  masukan  tertulis kepada  proses  tersebut.  Masukan  kami  terhadap proses  ini adalah sebagai berikut:
 
 1.  Pembenahan menyeluruh terhadap ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi. Keseluruhan  tahapan  dari  rancang  ulang  ISPO  harus  melalui  sebuah  proses  yang inklusif,  sistematis  dan  transparan.  Ini  berarti  bahwa  proses  konsultasi  publik  dan penyusunan standar yang dilakukan tidak bisa hanya menjadi formalitas. Untuk itu diperlukan  sebuah  ruang  komunikasi  dan  interaksi  yang  berkesinambungan. Sehingga  semua  masukan  dari  para  pihak  perlu  untuk  dipertimbangkan.  Proses perancangan  ulang  harus  mampu  untuk  melihat  berbagai  kekurangan-kekurangan yang dimiliki dalam implementasi ISPO selama ini. Selain itu, proses konsultasi yang dilakukan  harus  disertai  dengan  proses  pendokumentasian  yang  professional, sehingga tidak menjadi sekedar sosialisasi.    Sebagai sebuah sistem, diperlukan bahwa ISPO:
 
 a.  Memiliki komponen penilai dan penerbit sertifikat yang indipenden, terakreditasi dan impartsial;
 
 b.  Memiliki  mekanisme  penyelesaian  keluhan  yang  prosedurnya  jelas,  jangka  waktu penyelesaian  tertentu,  dan  membuka  peluang  pembenahan  sistem  secara  berkala yang didasarkan pada sebuah evaluasi berkala;
 
 c.  Pemerintah sebagai regulator harus memastikan sistem ini berjalan, dan pra kondisi dari sistem ini dapat dipenuhi; d.  Penegakan terhadap pelanggaran harus ditindak lanjuti. 
 
 2.  Menyiapkan pra-kondisi   Dalam kondisi  hari  ini, kami  menemukan beberapa kondisi yang  tidak efektif untuk   menjadikan kelapa sawit menjadi industry yang berkelanjutan. Diperlukan pernyiapan   pra  kondisi  agar  rancang  ulang  ISPO  yang  dilakukan  dapat  secara  maksimal   dilakukan. Untuk itu, kami menuntut agar: 
 
a.  Tumpang  tindih  kawasan  dan  perkebunan  harus  di  prioritaskan  untuk  dapat diselesaikan sebelum pemberlakuan ISPO secara penuh baik bagi Petani Swadaya maupun Pemegang HGU; 
 
b.  Evaluasi terhadap sertifikat ISPO yang sudah diterbitkan selama ini harus dilakukan, hal  ini  diperlukan  untuk  dapat  memastikan  bahwa  tidak  ada  perusahaan  yang mendapatkan ISPO tapi masih memiliki tumpukan yang tersisa. 
 
 c.  Identifikasi  permasalahan  yang  jelas  dan  konkrit  di  tingkat  tapak  harus  menjadi landasan dalam penyusunan keseluruhan sistem yang akan disusun. 
 
 d.  Memastikan  bahwa  kebijakan  ISPO  di  tingkat  tapak  tidak  menjadi  gap  pemisah antara perusahaan dan petani swadaya. Dengan metode sosialisasi, pendampingan. 
 
 3.  Membenahi jaminan hukum  bagi petani   Jaminan  hukum  terhadap  petani  menjadi  sangat  penting  untuk  memastikan  bahwa   petani swadaya memiliki kapasitas  dan fasilitas untuk dapat mengikuti sistem ISPO.   Kami  menemukan  bahwa  diperlukan  sebuah  proses  pembenahan  jaminan  hukum   bagi petani yang dapat memberikan jaminan terhadap pola produksi petani.  
 
 
Pendampingan  dari  pemerintah  daerah  untuk  mendorong  didirikannya kelembagaan  di  tingkat  petani  harus  menjadi  prioritas  utama.  Ini  juga  berarti harus memperjelas kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mengaktualisasikan pendataan petani di wilayahnya melalui STDB. 
 
 b.  Proses  pendampingan  petani  terkait  dengan  Praktek  Perkebunan  yang  Baik (Good  Agricultural  Practice  –GAP)  harus  dilakukan  secara  terencana  oleh Pemerintah daerah dan masuk ke dalam anggaran.
 
 c.  Penentuan  harga  tandan  yang  selama  ini  tidak  melibatkan  perwakilan  petani harus dirubah sehingga mempertimbangkan aspirasi dari petani. Sehingga harga yang ditentukan dapat mencerminkan kebutuhan dan harga produksi petani.   
 
4.  Prinsip dan Kriteria ISPO   Dalam prinsipnya, kami meyakini bahwa diperlukan 9 (Sembilan) prinsip yang harus   menjadi  landasan  bagi  ISPO  sebagai  sebuah  sistem  sertifikasi.  Prinsip  tersebut   adalah:
 a.  Legalitas; b.  Manajemen Perkebunan; c.  Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut;
 
 d.  Perlindungan  terhadap  lingkungan  dengan  melakukan  praktik  perkebunan  yang bertanggung jawab;
 e.  Tanggung jawab terhadap pekerja; 
f.  Pemberdayaan petani kecil, masyarakat adat dan lokal; 
g.  Peningkatan usaha secara berkelanjutan; 
h.  Ketertelusuran dan transparansi;
 i.  Menghargai hak asasi manusia.    
 
 Untuk  dapat  mendukung  prinsip  tersebut,  maka  kami  berkeyakinan  bahwa   ISPO   harus  menjadi  sebuah  sistem  yang  dijalankan  secara  transparan  dan   akuntabel.  Untuk  hal  tersebut,  dibutuhkan  sebuah  mekanisme  pengawasan  dan   pemantauan  yang  indipenden.  Untuk  itu,  rancang  ulang  ISPO  harus  memiliki   mekanisme  pemantauan  independen  dan  pengawasan  atas  sistem  secara   internal. Mekanisme   ini juga harus dilengkapi dengan mekanisme pengaduan yang   professional atas temuan terhadap pelanggaran.
 
 
Lembaga Perwakilan Masyarakat Sipil dan Petani Kelapa Sawit di Sumatera |  HAKA Aceh, GERAK Aceh, WALHI Riau, WALHI Sumatera Utara, WALHI Bengkulu, WALHI Lampung,  AMAN  Sumatera  Utara,  SPKS  Labura  Sumatera  Utara,  PBHI  Sumatera  Barat, ELANG  Riau,  JMGR  Riau,  FITRA  Riau,  WWF  Riau,  Yayasan  Mitra  Insani  Riiau, JIKALAHARI  Riau,  SPKS  Rokan  Hulu  Riau,  SPKS  Kuansing  Riau,  SPKS  Siak  Riau SETARA Jambi, Perkumpulan Rakyat Tani Jambi, SPKS Tanjabar  Jambi, AMAN Bengkulu, HAKI Sumatera Selatan,  AMAN Sumatera Selatan, SPKS Lalan Muba – Sumatera.
 
 
Realis.
Share
Komentar
Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified