Rabu, 22 Januari 2020 13:59:00
Apul Sihombing : PSJ Harus Bertanggung Jawab atas Nasib Kelompok Tani Binaannya
PANGKALANKERINCI, - Penertiban dan pemulihan lahan seluas 3323 Hektar di Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan Riau yang telah dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau beberapa hari yang lalu menjadi pembicaraan hangat di media sosial maupun di kedai kopi yang saat ini menjamur di kota Pangkalan Kerinci.
Para pengamat hukum sekelas kedai kopi sampai praktisi hukum terkenal ikut memberikan pendapat dan komentar atas putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018.
Disalah satu sudut kota Pangkalan Kerinci, Selasa (21/01/2020),) tepatnya di Bos Gede Cafe, Praktisi Hukum Apul Sihombing SH. MH, merasa prihatin dan kasihan dengan nasib warga yang tergabung dalam kelompok tani yang lahan dan kebun sawitnya akan ditertibkan dan dipulihkan kembali menjadi kawasan hutan sebagaimana tertuang dalam amar putusan MA tersebut.
Hal itu disampaikannya kepada beberapa awak media yang hadir di Bos Gede Cafe yang ia buka bersama istrinya beberapa hari yang lalu dan akan memberikan konsultasi hukum gratis bagi para pengunjung Bos Gede Cafe setiap hari Jum'at mulai pukul 09.00 sampai dengan 11.00 WIB.
Dalam penuturannya, Apul Sihombing mengatakan kalau berbicara kasihan dan prihatin itu sudah pasti. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Indonesia negara hukum, segala persoalan diselesaikan dengan cara-cara hukum.
Perkara kepemilikan lahan yang saat ini sedang dilakukan eksekusi telah bergulir di pengadilan dan sudah memperoleh keputusan berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde). Terhadap putusan MA, apakah putusan diatas adil atau tidak tentu tergantung kepentingannya berada di sebelah mana. Yang pasti PT Nusa Wana Raya (NWR) mengangap putusan tersebut adil dan sebaliknya bagi pihak yang kalah, PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dan kelompok tani atau masyarakat merasa tidak adil atau terzolimi. Itulah sebuah konsekuensi logis dari sebuah peradilan.
"Nah, berbicara putusan MA diatas sudah final and binding dan telah berkekuatan eksekutorial dan tidak ada satu kekuatan politik apapun yg dapat membatalkan putusan kasasi (MA). Bila pun ada upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh pihak PSJ terhadap putusan tersebut, upaya demikian itu tidak dapat menunda eksekusi. Sebagai negara hukum, hukum merupakan panglima tertinggi dan harus di hormati," tuturnya.
Adapun terhadap nasib anggota kelompok tani, inilah yang seharusnya menjadi konsentrasi kita berikutnya. Tentunya kita tidak rela melihat masyarakat yang sudah menderita kerugian besar dari terlaksananya eksekusi tersebut, sehingga para pemangku kepentingan hendaknya memberikan perhatiannya agar pihak PSJ mengembalikan segala kerugian yang diderita oleh anggota kelompok tani.
Kita bukan lagi menyesalkan putusan MA dan tindakan eksekusi yg dilakukan oleh pihak kejaksaan. Penyesalan hanya menambah sakit hati dan bukan merupakan solusi, solusinya adalah bagaimana pihak PSJ mengembalikan segala kerugian materil dan imateril yg diderita oleh masyarakat, dalam hal ini kelompok tani yang tergabung dalam KUD," tegas Apul.
Adapun yang menjadi alasan hukum kenapa PSJ harus bertanggung jawab terhadap nasib kelompok tani, menurut Apul Sihombing yang juga berprofesi sebagai pengacara adalah di pasal 1365 KUH Perdata.
Didalam pasal1365 KUH Perdata, barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain wajib baginya mengganti kerugian yang timbul tersebut.
"Sudah barang tentu masyarakat anggota kelompok tani mau bermitra dengan PSJ karena diyakinkan oleh pihak PSJ kalau pihaknya telah mengantongi ijin sah atas lahan yang dikerjasamakan. Faktanya berdasarkan keputusan MA tersebut, pihak PSJ terbukti bersalah menguasai lahan tanpa ijin," tandasnya. (tons)