Rabu, 03 Juni 2015 06:13:00
Merajut Asa dari Daun Rumbia, Hingga Anak Jadi Sarjana
Terpancar rasa lelah di wajahnya ketika pulang ke rumah usai mengumpulkan helai demi helai daun Rumbia yang dijadikan sebuah ikatan besar. Itu dilakukan Jumiah tiap hari. Pergi pagi pulang tengah hari. Ikatan besar daun itu Ia junjung diatas kepala dengan jarak perjalanan ke rumah sekitar dua kilometer. Bersamaan dengan itu juga, tali anyaman yang disebut bintit dari kulit dahan Rumbia juga ikut diambil. Itu yang Ia lakukan hampir tiap harinya.
Laporan Pauzi : Kepulauan Meranti
PEKERJAAN merakit atap dari daun Rumbia sudah diperkenalkan sejak puluhan tahun dilakukan masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Karena, sejak dulu masyarakat hanya menggunakan atap daun Rumbia sebagai atap rumahnya. Itu masih berlaku sampai saat ini, terlebih bagi warga desa. Selain ekonomis, atap Rumbia tergolong tahan. Apalagi ia dibuat khusus dengan anyaman yang rapat untuk kebutuhan atap rumah.
Di desa Tanjungpisang, mengambil daun rumbia di kebun sagu merupakan proses pertama memulai aktivitas merakit atap. Hal sama juga dilakukan puluhan kaum ibu-ibu yang lainnya di desa itu. Tak jarang juga ada diantaranya suami mereka yang ikut membantu mencari daun Rumbia.
Setelah ikatan daun dikumpul banyak-banyak di rumah, selanjutnya para perakit atap mencari nibung untuk dijadikan tulang atap. Proses mencari tulang atap ini cukup rumit, selain berduri, batang nibung hanya ada di desa lainnya dengan menggunakan pompong. Biasanya, pergi dari pagi pulangnya petang atau malam. Selama itu, masing-masing bisa mengumpulkan paling banyak dua ribu bilah kecil batang nibung setelah di celis atau di racik halus.
Proses merakit atap daun rumbia sebenarnya cukup mudah. Hanya saja yang agak sedikit rumit, warga harus mencari batang nibung atau pinang untuk dijadikan mengkawan (tulang atap, red). Batang nibung atau pinang terlebih dahulu harus yang di celis (racik, red) kecil-kecil, kurang lebih sebesar ibu jari tangan.
Kemudian, tali perakit (penganyam, red) dari pelepah atau kulit dahan sagu muda yang disebut dengan bintit oleh warga setempat. Pengumpulan semua bahan-bahan setidaknya membutuhkan waktu selama seminggu. Sebab, yang rumit adalah mencari mengkawan. Bila semua telah terkumpul, maka proses perakitan atap pun mereka mulai dengan memotong tulang atap menjadi sama panjang, kurang lebih dua meter.
Berkah Pantang Menyerah
Jumiah (55) bersama suaminya Hasan (56) yang berprofesi sebagai nelayan, merupakan warga Desa Tanjungpisang Kecamatan Tasik Putripuyu, Kepulauan Meranti, Riau. Ia sudah melakoni pekerjaan merakit atap daun Rumbia itu sejak puluhan tahun lalu. Keluarga sederhana ini dianugerahi delapan orang anak, tiga laki-laki dan lima perempuan. Dia bersama dengan warga lainnya pantang menyerah sudah turun-temurun mengais rezeki dengan merakit atap daun rumbia (sagu) untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pasangan suami istri ini cukup gigih berusaha. Mereka berdua pantang menyerah bekerja untuk mewujudkan cita-cita anaknya hingga menjadi sarjana. Kini, anak sulungnya lulusan UIN tahun 2000 lalu, sudah menjadi guru PNS disalah satu sekolah dasar di Kecamatan Tasik Putripuyu. Menyusul hingga tiga anaknya yang lain yang juga sudah menyandang gelar sarjana dari universitas terkemuka di Pekanbaru.
"Menyocok (merakit, red) atap inilah yang bisa kita lakukan. Sebab, disini kerja agak payah. Sebetulnya kerja ini agak berat, orang lelaki bagusnye yang mengerjakan. Tapi, di kampung kita ini macam semua orang perempuan kerja atap," tutur Jumiah bercerita dengan ditemani anak-anaknya, belum lama ini.
Itulah yang dilakukan Jumiah sehari-hari sejak masih gadis hingga berkeluarga. Dia harus bekerja keras membantu suaminya yang berprofesi sebagai nelayan untuk kebutuhan keluarga dan anak-anaknya yang bersekolah. Jumiah menganggap pekerjaan merakit atap itu menjadi sandaran hidup keluarganya.
"Kami bersyukur, atap inilah yang menjadikan anak-anak kami sarjana. Sebab, memang menyocok atap ini yang banyak dikerjakan oleh masyarakat di Tanjungpisang. Kami sendiri sudah bekerja ini puluhan tahun," kata Jumiah.
Jumiah selalu berpesan kepada anak-anaknya agar tidak gengsi dan malu akan pekerjaan seperti ini. Bahkan, anak-anaknya juga Ia ajarkan cara merakit atap. "Anak-anak kami semuanya pandai menyocok atap. Selagi itu halal dan bisa untuk memenuhi kebutuhan untuk apa malu. Mereka menjadi sarjana juga banyak dari hasil atap ini," tuturnya.
Dalam sehari, Jumiah biasa menghasilkan 50 hingga 100 keping atap daun rumbia. Harga jualnya saat ini sudah mencapai Rp700 per keping, yang diikat 10 keping dalam satu ikat. Jumiah bisa mengumpulkan atap hingga 2.000 keping perbulan untuk dijual kepada penampung yang setia menerima atap hasil rakitannya. Hasilnya juga lumayan, bisa mencapai Rp 1 hingga 2 juta perbulan.
Siapa sangka, berkah bekerja merakit dari atap daun Rumbia itulah yang memberikan rezeki kepada keluarganya hingga kini. Anak-anaknya pun sudah empat orang menjadi sarjana. Disusul dengan anak-anaknya yang lain, ada yang sedang kuliah dan ada yang masih duduk di bangku SD, SMP, serta SMA.
Bernilai Ekonomis dan Tahan Lama
Atap daun rumbia ini tergolong tahan, bisa belasan tahun pakai. Tapi, tergantung jenis atapnya, dirakit rapat atau jarang. Jika rapat, ketahanannya bisa mencapai belasan tahun untuk sekali ganti. Kebanyakan warga Tanjungpisang sering mengggunakan atap rapat untuk atap rumahnya sendiri. Sebab, selain nilainya memang ekonomis dibandingkan dengan atap pabrikan seperti seng.
Atap dari daun Rumbia juga bermanfaat membuat suhu dalam rumah terasa sejuk ketika cuaca panas terik. Biasanya, daun yang bagus untuk atap adalah batang Rumbia yang berumur 6 sampai 8 tahun. Daun yang dipilih warga yakni daun yang sudah kering kemerahan, atau daun yang masih hujan yang diambil dari pohon Rumbia lalu dijemur hingga layu berwarna abu-abu pekat.
Kebutuhan atap daun rumbia tidak hanya untuk lokal di Kepulauan Meranti saja, melainkan hingga dipasok ke luar daerah yang juga memerlukan atap dari bahan alami itu. Sampai saat ini, atap hasil rakitan warga di Desa Tanjungpisang sudah tidak terhitung banyaknya yang dibawa ke luar daerah.
Oleh warga setempat, atap itu dijual ke salah satu tauke Cina (Tionghoa) bernama Ahuat yang siap menampung dan membeli atap hasil rakitan warga setempat. Biasanya oleh Ahuat, atap-atap yang dikumpulnya hingga puluhan ribu keping akan diantar kepada pemesan yang kebanyakan dari Riau daratan, seperti Pekanbaru dan sekitarnya.
"Beda dengan dulunya, kalau sekarang pesanan atap agak berkurang. Kadang atap-atap yang saya kumpul agak lama baru bisa diantar ke pemesan. Tapi, yang memesan tetap saja ada," kata Ahuat yang sudah puluhan tahun tinggal di Desa Tanjungpisang.***
Share
Komentar